BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Kesenian merupakan salah satu unsur universal dalam
kebudayaan manusia, yang berfungsi untuk memberikan ketenangan jiwa pada
manusia. Kesenian itu sendiri terbagi atas dua rumpun besar yaitu
seni rupa (kesenian yang dinikmati dengan mata) dan seni suara (kesenian yang
dinikmati manusia dengan telinga). Keduanya adalah suatu hasil karya manusia
yang diciptakan untuk dinikmati dan memenuhi kebutuhan manusia akan keindahan
rasa setetika. Dengan demikian kesenian muncul dan berkembang karena dibutuhkan
oleh manusia, yang ditunjang oleh pengetahuan masyarakat yang bersangkutan.
Salah satu bentuk kesenian yang masuk rumpun seni rupa
adalah seni kerajinan tenun yang merupakan wujud kebudayaan dari hasil karya
manusia. Kerajinan tenun pada berbagai suku bangsa di Indonesia cukup beragam,
ada yang menonjolkan sarung seperti di Muna, tenun ikat lungsin di Toraja dan tenun ikat di
Sumba, dan berbagai bentuk tenunan yang merupakan aset kebudayaan bangsa
Indonesia.
Tenun ikat pada masyarakat Sumba, dipahami sebagai suatu
karya simbolis yang berdimensi teknologi dan kesenian. Simbolis diartikan
sebagai pemberian dan penangkapan makna sebagai orientasi manusia. Makna
tersebut lebih merupakan rangkaian ungkapan rasa seperti harapan, keserasian,
kepedihan, ironi, dan kecerian yang ditopang gagasan tertentu. Rasa gagasan
menunggu perwujudannya yang sekaligus merupakan pemantapan nilai-nilai
(Mealalatoa dan Sri Murni, 1977:52).
Sejarah kebudayaan manusia menunjukkan bahwa kepandaian
bertenun merupakan aktivitas budaya manusia yang sudah dimulai dari zaman
prasejarah, yang ditandai dengan adanya kemampuan manusia membuat pakaian dari
serat kayu. Kerajinan tenun yang menyangkut aktivitas dan hasil kerajinan
berupa bahan kain yang dibuat dari benang serat kayu, kapas, sutra, dan
lain-lain (Mealalatoa dan Sri Murni, 1977:52).
Pengetahuan bertenun telah lama dikenal di daerah Muna.
Pengetahuan bertenun ini dimiliki secara merata diseluruh daerah Muna. Namun
sekarang ini, pengetahuan bertenun ini mulai memudar dan ditinggal
pendukungnya. Sedangkan yang masih aktif menenun tinggal beberapa desa. Salah
satunya adalah masyarakat di Desa Bolo Kecamatan Loghia Kabupaten Muna. Kepandaian
menenun di Desa Bolo yang diperoleh secara turun temurun sejak zaman dahulu,
sampai sekarang masih diwariskan dari generasi ke generasi.
Sarung tenun pada masyarakat Muna khusunya di Desa Bolo
Kecamatan Loghia Kabupaten Muna, memiliki corak dan warna dasar yang
berbeda-beda. Sarung tenun pada masayarakat Muna walaupun berbeda warna dasar
namun mempunyai jalur corak yang sama yaitu jalaur-jalur yang pada umumnya
memanjang horizontal.
Sarung tenun pada masyarakat Muna atau biasa dikenal dengan
nama sarung Muna (bheta wuna). Sarung tenun ini dijadikan sebagai simbol
status di dalam kehidupan masyarakat. Sarung tenun pada masyarakat Muna di Desa
Bolo, memiliki berbagai macam corak nama dan fungsinya yang berbeda. Setiap
perbedaan corak dan nama sarung tersebut mempunyai makna dan fungsi yang
berbeda pula. Menurut studi awal yang dilakukan oleh peneliti didapatkan bahwa
pada masyarakat Muna terdapat stratifikasi atau tingkatan masyarakat yaitu
golongan kaomu (golongan bangsawan), golongan walaka (golongan
adat), golongan sara (pemuka adat). Pada setiap tingkatan itu ada corak
dan makna sarung tenun untuk stratifikasinya. Demikian juga individu-individu
dalam setiap stratifikasi ada perbedaan corak dan makna sarung yang digunakan
misalnya warna dan corak untuk anak gadis, anak laki-laki, untuk orang tua,
untuk janda, atau duda berbeda. Berdasarkan fenomena di atas sehingga calon
peneliti tertarik untuk meneliti mengenai “Corak dan Makna Sarung Tenun pada
Masyarakat Muna di Desa Bolo Kecamatan Loghia Kabupaten Muna”.
B.
Rumusan Masalah
Sarung tenun merupakan salah satu
hasil karya manusia yang memiliki nilai penting bagi masyarakat, hal ini
disebabkan karena sarung sebagai karya seni yang bernilai estetika juga
memiliki fungsi penting dalam kehidupan bermasyarakat. Secara umum sarung tenun
orang Muna sudah dikenal dan digunakan oleh berbagai kalangan untuk menunjukkan
identitas kelompok atau berdasarkan stratifikasi. Untuk mengetahui mengapa
sarung tenun Muna dapat bertahan dikalangan masyarakat, maka perlu dilakukan
penelitian secara mendalam mengenai proses pembuatan, fungsi sarung tenun bagi
masyarakat Muna. Berdasarkan fenomena tersebut maka masalah penelitian dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1.
Bagaimana
proses pembuatan sarung tenun Muna di desa Desa Bolo Kecamatan Loghia Kabupaten
Muna.
2.
Bagaimana
fungsi sarung tenun Muna dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Desa Bolo
Kecamatan Loghia Kabupaten Muna.
3.
Bagaimana
cara orang Muna di Desa Bolo Kecamatan Loghia Kabupaten Muna
mempertahankan tradisi menenun di kalangan perempuan
C.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada
masalah sarung tenun Muna di Desa Desa Bolo Kecamatan Loghia Kabupaten Muna.
Tujuan khusus yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan
mendeskripsikan proses pembuatan sarung tenun Muna di Desa Desa Bolo
Kecamatan Loghia Kabupaten Muna.
2. Untuk mengetahui fungsi sarung tenun
Muna dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Desa Desa Bolo Kecamatan Loghia Kabupaten
Muna.
3. Untuk mengetahui bagaimana cara
orang Muna Desa Bolo Kecamatan Loghia Kabupaten Muna mempertahankan
tradisi menenun di kalangan perempuan.
D.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk
memberikan informasi tentang cara pembuatan, fungsi, dan cara orang Muna
mempertahankan sarung tenun bagi pelestarian seni tenun Muna sebagai satu
unsur kebudayaan yang bernilai tinggi.
2.
Sebagai
bahan informasi bagi pemerintah setempat agar senantiasa melestarikan
nilai-nilai budaya masyarakat.
3.
Memberi
informasi kepada pembaca tentang bagaimana cara pembuatan sarung tenun Muna di Desa
Bolo Kecamatan Loghia kabupaten Muna.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian tentang sarung tenun yang merupakan bagian dari
rumpun seni rupa telah banyak dilakukan pakar antropologi, misalnya Suhardini
dan Sulaiman Jusuf (1984), Sri Murni dan M. Jusuf Melalatoa (1997) serta Fisher
(1979). Di Sulawesi Tenggara, penelitian tentang sarung tenun masih kurang.
Oleh karena itu, calon peneliti akan meneliti tentang “Corak dan Makna Sarung
Tenun pada Masyarakat Muna di Desa Bolo Kecamatan Loghia Kabupaten Muna, maka
pada tinjauan pustaka ini akan membahas hasil-hasil penelitian tentang sarung
tenun yang terkait dengan corak dan makna yang terkandung dalam sebuah kain
sarung.
Tenun merupakan salah satu perlengkapan hidup manusia yang
telah dikenal sejak zaman prasejarah yang diperoleh dari perkembangan pakaian
penutup badan setelah rumput-rumput dan kulit kayu. Dewasa ini mempunyai fungsi
dalam berbagai aspek sosial, ekonomi, religi, etika dan lain-lain (Kartiwa
dalam Difinubun, 2001:9). Tuti Soeharto pada Majalah Dharma Wanita No. 98
Oktober 1994 dalam Silalahi (1995:98), menjelaskan kespesifikan batik tulis
Banyumas, antara lain motif, warna dasar dan sabagainya. Batik merupakan hasil
karya seni diatas kain ciptaan asli nenek moyang kita yang bernilai tinggi.
Batik memiliki suatu keunikan. Pengungkapan keunikan batik selalu mengandung
kerepotan tersendiri, karena diperlukan alasan yang sangat luas. Baik dari segi
pembuatan bahan pola, pewarnaan, penggunaan dan daerah asal.
Di Indonesia sendiri kepandaian bertenun rupanya sudah
dikenal sejak beberapa abad sebelum masehi. Kepandaian ini merupakan kelanjutan
pengalaman dan pengetahuan membuat barang-barang anyaman daun-daunan dan
serat-serat kayu yang digunakan sebagai wadah busana. Pengetahuan baru dari
luar, yang terkait dari tenun itu, cepat diterima dan berkembang. Perkembangan
itu menyangkut mutu bahan, keindahan tata warna, dan motif-motif hiasan.
Motif-motif hiasan Indonesia mendapat pengaruh dari Cina, India, Arab, dan
lain-lain (Melalatoa, 1991:242). Barangkali itulah sebebnya Fisher (1979)
menyatakan bahwa seni tenun yang paling kaya dan canggih yang pernah ada di
dunia dihasilkan di Indonesia.
Sebagai salah satu produk kebudayaan, tenunan dapat menjadi
salah saran untuk pembangunan. Hal ini dimungkinkan karena karya tenun dapat mempunyai
aspk ekonomi, yang dapat member nilai tambah kepada penenun. Seperti yang
dikemukakan oleh Nat J. Colletta dan Umar Kayam dalam Atiru (1992:4) bahwa
“kebudayaan asli dapat dan harus dijadikan sebagai media atau alat untuk
pembangunan”. Hal ini karena tiga alasan yakni
1.
Unsur-unsur
budaya mempunyai legitimasi tradisional dimata orang-orang yang menjadi sasaran
prongram pembangunan.
2.
Unsur-unsur
budaya secara symbol merupakan bentuk komunikasi paling berharga dari produk
stempat.
3.
Unsur-unsur
budaya mempunyai aneka ragam fungsi (baik yang terwujud maupun yang terpendam)
yang sering dinyatakan sebagai sarana yang paling berguna untuk perubahan
dibanding dengan yang tampak dipermukaan jika hanya dilihat dalam kaitan dengan
fungsinya yang terwujud saja.
Hasil tenun seolah sudah menjadi salah satu cirri budaya
Indonesia yang dapat dibanggakan karena mutunya yang tinggi. Dalam pameran
kerajinan Internasional (Internastional) and National Craft Conference
and Exhibition yang diikuti 12 negara di Jakarta tahun 1985. Tenun ikat sumba
dinilai dan disahkan sebagai tenun terbaik serta diberi penghargaan tertinggi.
Tenun-ikat sendiri adalah kain tenun yang cara pembuat motifnya menggunakan
tenun ikat. Tenun ikat sebagai bagian teknik menenun sudah di kenal di Eropa
sejak abad ke-19, lewat Hindia-Belanda, sehingga kata ikat terdapat dalam kamus
bahasa Belanda maupun Inggris dengan pengertian seperti tersebut di atas. Tenun
ikat lungsin dikenal sejak zaman kebudayaan Dongso dan di Indonesia tersebar di
berbagai daerah (Wibawanto dalam Melalatoa dan Srimurni, 1997 : 53).
Di luar ekspresi jiwa manusia akan keindahan, kesenian dari
suatu masyarakat memang bermaksud menjawab dan menginterpretasikan prmasalahan
kehidupan sosialnya, mengisi kebutuhan atau mencapai tujuan bersama, seperti
kemakmuran, persatuan, kemuliaan, kebahagiaan, dan rasa aman yang berhubungan
dengan yang gaib (supernatural), dan lain-lain. Semuanya itu tertuang dalam
betuk kesenian atau kesenian tradisional, misalnya seni tari, seni lukis, seni
rias, seni sastra, music dan lain-lain (melalatoa, 1989 : 26). Sementara itu
Levi-Strauss mengemukakan, bahwa kesenian dapat, menjadi satuan-satuan
integrasi menyeluruh secara organik di mana gaya-gaya, kaidah-kaidah estetik,
organisasi sosial, dan agama secara struktural saling berkaitan. Dalam hubungan
sosial itulah penampilan gaya dan organisasi sosial saling berkaitan.
Sistem kesenian merupakan salah satu
perwujudan budaya manusia akan rasa seni dan keindahan. Pada berbagai suku
bangsa di Indonesia dikenal berbagai ragam secara tradisional.
(1)
Seni gerabah atau tembikar pada orang Jawa.
(2)
Seni pahat atau seni ukir pada orang Bali, Jawa dan orang Asmat.
(3)
Seni tenun pada orang Bugis, Minangkabau dan Timor.
Begitu banyak ragam seni tradisional dan seni budaya yang
dimiliki oleh setiap suku bangsa Indonesia. Sistem kesenian tradisional erat
sekali hubungannya dengan unsur budaya lain, terutama unsur religi atau
keagamaan.
1.
Seni
tenun “ulos” pada orang Batak erat sekali hubungannya dengan berbagai upacara
adat, seperti pada upacara perkawinan atau kematian.
2.
Seni
pahat dalam bentuk dalam bentuk seni patung pada orang Dayak dan Asmat
melambangkan Totemisme.
3.
Seni
pertunjukan wayang kulit yang menggelar cerita atau “lakon” Murwokolo, sering
dipertunjukan dalam upacara adat “ngeruwat” pada orang Jawa.
Menurut ilmu antropologi, “kebudayaan” adalah : keseluruhan
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat
yang dijadikan milik diri mnusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1990:180).
Kebudayaan juga dapat dilihat sebagai berfungsi untuk mengorganisasi
simbol-simbol (simbol adalah setiap benda, tindakan dan peristiwa yang
mempunyai arti yang terwujud dalam tingkah laku manusia).
Koentjaraningrat (1974:19) dalam bukunya kebudayaan,
mentalitas dan pembangunan, bahwa kebudayaan manusia mempunyai tiga dimensi,
pertama, kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan-gagasan,
nilai-nilai norma-norma, peraturan dan sebagainya. Eksistensi kebudayaan ini
pada alam pikiran warga masyarakat, namun dapat pula berupa tulisan-tulisan serta
karangan-karangan. Kedua, kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas yang
sudah dipola dalam masyarakat. Wujud kebudayaan ini berupa system sosial dalam
masyarakat yang bersangkutan. Ketiga, kebudayaan sebagai benda-benda hasil
karya manusia. Ia bisa berupa kebudayaan nyata, tampak fisiknya karena
merupakan hasil karya masyarakat yang bersangkutan.
Dari wujud kebudayaan itu jelas bahwa wujud pertama dan
kedua merupakan hasil dari akal dan budi manusia, sedangkan yang ketiga adalah
karya manusia. Kemudian Koentjarangrat menganalisis budaya manusia yang terdiri
dari unsur-unsur universal itu, merupakan isi dari semua kebudayaan di dunia
ini yakni : (a) sistem religi dan
upacara keagamaan; (b) system
organisasi dan kemasyarakatan; (c)
system pengetahuan; (d) system
bahasa; (e) system kesenian (f) system mata pencaharian hidup; dan (g) system teknologi serta peralatan. Konsepsi
Alfred dan Clyde Kluckhohn dalam Herusatoto (2001:9) tentang kebudayaan
cenderung menganggap gagasan-gagasan, symbol-simbol dan nilai-nilai sebagai
inti kebudayaan. Begitu erat hubungan antara manusia dengan kebudayaan, sampai
ia disebut makhluk budaya. Kebudayaan sendiri terdiri atas gagasan-gagasan,
symbol-simbol, dan nilai-nilai sebagai hasil karya dari tindakan manusia.
Michael Landmann dalam Herusatoto (2001:9) menyatakan bahwa,
setiap karya manusia niscaya mempunyai tujuan. Setiap benda alam sekitar yang
disentuh dan dibudidayakan manusia mengandung suatu nilai. Nilai yang diperoleh
manusia bermacam-macam, misalnya nilai sosial, ekonomis, keindahan, kegunaan
dan lain sebagainya. Dengan demikian, berkarya berarti menciptakan nilai.
Dengan kata lain, setiap hasil karya manusia menyimpan bentuk dan isi
kemanusiaan. Oleh karena setiap benda budaya menunjukkan maksud, nilai, serta
gagasan-gagasan penciptannya. Salah satu wujud budaya manusia ialah alam seni.
Alam seni ini terdiri atas beberapa unsur yaitu seni rupa, seni sastra, seni
tari, seni music, dan seni drama. Alam seni merupakan salah satu dari aktivitas
kelakuan berpola dari manusia yang dalam pengungkapannya penuh dengan
tindakan-tindakan simbolis. Melalui alam seni ini, rasa budaya manusia yang
tidak dapat diungkapkan dalam pergaulan sehari-hari, dicurahkan dalam bentuk
symbol.
Turner (1990:18) mendefinisikan symbol sebagai sesuatu yang
dianggap dengan persetujuan bersama, sebagai sesuatu yang memberikan sifat
alamiah atau mewakili atau meningkatkan kembali dengan memiliki kualitas yang
sama atau dengan membanyangkan dalam kenyataan atau pikiran. Perubahan
seseorang dalam status dan peran baru dapat dilihat didalam ritus. Pertama,
tahap pemisahan dari keadaan masyarakat sehari-hari; kedua, tahap luminal
(tahap transisi) dan ketiga, tahap pengintegrasian kembali. Melalui
simbol-simbol orang dapat mengungkapkan dan mengalalmi sesuatu yang transenden
(Turner, 1990:67-68).
Tenun
ikat pada masyarakat Sumba, dipahami sebagai suatu karya simbolis yang
berdimensi teknologi dan kesenian. Simbolis diartikan sebagai pemberian dan
penangkapan makna sebagai kehadiran otentik manusia. Gagasan yang menjadi suatu
wawasan karya seni mencangkup bermacam makna yang terbaca dalam berbagai bentuk
seni. Makna tersebut lebih merupakan rangkaian ungkapan rasa seperti harapan,
keserasian, keresahan, kepedihan, ironi, semangat dan keceriaan yang ditopang gagasan
tertentu. Rasa gagasan menunggu perwujudannya yang sekaligus merupakan
pemantapan nilai-nilai (Melalatoa dan Sri Murni, 1997:52).
Tenun,
selain sebagai busana, pertenunan itu terkait dengan aspek estetis, upacara
adat; religi, dan symbol status dalam kehidupan masyrakat. Jenis kain dan motif
hiasan tertentu dipakai oleh orang-orang dari lapisan tertentu atau yang
memegang peranan tertentu. Hasil pertenunan terkait dengan berbagai latar
belakang budaya dan lingkungan tadi melahirkan aneka ragam tenun-ikat, tenun
songket, dan batik (Melalatoa, 1991:242-243).
Terkait dengan symbol status dalam kehidupan masyarakat,
pada masyarakat Sumba, status tinggi rendah ini akan tampak dalam kehidupan
sehari-hari dan dalam upacara, serta tampak dalam hak dan kewajibannya. Untuk
memperjelas status itu digunakan sejumlah benda dan hewan baik dalam acara
adat, upacara kematian, atau dalam kehidupan sehari-hari. Kebudayaan Sumba
membagi beberapa benda (banda) mencangkup mas, perak, hewan kuda, dan
kerbau; dan bersifat feminism (ngau) adalh kain (hinggi), sarung (lau),
manic-manik (mutisalak), dan gading (Melalatoa dan Sri Murni, 1997).
Pada masyrakat Sumba, bagi wanita dari kalangan bangsawan
atau raja-raja yang menghadiri pesta perkawinan akan mengenakan Lau Utu amahu (sarung
jahitan yang memakai uang emas/perak), atau Lau Utu hada (sarung jahitan yang
diberi muti berkarang), atau Lau Utu kau (sarung jahitan dengan hiasan siput).
(Melalatoa dan Sri Murni, 1997:51).
Pada masyarakat Tolaki, desain pada sarung khususnya sawu
ulu (sarung berkepala) terdiri atas dua garis besar yang diantarai oleh tiga
garis sehingga tampak menjadi lima garis. Lima garis vertical yang berpotongan
dengan garis lima horizontal adalah symbol yang menggambarkan bobot tubuh
manusia yang dibatasi dengan sisi kanan-kiri dan atas-bawah yang diselubungi
oleh empat penjuru ruang: Timur-Barat dan Uatara-Selatan. Dalam hubungan ini
ada ungkpan orang Tolaki yang berbunyi : Sawundo Wotolundo (sarung kita
adalah bobot tubuh kita). (Tarimana, 1989:248-249).
Kain yang terbuat dari benang (kapas dan sutera) yang pada
umumnya berfungsi sebagai pakaian atau busana, tetapi sebuah kain sarung dapat
menunjukkan symbol status dalam kehidupan masayarakat. Sarung tenun yang
dijadikan simbol status di dalam kehidupan masyarakat, bukan saja pada
masyarakat Sumba tetapi, pada masyarakat Muna sarung tenun dijadikan sebagai
symbol satatus didalam kehidupan masayarakat Muna sarung tenun dijadikan symbol
status didalam kehidupan masyarakat dilihat dari jenis sarung yang dipakai.
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini akan dilakukan di Desa Bolo yang merupakan
salah satu desa di Kecamatan Loghia Kabupaten Muna. Penentuan lokasi ini
didasarkan dengan pertimbangan bahwa di desa ini penduduknya sebagian besar
masih mempertahan tradisi menenun sarung Muna. Oleh karena itu penelitian ini
difokuskan pada bagaimana Cara pembuatan sarung tenun Muna dan bagaimana corak
dan makna sarung tenun masyarakat Muna di Desa Bolo sebagai warisan budaya
yang bersumber leluhur mereka. Teknik pengumpulan data yang akan
digunakan adalah teknik participation observation atau pengamatan
terlibat dan indepth interview atau wawancara mendalam. Teknik
pengamatan terlibat digunakan untuk melihat bagaimana keterlibatan anggota
keluarga dalam berbagai aktivitas menenun, mulai menentukan warna/corak, bahan,
pelaksanaan menenun sampai pada bagaimana cara memasarkan. Adapun data yang
digali lewat wawacara adalah mengenai lingkungan alam (ketersediaan bahan baku
tenun), demografi (kelompok-kelompok yang menenun, siapa-siapa yang menenun,
dimana melakukan aktivitas menenun),
Asal sejarah sarung tenun, pengetahuan masyarakat tentang
mnenun, sarung tenun sebagai mata pencaharian hidup, bagaimana corak, makna
serta jenis-jenis dari sarung tenun, dan bagaimana proses pembuatan sarung
tenun (bahan-bahan dan alat-alat yang digunakan pada saat melakukan aktivitas
menenun), berapa lama membuat sarung tenun, bagaimana motif sarung yang
digunakan perempuan dan laki-laki serta motif sarung apa yang diminati.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif-deskriptif,
yaitu suatu bentuk penelitian yang berusaha menghasilkan data deskriptif,
gambaran yang sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta di lapangan,
dengan menggunakan etnografi sebagai metode utama dalam pengumpulan data. Untuk
itu, informan akan dipilih secara purposive sampling dengan pertimbangan
dianggap mengetahui dan bersedia memberikan informasi yang berkaitan dengan
masalah penelitian, yang terdiri dari informan kunci dan informan biasa.
Informan kunci adalah kepala desa, karena selain dapat menunjukkan informasi
tentang orang-orang yang akan dijadikan informan biasa, yang bersangkutan juga
memiliki usaha sarung tenun Muna. Sedangkan informan biasa yang akan
dipilih adalah para keluarga penenun yang ada di desa ini.
Data akan dianalisis secara deskriptif kualitatif, yaitu
dengan menggambarkan hasil penelitian secara deskripsi untuk menjawab
permasalahan yang diteliti. Analisis dilaksanakan dengan menyusun data-data
yang diperoleh, kemudian diinterprestasikan dengan mengacu pada keterkaitan
antara berbagai konsep dan kenyataan yang ada di lapangan. Data yang dikumpulkan
dari pengamatan dan wawancara selanjutnya dikelompokkan menurut
bagian-bagiannya. Hal ini mengacu kepada Endraswara (2003), bahwa dengan
melakukan analisa data secara terus menerus, maka peneliti akan memperoleh
penalaran yang utuh mengenai hasil penelitian yang dicapai dari permasalahan
yang diteliti.
BAB IV
GAMBARAN UMUM DESA BOLO KECAMATAN LOGHIA KABUPATEN MUNA
A.
Lokasi dan Letak Desa
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bolo
Kecamatan Loghia Kabupaten Muna lebih kurang delapan kilometer dari Kota Raha,
ibu kota Kabupaten Muna. Dari Kota Raha agar bisa sampai ke Desa Bolo terdapat
dua jalur yang dapat dilalui yaitu melalui jalur Jompi langsung kearah Desa Bolo
dan jalur lainnya yaitu melalui jalan propinsi Raha – Bau-Bau. Setelah menempuh
sekitar delapan kilometer, akan ada lorong yang langsung menuju ke Desa Bolo.
Meskipun wilayahnya yang berada cukup jauh dari jalan propinsi namun Desa Bolo bukanlah
Desa yang tertinggal karena jalannya cukup baik untuk dilalui. Desa Bolo
terdiri atas dua dusun yaitu Dusun Ladontani dan Dusun Kamali. Bentuk
wilayahnya berbukit-bukit dengan tanahnya yang merah serta alamnya yang
masih alami. Secara keseluruhan jumlah penduduk Desa Bolo adalah 1217
jiwa. Jumlah penduduk tersebut termasuk diantaranya adalah anak-anak, orang
dewasa dan orang lanjut usia.
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bolo dengan pertimbangan
bahwa Desa Bolo merupakan desa yang sebagain besar masyarakatnya merupakan
pengrajin sarung tenun adat muna. Bahkan hampir seluruh perempuan yang berada
di Desa Desa Bolo Kecamatan Loghia i berprofesi sebagai penenun sarung adat
muna. Hal ini berdasarkan dari pengamatan yang dilakukan oleh peneliti bahwa
dapat dikatakan setiap rumah warga mempunyai alat meng-hani dan menenun.
Berdasarkan informasi yang diperoleh bahwa Desa Bolo merupakan tempat pertama
kali dilakukannya pembuatan sarung tenun adat muna di Kabupaten Muna.
Setelah pemuda atau wanitanya kawin dengan orang dari luar
desa, barulah kemudian pembuatan sarung tenun adat muna ini menyebar ke
wilayah-wilayah yang lainnya. Pernyataan tersebut didukung dengan adanya alat
manual yang digunakan untuk membuat atau memintal benang dari kapas yang masih
sangat sederhana dan masih tersedia di rumah-rumah warga setempat. Alat
tersebut digunakan pada zaman dahulu sebelum tersedianya benang-benang hasil
produksi pabrik di daerah tersebut. Bukti lain juga adalah masih adanya hasil
tenunan sarung yang bahan dasarnya kapas yang kemudian dipintal dijadikan
benang oleh masyarakat setempat dan ditenun sehingga menjadi selembar sarung
tenun. Berdasarkan hal inilah masyarakat setempat menyatakan bahwa Desa Bolo merupakan
desa yang pertama kali dan sebagai tempat asal mula pembuatan sarung tenun di
Kabupaten Muna.
B. Mata pencaharian Masyarakat Desa Bolo
Masyarakat Desa Bolo merupakan
masyarakat yang tingkat ekonominya masih sangat sederhana dengan profesi yang
beraneka ragam. Sebagian besar masyarakat Desa Bolo merupakan pengrajin sarung
tenun adat muna, khususnya para wanita. Mereka menenun sarung adat muna, secara
berkelanjutan sesuai dengan ada atau tidaknya pesanan, namun ada pula yang
menjualnya ke pasar atau kepada para pengumpul atau penada. Selain sebagai
penenun kaum perempuan juga sebagai petani. Tanaman yang mereka tanam
bermacam-macam, mulai dari jambu mete, tanaman sayur-sayuran dan tanaman yang
dapat dijadikan sebagai makanan pokok seperti jagung dan padi. Hasil dari
pertanian dan perkebunan tersebut sebagian mereka pakai untuk dikonsumsi
sendiri dan sebagian lagi mereka jual di pasar-pasar terdekat. Pada saat
berbuah jambu mete, selain sebagai penenun dalam aktifitas kesehariannya,
mereka juga mengolah jambu mete tersebut sehingga harganya lebih mahal dari
sebelumnya.
Wilayah Desa Bolo tidak terlalu jauh dari ibu kota Kabupaten
Muna sehingga sebagian masyarakatnya ada yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri
Sipil (PNS) yang bertugas di Kota Raha. Sebagian lagi ada yang berprofesi
sebagai tukang kayu. Kayu yang mereka olah dijadikan berbagai macam perabot
seperti kursi dan meja, ranjang dan berbagai macam perabot yang lain.
Perabot-perabot tersebut kemudian mereka jual dan kepada masyarakat setempat
maupun orang dari luar desa. Selain itu, para tukang kayu ini juga biasanya
menerima pesanan dari para pembeli yang kemudian mereka kerjakan berdasarkan
pesanan tersebut. Salah satu yang biasanya di pesan untuk dibuatkan oleh
masyarakat setempat kepada para tukang kayu ini adalah alat-alat meng-hani/
kasoro dan peralatan penenunan. Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan oleh
peneliti, harga satu set alat meng-hani/kasoro dan alat menenun adalah sekitar
tujuh ratus lima puluh ribu rupiah sampai delapan ratus ribu rupiah. Pada
dasarnya, peralatan yang digunakan untuk meng-hani dan menenun adalah
bahan-bahan yang sudah tersedia di alam namun bagi orang yang tidak mau repot,
mereka biasanya langsung memesan kepada para tukang kayu. Waktu yang
dibutuhkanpun untuk membuat peralatan tersebut pun tudaklah terlalu lama, hanya
sekitar satu minggu pesanannya sudah bisa diambil.
Ada pula yang mempunyai profesi sebagai pedagang. Mereka
menjual berbagai macam barang dagangan, mulai dari sembako sampai dengan kain
sarung tenun. Mereka menjual barang dagangannya ke pasar-pasar terdekat, bahkan
ada yang sampai ke Pasar Laino di Kota Raha. Namun ada pula yang hanya membuka
warung di rumahnya masing-masing dengan barang dagangan berupa makanan cemilan
sampai dengan bahan pokok. Menurut beberapa informan, meskipun banyak profesi
yang mereka geluti saat ini, namun pembuatan sarung tenun adat muna tetap terus
mereka lakuakan pula. Hal ini melakukan karena sarung tenun adat muna merupakan
adat-istiadat yang sudah turun-temurun mereka geluti atau mereka lakukan sejak
dahulu.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Proses pembuatan sarung tenun
Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh peneliti rata-rata
masyarakat yang berprofesi sebagai penenum sarung mulai belajar membuat sarung
tenun sejak umur 12-14 tahun. Demikian pula dari hasil pengamatan yang
dilakukan oleh peneliti di Desa Bolo sudah banyak anak-anak yang telah pintar
membuat sarung meskipun masih pada tahap-tahap yang masih sangat awal seperti
meng-hani/ kasoro. Rata-rata anak-anak
ini masih duduk pada sekolah dasar yang ketika pulang dari sekolah mereka
membantu orang tua mereka melakukan pembuatan sarung tenun. Sedangkan proses
menenun mulai dilakukan sejak umur 17 tahun atau telah menginjak pada sekolah
menengah pertama. Adanya perbedaan umur tersebut dalam mempelajari pembuatan
sarung tenun karena didasarkan pada tingginya badan atau pertumbuhan si anak
tersebut.
Proses pembuatan sarung tenun adat muna ada dua bagian yaitu
:
1. Proses meng-hani/ kasoro
Proses meng-hani/kasoro adalah suatu proses awal yang dilakukan dalam pembuatan
sarung tenun adat muna dengan cara menyusun setiap helai lembaran benang pada
alat yang telah disiapkan sebelumnya dan dengan cara-cara tertentu pula. Bahan
dasar utama yang digunakan dalam pembuatan sarung muna yaitu benang biasa dan
benang mamilon atau benang nilon dengan warna yang berbeda sesuai dengan warna
sarung yang akan dibuat. Benang biasa yaitu benang yang biasa digunakan oleh
masyarakat pada umumnya untuk menjahit, sedangkan benang mamilon atau benang
nilon yaitu benang yang khusus digunakan untuk membuat sarung tenun adat dengan
ciri mengkilap. Alat-alat yang digunakan dalam proses meng-hani/ kasoro ini
adalah sebagai berikut:
· Langku yaitu dua batang kayu balok
atau bambu dengan ukuran sedang yang dibaringkan sejajar dengan jarak sekitar 1
meter dan panjangnya sekitar 2 meter.
· Jhangka yaitu bambu yang dibentuk
seperti sisir yang bagian atas dan bawahnya dihimpiykan dengan dua batang bambu
kecil dengan panjang sekitar 1,4 meter. Jhangka ditempatkan pada bagian tengah
langku dan diikat pada kedua batang langku tersebut.
· Kae yaitu sebatang bambu yang
berukuran sedang dengan panjang sekitar 1,4 meter yang diikatkan pada kedua
ujung langku dan berfungsi untuk mengencangkan benang.
· Ati yaitu sebatang kayu yang
dibentuk sedemikian rupa dengan bagian tengahnya mengecil dengan panjang sekitar
1,4 meter yang dipasang pada ujung langku dan berfungsi untuk mengencangkan
benang.
· Kaju yaitu sebatang bambu kecil
dengan panjang sekitar 1,4 meter yang dipasang pada langku dan berfungsi
membatasi benang bagian atas dan bagian bawa agar tidak bercampur.
· Parambhibhita yaitu ssebatang bambu
kecil yang panjangnya lebih kurang 1 meter dan digunakan sebagai tempat untuk
memisahkan benang bagian atas dan bagian bawah serta sebagai tempat
menggulungkan benang nilon.
· Bhibhita yaitu seutas benang nilon
yang digulungkan pada parambhibhita sekaligus juga berfungsi sebagai pemisah
antara benang yang satu dengan benang yang lainnya.
· Kaghua yaitu berupa tempat sabun
colek lengkap dengan penutupnya yang kemudian diisikan dengan segulung benang
dan pada bagian atas penutupnya dilubangi sebagai tempat keluarnya benang.
Dahulu sebelum ada pengetahuan untuk menggunakan tempat sabun colek, masyarakat
setmpat menggunakan tempurung kepala. Tempurung kelapa yang digunakan ahanya
sebelah saja. Kemudian tempurung kelapa tersebut dilubangi pada kedua belah
sisinya dan pada gulungan benang dumasukkan sebatang kayu yang diperkirakan
bisa masuk di dalam lubang segulung benang tersebut. Selanjutnya kayu yang
sudah dimasukkan ke dalam gulungan benang tersebut, kedua ujungnya dimasukkan
pada kedua belah sisi lubang tempurung kelapa sehingga benang tersebut bisa
berputar dengan sendirinya apabila ditarik.
· Kangkai yaitu selembar tulang tipis
yang biasanya diambil dari tulang rusuk sapi yang panjangnya lebih kurang
sekitar 50 cm dengan bagian ujungnya berbentuk seperti mata pancing yang
berfungsi sebagai pengait benang melalui sela-sela jhangka. Kangkai ini juga
bisa terbuat dari kayu, namun kayu teresebut harus dihaluskan karena jika kayu
tersebut kasar bisa saja benang-benang yang akan dibuat menjadi sarung ketika
dalam proses meng-hani/ kasoro maupun proses menenun terkait atau tersangkut
pada kayu tersebut sehingga benang bisa saja putus.
Perlu diketahui bahwa proses meng-hani/ kasoro harus
dilakukan oleh dua orang baik itu anak-anak maupun untuk orang dewasa. Dalam
melakukan proses meng-hani/ kasoro harus dengan sangat hati-hati dan dengan
ketelitian yang sangat tinggi karena setiap lembaran benang harus ditempatkan
pada posisinya msing-masing. Selain itu, proses meng-hani/ kasoro juga harus
dilakukan dengan penuh kesabaran dan kecermatan karena seutas demi seutas
benang harus disusun dan dirapikan sehingga tidak ada yang saling bertindisan
sehingga menyebabkan benang tersebut kusut. Setelah mengetahui alat-alat yang
akan digunakan dalam proses meng-hani/ kasoro, maka selanjutnya langkah-langkah
yang dilakukan dalam proses meng-hani/ kasosro adalah sebagai berikut:
Meng-hani/ kasoro harus dilakukan oleh dua orang sehingga dua orang yang akan
meng-hani/ kasoro ini harus menempati posisinya msing-masing yaitu satu orang
berada disebelah kanan dan yang satu lagi berada di sebelah kiri. Mereka berada
di tengah-tengah antara dua batang langku dan yang memisahkan mereka atau yang
menjadi pembatas diantara kedua orang yang akan melakukan proses meng-hani ini
adalah sebuah jhangka. Selain itu, kaju, parambhibhita dan bhibhita juga
terletak diantara kedua orang yang akan melakukan proses meng-hani. Kaju berada
pada bagian sebelah langku sedangkan parambhibhita dan bhibhita berada pada
sebelah lainnya dari langku sehingga masing-masing kedua orang yang melakukan
proses meng-hani mempunyai pekerjaan yang hampir sama karena mereka sama-sama
harus mempunyai tingkat ketelitian yang baik untuk dapat menghasilkan sarung
yang berkualitas.
Langkah selanjutnya yaitu memasukkan benang ke dalam kaghua.
Warna benang yang di masukkan ke dalam kaghua harus disesuaikan dengan warna
sarung yang akan dibuat. Dalam hal ini seseorang yang melakukan proses
meng-hani/ kasoro harus dapat memperkirakan dan mengetahui seberapa lebar dalam
satu warna benang yang digunakan sehingga warna yang terdapat pada sarung tenun
adat muna sesuai dengan warna yang sesungghunya. Sarung tenun adat muna
mempunyai warna dasar yang beraneka ragam, namun pada umumnya hanya berupa
garis-garis lurus yang melingkari sarung tenun tersebut. Kemudian ada pula yang
disebut dengan bunga yaitu corak dari sebuah sarung tenun selain dari
garis-garis yang terdapat pada sarung tersebut. Warna benang yang digunakan
dalam proses meng-hani/ kasoro harus dimasukkan satu persatu ke dalam kaghua
sehingga apabila telah selesai warna benang yang satu, maka benang yang
terdapat dalam kaghua harus diganti. Kemudian apabila dirasa telah cukup
untuk satu satu warna benang, maka warna benang yang lain akan menggantikan warna
benang yang ada dalam kaghua tersebut.
Kemudian langkah-langkah yang dilakukan dalam proses
menghani/ kasoro setelah alat yang akan digunakan sudah disiapkan dan telah
dirangkai menjadi satu rangkaian utuh dan benang telah berada dalam kaghua,
serta dua orang yang akan melakukan proses meng-hani/ kasoro telah berada pada
tempatnya masing-masing yaitu benang yang terdapat pada kaghua ditarik keluar
yang bermula dari bagian ujung yaitu pada kae bagian atas dan dibawa melewati
bagian bawah daripada parambhibhita dan bhibhita. Kemudian ditarik lagi
benangnya dan dibelokkan ke atas, dan langsung menuju ke kae bagian atas
kembali. Selanjutnya yaitu benang yang terdapat dalam kaghua tadi yang sudah
sampai pada kae ditarik lagi kemudian melewati bagian atas parambhibhita dan
diselingkan dengan bhibhita agar benang yang satu dengan benang yang lainnya
tidak saling bercampur dan tidak tindih-menindih. Selanjutnya dengan
menggunakan kangkai, teman yang berada pada bagian sebelahnya menarik benang
melalui sela-sela jhangka dan dikaitkan atau dimasukkan pada kaju. Kemudian,
teman yang berada pada bagian sebelah kiri melakukan seperti yang pertama tadi
yaitu benang ditarik lagi dari ujung kae bagian atas sampai teman sebelah
kanjanya lagi menarik benang tersebut menggunakan kangkai melalui jhangka
melewati kaju serta langsung ditarik ke ujung hingga sampai pada ati. Setelah
itu benang ditarik lagi melalui bagian atas ati dan benang dibelokkan ke bawah
menuju ke kaju. Pada kaju, benang selanjutnya dimasukkan ke kaju. Proses ini
berulang terus-menerus hingga mencukupi lebar selembar sarung tenun adat.
Permasalahan
yang biasanya dialami oleh mereka yang melakukan proses meng-hani/ kasoro yaitu
apabila kualitas benang yang digunakan tidak baik atau kurang baik. Dalam hal
ini bisa saja benang yang mereka beli dipasar atau pada toko-toko yang menjual
benang tersebut telah lama atau terkena air. Hal-hal seperti di atas bisa saja
mengurangi kualitas benang yang akan digunakan untuk membuat sarung tenun adat
sehingga pada saat menggunakan benang tersebut akan mudah putus. Hal ini pula
yang merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas daripada sarung yang
akan dihasilkan. Semakin baik kualitas benang yang digunakan, maka semakin baik
pula kualitas sarung tenun adat yang dihasilkan. Faktor lain yang juga turut
menentukan kualitas sarung yang digunakan yaitu dari si penenun. Dalam hal ini
faktor kehati-hatian dan kesabaran serta keuletan dari penenun juga merupakan
faktor yang sangat menentukan kualitas sarung yang akan dihasilkan. Semakin
terampil si penenun tersebut dalam membuat sarung tenun, maka semakin baik pula
kualitas sarung yang akan dihasilkannya.
Setelah proses meng-hani/ kasoro selesai, maka selanjutnya
untuk mengahasilkan selembar sarung dilanjutkan lagi dengan proses menenun.
Proses menenun inilah merupakan proses yang sangat menentukan sarung apa yang
akan dibuat atau dihasilkan. Pada proses menenun ini, akan ditentukan apakah
sarung yang akan dibuat memiliki bunga atau corak atau mungkin saja hanya
merupakan sarung polos tanpa bunga atau corak. Pada masyarakat Desa Masalili
yang mereka maksud dengan sarung polos yaitu sarung yang tidak mempunyai bunga
atau corak bukan dilihat dari warnanya sebagaimana yang diketahui masyarakat
lain yang beranggapan bahwa sarung polos merupakan sarung yang sama warnanya
dari atas ke bawah.
Pada proses meng-hani/ kasoro tadi telah dikatakan bahwa
proses tersebut bisa dilakukan oleh anak-anak maupun dewasa. Namun pada proses
menenun, memerlukan keahlian khusus terutama dalam pembuatan bunga atau
coraknya. Sehingga anak-anak biasanya belum bisa melakukan proses menenun.
Corak yang akan dibuat telah ada sebelumnya dalam pikiran penenun sehingga
prosesnya akan berjalan terus-menerus tanpa ada selembar atau sehelai benang
yang terlupakan untuk disisipkan. Hal lain yang juga menjadi hambatan sehingga
anak-anak belum dapat melakukan proses menenun yaitu terkait dengan tinggi
badan. Karena dalam melakukan proses menenun ada salah satu alat yang digunakan
dalam proses tersebut yang harus sesuai dengan tinggi orang dewasa. Hal ini
bila tidak dilakukan, maka proses menenun bisa saja menjadi terhambat.
2. Proses Menenun
Proses menenun adalah suatu proses lanjutan setelah melakukan poses meng-hani/
kasoro yang merupakan penentu apakah sarung yang dihasilkan akan memiliki bunga
atau corak atau hanya sarung polos biasa saja. Proses menenun harus dilakukan
oleh orang-orang yang telah mahir karena dalam proses ini kualitas sarung akan
ditentukan sehingga perlu pula keahlian khusus dalam pengerjaannya. Biasanya
orang-orang yang melakukan proses menenun ini merupakan orang-orang yang telah
berumur yang dalam hal ini ia telah lama menekuni pembuatan sarung tenun adat
ini. Seseorang yang melakukan proses menenun harus telah mengetahui atau telah memiliki
bayangan dalam pikirannya sarung apa yanga akan dibuat dan modelnya seperti apa
sehingga prosesnya akan berjalan terus-menerus tanpa putus.
Telah diketahui bahwa proses meng-hani/ kasoro harus dilakuakn oleh dua orang,
namun pada proses menenun yang terjadi malah sebaliknya. Proses menenun tidak
boleh dilakukan oleh dua orang akan tetapi hanya dapat dilakukan oleh satu
orang saja.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam proses menenun yaitu
menyiapkan peralatan yang akan digunakan dalam proses penenunan seperti:
1.
Katai
yaitu dua lembar papan yang panjangnya sekitar 1,6 meter dan lebarnya sekitar
15-20 cm. Papan ini diletakkan pada dinding dan berfungsi sebagai tiang atau
penyangga.
2.
Selanjutnya
adalah memindahkan bagian-bagian alat dari proses menghani/ kasoro kepada proses
menenun. Alat-alat yang dipindahkan tersebut adalah sebagai berikut:
·
Kae
yang semula berada pada proses meng-hani/ kasoro yaitu terletak pada ujung
langku sebelah kanan, kenudian dipindahkan pada proses menenun yang dipasang
pada ujung katai bagian atas. Ati tidak mengalami perubahan fungsi yaitu
sebagai alat yang digunakan mengencangkan benang.
·
Ati
yang semula berada pada proses meng-hani/ kasoro yaitu terletak pada ujung dua
batang langku sebelah kiri, kemudian dipindahkan pada alat menenun yang
dipasangkan dengan sebatang kayu berhimpitan agar benang yang sudah tersusun
tidak bergeser lagi. Dalam hal ini, ati mengalami perubahan fungsi yang semula
ketika berada pada proses menghani hanya berfungsi sebagai pengencang benang
agar tidak longgar atau kendur, setelah berada pada proses menenun ati
berfungsi sebagai alat yang menjepit atau alat yang dapat merapikan benang
sehingga benang tidak bergeser lagi.
·
Demikian
pula kaju, bhibhita dan parambhibhita dipindahkan dari proses meng-hani/ kasoro
ke proses menenun yang diletakkan diatas kaki si penenun, namun letak asalnya
tidak berubah atau tidak bergeser.
3. Kafetadaha yaitu sebatang kayu yang
dijadikan tempat menginjakkan kaki agar si penenun dapat menarik benang-benang yang
sudah terpasang pada alatnya sehingga lebih kencang.
4. Lobu yaitu sebatang bambu yang
berukuran sedang dengan panjang lebih kurang 25-30 cm dan pada salah satu
ujungnya dipotong sehingga berlubang dan ujung lainnya tertutup. Selanjutnya
ada sebatang kayu kecil yang digulungkan dengan segulung benang. Semakin banyak
fariasi bunga atau corak dan fariasi warna yang akandibuat pada selembar
sarung, maka akan semakin banyak pula gulungan benang pada kayu kecil tersebut
yang digunakan. Hal ini dimaksudkan karena setiap gulungan benang sebatang kayu
kecil tersebut digulungkan dengan warna benang yang berbeda dan masing-masing
gulungan mempunyai fungsi tersendiri sesuai dengan fariasi bunga atau corak dan
fariasi warna yang akan dibuat pada selembar sarung.
5. Katokano bunga yaitu bambu kecil
yang berada di atas benang tenunan dengan beberapa utas benang nilon yang
membatasi kumpulan benang tenunan.katokano bunga sebenarnya merupakan bahasa
muna yang apabila diartikan ke dalam bahasa Indonesia yaitu “perlengkapan bunga”,
sehingga fungsinya yaitu sebagai alat yang digunakan untuk membentuk bunga atau
corak pada sarung tenun. Lebih banyak fariasi bunga atau corak yang akan dibuat
pada selembar sarung tenun, maka akan semakin banyak pula jumlah dari katokano
bunga tersebut.
6. Kadanda yaitu sebatang kayu yang
berada diatas benang tenunan dan berfungsi untuk menindi benang agar tidak
terhambur. Kadanda ini tidak terlalu banyak difungsikan tetapi merupakan juga
salah satu yang harus tetap ada dalam proses penenunan.
7. Bhalida yaitu sebatang kayu tipis
yang panjangnya sekitar 1,4 meter dan berfungsi merapatkan benang-benang yang
telah disusun sebelumnya selembar demi selembar benang. Cara kerja dari alat
bhalida ini yaitu dengan cara memukul-mukul jhangka sehingga jhangka yang sudah
berisikan benang tergeser merapatkan benang yang telah dimasukkan sebelumnya
dengan menggunakan lobu.
8. Kabuntuluha yaitu sebatang kayu
tebal yang digunakan untuk menahan atau menopang agar bhalida pada saat
penggunaannya tidak langsung kelantai karena apabila bhalida tidak tertopang
maka akan menyulitkan si penenun ketika memasukkannya kembali di sela-sela
benang.
9. Tetere yaitu selembar papan yang
agak tebal yang dipasang pada katai bagian bawah sehingga pada saat melakukan
penenunan benang akan berbentuk huruf L.
10. Talikundo yaitu kayu yang diukir
atau yang dibentuk sedemikian rupa agar sipenenun lebih nyaman dalam melakukan
penenunan. Talikundo ini berfungsi sebagai alat untuk mengencangkan benang yang
dipasang di belakang si penenun dengan tali yang diikat antar talikundo dengan
ati yang berada didepannya.
Setelah selesai menyiapkan dan memindahkan alat dari proses
meng-hani/ kasoro kepada proses menenun, maka selanjutnya yaitu langkah-langkah
yang dilakukan dalam proses menenun yaitu diawali dengan si penenun mengambil
posisi pada alat penenunan dengan duduk terlentang. Kaki dari si penenun harus
dipanjangkan atau diluruskan hingga sampai pada kafetadaha. Selanjutnya dengan
menggunakan lobu, seutas demi seutas benang dimasukkan ke dalam sela-sela
benang hasil dari proses meng-hani/ kasoro melalui kaju dan kadanda serta
parambhibhita dan bhibhita yang kemudian untuk merapatkannya digunakanlah
bhalida untuk memukul-mukul jhangka sehingga benang tersebut benar-benar rapat.
Setelah beberapa lama, maka kain yang dihasilkan akan bertambah panjang,
sehingga untuk tidak menyulitkan penenun, ati harus dibuka dan benang hasil
dari proses meng-hani/ kasoro ditarik lagi dan kemudian dijepit kembali dengan
munggunakan ati agar benang yang sudah ditarik tersebut tidak bergeser lagi.
Demikianlah secara terus menerus prosesnya akan berlangsung.
Membuat bunga atau corak pada selembar sarung tenun
memerlukan keahlian khusus karena pengerjaannya cukup sulit. Beda corak atau
bunga yang akan dibuat, maka beda pula cara yang akan dilakukan dalam
pembuatannya. Biasanya orang-orang yang membuat bunga atau corak ini merupakan
penenun yang telah berusia lanjut atau penenun yang benar-benar menekuni usaha
penenunan sarung ini karena selain pembuatannya yang memakan waktu yang cukup
lama juga tingkat kesulitannya yang sangat tinggi. Dari hasil pengamatan
peneliti di lapangan, rata-rata yang membuat sarung tenun dengan bunganya atau
dengan coraknya berumur diatas 35 tahun. Sedangkan penenun yang berumur di
bawah 35 tahun biasanya hanya mampu menenun sarung polos yang tanpa corak atau
bunga atau mereka hanya bisa menenun sarung yang menggunakan benang mamilon
sebagai hiasan untuk lebih memperindah sarung hasil buatannya.
Setelah
selesai, maka benang hasil proses meng-hani/ kasoro pasti akan ada yang tersisa
pada ujungnya sehingga benang ini akan digunting dan jadila selembar kain.
Kemudian kain yang telah jadi tersebut untuk menjadikannya selembar sarung,
maka terlebih dahulu harus diukur disesuaikan dengan panjang selembar sarung
dan dijahit sehingga jadilah selembar sarung tenun adat muna.
Waktu yang dibutuhkan dalam proses meng-hani/ kasoro yaitu
kurang lebih 3 jam untuk selembar sarung. Saat ini benang yang digunakan tidak
ada lagi yang dibuat sendiri oleh si penenun, tetapi sudah merupakan benang
hasil produksi pabrik. Benang tersebut dibeli di pasar atau di toko-toko yang
menjual benang tersebut. Sedangkan proses menenun dibutuhkan waktu sekitar satu
minggu untuk menyelesaikan selembar sarung. Namun waktu yang dibutuhkan untuk
penyelesaian proses menenun ini relatif. Hal ini dikarenakan tergantung pada keuletan dari si penenun tersebut. Selain itu,
waktu penyelesaiannya juga tergantung dari ketekunan penenun dan banyak atau
tidaknya corak atau bunga yang akan dibuat pada selembar sarung tenun ini. Pada
benang biasa pembelian dilakukan per dos yang berisi 12 gulung dalam satu dos
dengan harga 13 hingga 14 ribu rupiah per dosnya. Sedangkan untuk benang
mamilin atau benang nilon, pembelian dilakukan per gulung dengan harga 16 ribu
rupiah per gulungnya.
Dalam pembuatan selembar sarung, dibutuhkan benang sebanyak
3 dos atau ditambah lagi dengan benang mamilon apabila pembuatan sarung tenun
tersebut juga menggunakan benang mamilon. Biaya yang digunakan untuk membuat
selembar sarung tenun secara keseluruhan yaitu sebesar 42 ribu rupiah hingga 70
ribu rupiah yang disesuaikan dengan jenis sarung yang akan dibuat. Semakin
banyak benang mamilon yang digunakan, maka akan semakin banyak pula biaya yang
akan dikeluarkan karena harga benang mamilon yang cukup mahal. Hal ini karena
ada sarung tenun yang hanya menggunakan benang biasa saja namun ada pula yang
menggunakan benang mamilon sehingga biayanya lebih mahal.
Sarung tenun yang telah jadi selain untuk dipakai sendiri,
juga untuk dijual ke pasar-pasar atau kepada para pembeli yang langsung datang
ke tempat penenunan sarung warga. Selain itu juga sebagian warga menjual sarung
hasil tenunannya kepada para pengumpul atau penada yang juga merupakan warga di
daerah tersebut. Saat ini menurut salah seorang informan menyatakan bahwa
masyarakat setempat masih menjalin kerjasama dengan Dekranas Propinsi namun
tidak terlalu intens lagi. Kegiatan-kegiatan yang pernah dilakukan yaitu
seperti pelatihan pembuatan zat pewarna dan pameran sarung tenun adat muna yang
diselenggarakan oleh Dekranas propinsi kerjasama dengan pengumpul dan
masyarakat setmpat. Pada beberpa jenis sarung yang telah lama yang dibuat oleh
masyarakat Desa Masalili yang sampai saat ini masih dilestarikan. Berikut
adalah tabel nama sarung dan harga jualnya:
NO
|
JENIS
SARUNG TENUN
|
HARGA
SARUNG TENUN
|
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
|
Bhotu
+ Salenda
Samasili+
Salenda
Bharalu
Jhalima
Gunung-Gunung
Kambeano
Bhanggai
Lejha
Kaparanggigi
Bhia-Bhia
Paghino
Toghe
Katamba
Gawu
Manggo-Manggopa
Kapododo
Lante-Lante
Koburino
Finding
Konini
|
Rp
300.000,-
Rp
300.000,-
Rp
175.000,-
Rp
175.000,-
Rp
250.000,-
Rp
175.000,-
Rp
150.000,-
Rp
200.000,-
Rp
150.000,-
Rp
175.000,-
Rp
175.000,-
Rp
175.000,-
-
-
-
-
|
Dari semua jenis sarung tenun diatas, terdapat delapan jenis
sarung tenun adat yang telah dipatenkan yaitu sebagai berikut:
1.
Bhotu 5. Lejha
2.
Samasili 6. Findang Konini
3.
Bharalu 7. Kaso-Kasopa
4.
Manggo-Manggopa 8. Bhia-Bhia
Berdasarkan tingkat kesulitan pembuatan sarung tenun,
berikut ini berturut-turut dari yang sulit ke yang mudah pembuatannya yaitu
bhotu, samasili, bharalu, gunung-gunung, jhalima, kambeano bhanggai, lejha,
kaparanggigi, bhia-bhia, paghino toghe, katamba gawu dan manggo-manggopa.
Tingkat kesulitan pembuatan sarung tenun tersebut diukur dari seberapa banyak
bunga atau corak yang terdapat pada jenis sarung tenun. Demikian pula dengan
fariasi warna yang digunakan. Semakin banyak fariasi bunga atau corak yang
terdapat pada jenis sarung tersebut, semakin tinggi pula tingkat kesulitannya.
Satu jenis sarung bisa saja diubah warna dan coraknya namun pola yang telah ada
pada sarung tenun tersebut tidak dapat diubah karena akan menyebabkan
terjadinyapengubahan bentuk pada jenis sarung yang telah ada.
Sarung Bhotu (bheta bhotu) yaitu sarung yang khusus
digunakan oleh para golongan Kaomu sebagai salah satu pakaian yang wajib
digunakan dalam resepsi-resepsi atau acara-acara adat. Hal ini juga sebagai
salah satu cara menunjukkan identitas mereka di masyarakat sebagai seorang
bangsawan karena gelar seorang bangsawan dalam masyarakat sangat dihormati dan
dihargai. Ciri-ciri khas yang terdapat pada sarung tenun bhotu yaitu warnanya
yang keemasan dengan warna dasar biru tua dan bagian atasnya terdapat garis
berwarna keemasan. Selain itu, sarung tenun bhotu juga memiliki corak atau
bunga yang berwarna keemasan dengan garis-garisnya yang vertical.
Demikian pula sarung tenun Samasili (bheta samasili) yang
juga merupakan sarung yang digunakan oleh golongan Kaomu dalam acara-acara atau
resepsi-resepsi adat yang memiliki ciri-ciri garis mendatar berwarna keemasan
dengan warna dasar biru tua. Kemudian ciri lain yang dimiliki oleh sarung
Samasili yaitu garis-garis vertikal yang berwarna biru tua. Warna keemasan yang
tegak ke atas berpotongan dengan warna biru tua yang mendatar dengan bagian
belakang atau kepalanya yang memiliki garis-garis kecil vertikal yang berwarna
biru tua pula.
Sarung Bharalu (bheta bharalu) yaitu sarung yang khusus
digunakan atau dipakai oleh para golongan Sara. Ciri-ciri yang terdapat pada
sarung tenun Bharalu yaitu pada bagian atasnya terdapat garis yang berwarna
silver kemudian pada bagian bawahnya terdapat warna hitam. Selanjutnya yaitu
pada bagian bawah setelah warna hitam terdapat lagi warna merah maron dan pada
bagian tengahnya terdapat warna kehitam-hitaman yang dihiasi dengan garis-garis
kecil berwarna keemasan. Selanjutnya pada bagian bawahnya lagi berturut-turut
sebagaimana warna yang ada di atas tadi. Sedangkan sarung tenun Manggo-Manggopa
(bheta mango-manggopa) yang juga merupakan sarung tenun adat muna yang
digunakan atau dipakai oleh para golongan Sara memiliki ciri-ciri warna yang
cerah dengan permukaannya memiliki garis-garis melingkar. Sarung ini cukup
mudah dalam proses pembuatannya kerena hanya merupakan garis-garis melingkar
yang ada pada sarung tersebut.
Sarung tenun Kaso-Kasopa (bheta kaso-kasopa) yaitu sarung
tenun yang digunakan atau dipakai khusus oleh golongan Walaka. Ciri-ciri yang
terdapat pada sarung Kaso-Kasopa ini yaitu pada bagian atasnya ada garis warna
silver melingkat yang agak tebal dan kemudian diikuti pada bagian bawah warna
silver tersebut dengan warna biru tua. Selanjutnya secara selang seling sampai
kebawah setelah warna biru tua diikuti dengan garis kecil melingkar berwarna
silver.
Kemudian sarung tenun Lejha (bheta lejha) juga merupakan
sarung yang khusus digunakan oleh golongan Walaka dalam urusan-urusan yang
terkait dengan adat-istiadat. Ciri-ciri yang terdapat pada sarung tenun Lejha
yaitu benang yang digunakan secara keseluruhan hanya merupakan benang biasa
dengan berbagai macam warna yang berbeda tanpa menggunakan benang mamilon atau
benang nilon. Pada bagian atasnya terdapat warna biru tua yang diikuti bagian
bawahnya terdapat garis-garis kecil melingkar yang berwarna kuning, merah
maron, dan warna putih. Selanjutanya terdapat lagi warna biru tua pada bagian
bawahnya yag diikuti dengan merah, putih dan kuning. Demikian secara selang
seling warna biru tua dengan garis-garis kecil yang berwarna kuning, merah
maron dan putih sampai ke bawah.
Sarung tenun yang juga menjadi pakaian khusus oleh para
golongan Walaka yaitu sarung tenun Bhia-Bhia (bheta bhia-bhia). Sebagaimana
ciri-ciri yang terdapat pada sarung tenun Lejha, pada sarung tenun Bhia-Bhia
juga tidak menggunakan benang mamilon atau benang nilon namun bahan dasarnya
hanya menggunakan benang biasa dengan fariasi warna yang berbeda-beda.
Ciri-ciri utama yang terdapat pada sarung tenun Bhia-Bhia ini yaitu berupa
garis-garis melingkar dengan ukuran kecil dari atas sampai ke bawah dan yang
menjadi pembeda antara garis yang satu dengan garis yang lainnya hanya pada
warnanya saja. Warna yang terdapat pada sarung tenun Bhia-Bhia ini yaitu berupa
warna hitam, kuning, hijau dan merah maron. Warna-warna tersebut secara selang-seling
dari atas sampai ke bawa.
Selanjutanya yang menjadi sarung khusus golongan Walaka
yaitu sarung tenun Findang Konini (bheta findang konini). Ciri-ciri utama yang
terdapat pada sarung tenun Findang Koniniini yaitu pada bagian atas sarungnya
terdapat garis yang agak tebal berwarna silver dan keemasan saling
tindih-menindih. Sedangkan pada bagian bawahnya setelah warna silver dan
keemasan tersebut terdapat bentuk kotak-kotak kecil persegi empat berwarna
hitam yang bagian pinggir dari kotak-kotak kecil persegi empat tersebut dihiasi
dengan warna keemasan. Kemudian setelah itu, tedapat garis melingkar yang
berwarna merah muda atau merah jambu. Pola di atas secara berturut-turut
tersusun sampai ke bawah dan pada bagian sarung tenun Findang Konini ini terdapat
lagi warna silver dan keemasan. Pola-pola seperti di atas dalam pembuatan
sarung tenun adat akan membutuhkan keahlian khusus dari penenunnya.
Sebagai catatan yang berkaitan dengan corak atau bunga dan
warna sarung tenun yang dibuat di Desa Bolo Masalili bahwa warna sarung bisa
saja berubah atau berganti warna namun pola yang telah ada tidak dapat diubah.
Pola tersebut merupakan ciri khusus atau pembeda antara jenis sarung yang satu
dengan jenis sarung yang lain sehingga pola ini tidak akan dapat diubah lagi.
Sarung
tenun adat muna dipakai pada saat ada acara-acara atau resepsi-resepsi adat
seperti pelamaran dan pernikahan. Jenis corak sarung yang dugunakan tergantung
pada stratifkasi sosial orang yang memakainya dalam masyarakat. Biasanya para
penenun ketika ada yang akan membeli hasil sarung tenunan mereka, terlebih
dahulu para penenun bertanya kepada para pembeli tentang stratifikasinya,
tentunya dengan bahasa yang sangat sopan agar pembelinya tidak merasa
tersinggung. Hal ini dilakukan agar pada saat pemakaian sarung tenun adat muna
tersebut tidak terjadi kesalahan pemakainya sehingga dalam masyarakat akan ada
cemoohan. Namun saat ini, stratifikasi sosial bagi sebagian masyarakat yang
lain sudah mulai memudar seiring dengan perkembangan wilayah tersebut.
Orang-orang membeli sarung tenun adat muna tidak lagi melihat stratifikasi
sosialnya, tetapi mereka membeli atau memakai sesuai dengan selera dan yang
mereka inginkan terutama orang-orang yang berasal dari daerah lain.
Pada masyarakat muna, terdapat
stratifikasi sosial yang berlaku dalam masyarakat. Stratifikasi sosial tersebut
terbagi menjadi tiga tingkatan. Tingkatan yang pertama disebut dengan Golongan
Kaomu . Golongan Kaomu merupakan golongan bangsawan yang berhak untuk menjadi raja dalam
struktur sosial atau stratifikasi sosial masyarakat pada kerajaan Muna.
Golongan ini di tandai dengan kata ‘La Ode’ bagi laki-laki atau ‘Wa Ode’
bagi perempuan pada awal namanya.
Tingkatan yang kedua disebut dengan Golongan Sara. Golongan Sara adalah orang-orang yang duduk
dalam pemerintahan kerajaan yaitu seperti lembaga yang berhak
menetapkan hukum, mengangkat dan memberhentikan Raja pada sistem pemerintahan
Kerajaan Muna. Golongan ini tidak mempunyai ciri-ciri tertentu pada namanya
namun yang membedakan dengan golongan di bawahnya hanya pada struktur jabatan
yang dipegangnya.
Kemudian tingkatan yang ketiga yaitu golongan Walaka. Golongan Walaka merupakan golongan
yang berhak menjabat pada jabatan legislatif, yudikatif dan pemerintahan di
bawah Raja pada struktur sosial kerajaan Muna. Stratifikasi sosial masyarakat
muna tersebut kemudian tergambar atau terlihat pada jenis sarung tenun adat
yang digunakan atau yang dipakai oleh masing-masing golongan. Berdasarkan
stratifikasi sosial pemakainya, maka berikut ini tabel jenis sarung tenun adat
muna berdasarkan stratifikasi sosial pemakainya:
NO.
|
STRATIFIKASI
SOSIAL
|
JENIS
SARUNG YANG DIPAKAI
|
1
|
Kaomu
|
|
|
||
2
|
Sara
|
|
|
||
3
|
Walaka
|
|
|
||
|
||
|
Kemudian ada pula jenis sarung tenun adat muna yang biasa digunakan oleh kaum
perempuan yang masih muda yaitu:
- Kaso-Kasopa
- Bhia-Bhia
Jenis sarung tenun ini lebih disukai oleh kaum perempuan
muda karena warnanya yang cerah dan sangat sederhana coraknya yaitu hanya
berbentuk garis-garis tanpa ada bunga. Selain menggunakan benang biasa yang
lebih cerah warnanya, jenis sarung tenun ini juga menggunakan benang mamilon
sebagai salah satu bahan pembuatannya sehingga lebih menambah kecemerlangan
warnanya.
Selain
terdapat pembagian jenis sarung tenun berdasarkan stratifikasi sosialnya, ada
pula cara pemakaiannya yang juga berdasarkan stratifikasi masyarakat muna
yaitu:
1. Golongan Kaomu, cara pemakaian
sarungnya yaitu kain sarungnya berada diatas lutut. Dalam masyarakat muna
semakin keatas pemakaian sarungnya disebutkan semakin dalam pemakaiannya.
Sebaliknya semakin ke bawah pemakaian sarungnya disebutkan semakin dangkal
pemakaiannya.
2. Pada golongan Sara, cara pemakaian
sarungnya yaitu kain sarungnya berada di bawah lutut. Panjang kain sarung yang
berada di bawah lutut tersebut lebih kurang 2 cm.
3. Kemudian pada golongan Walaka, cara
pemakaian sarungnya yaitu kain sarungnya berada di bawah lutut lebih dangkal
lagi. Panjang kain sarung yang berada di bawah lututnya yaitu lebih kurang 40
cm atau satu jengkal tangan.
Pemakaian kain sarung tenun adat saat ini sudah tidak lagi
sesuai dengan ketentuan stratifikasi sosial masyarakatnya karena kurangnya
pengetahuan generasi masa kini terhadap adat-istiadat yang telah terlupakan.
Pada saat ini, hanya sebagian orang-orang tua atau tetua-tetua adat yang masih
memegang teguh adat tersebut sehingga tidak jarang pula ditemukan para tetua
adat ketika pergi ke acara-acara atau resepsi-resepsi adat tertentu masih
memegang kuat adat-istiadat cara pemakaian sarung tenun adat tersebut.
Pada masyarakat Desa Bolo ada kepercayaan yang terkait
dengan cara pembuatan sarung tenun adat muna. Cara pembuatan sarung tenun adat
muna yang dimaksud yaitu pada sambungan jahitannya. Ada ukuran tertentu yang
harus disesuaikan dengan ukuran tubuh pemakainya. Sehingga pada saat memakai
sarung tenun tersebut, diusahakan tidak terlihat sambungan jahitannya serta
kepala sarungnya juga harus benar-benar berada di belakang pemakainya.
Kepercayaan yang dimaksud yaitu apabila sambungan jahitan pada sarung tenun
tersebut terlihat pada saat pemakaiannya dan bepergian untuk resepsi-resepsi
atau acara-acara adat, maka dipercaya atau diyakini bahwa akan ada
hambatan-hambatan dalam pelaksanaan acara atau resepsi adat tersebut. Hal ini
juga terkait dengan penghargaan kepada orang lain yang akan melaksanakan
resepsi adat tersebut. Dimana ketika seseorang yang mempunyai urusan adat
dengan orang lain maka orang yang mempunyai urusan adat tersebut harus
sebaiknya datang dengan berpakaian adat karena hal itu akan menunjukkan rasa
hormat atau penghargaan kepada orang lain yang menjadi tempat berurusan adatnya
tersebut.
Sudah
sering terjadi seseorang tidak diterima urusan adatnya bahkan disuruh pulang
untuk mengganti pakaiannya dengan pakaian adat muna. Hal ini terjadi karena
ketika mereka datang ke rumah seseorang dengan keperluan adatnya, mereka tidak
memakai pakaian adat sehingga mereka harus harus pulang untuk mengganti pakaian
mereka dengan pakaian adat muna. Salah satu contoh kasus yang pernah terjadi
Berdasarkan informasi dari salah seorang warga di Desa Bolo yaitu pernah ada
seorang pria yang akan menikah. Maka, keluarga si pria ini pun pergilah ke
rumah orang tua dari si gadis yang akan dilamarnya tersebut. Sesampainya di rumah
orang tua gadis tersebut, maka merekapun bersalam dan langsung disambut oleh si
tuan rumah. Setelah beberapa lama bercerita, maka keluarga dari si pria ini
mulai menyampaikan maksud kedatangan mereka. Setelah mendengar maksud dari
kedatangan keluarga si pria tersebut, maka orang tua si gadis langsung
menyampaikan permohonan maafnya agar dalam urusan adat, maka sebaiknya
menggunakan tata cara adat dan berpakaian adat. Maka pada saat itu,
lamaran keluarga pria tadi belum diterima sehingga mereka harus pulang terlebih
dahulu untuk mengganti pakaian mereka dengan pakaian adat muna. Berdasarka
contoh kasus tersebut, maka tampak bahwa pakaian adat muna yang salah satunya
adalah sarung tenun adat muna sangat memiliki makna yang mendalam bagi suku
muna itu sendiri.
B.
Fungsi sarung tenun Muna dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat
Adapun fungsi sarung tenun muna
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yaitu :
1. Di gunakan pada saat membawa adat
2. Bagi perempuan di gunakan pada saat pingitan
3. Untuk pernikahan
C. Cara orang Muna
mempertahankan tradisi menenun di kalangan
perempuan Muna
A.
Asimilasi
B.
Akulturasi
C.
Sosialisasi
BAB V
PENUTUP
D. Kesimpulan
Menurut ilmu antropologi, “kebudayaan” adalah : keseluruhan
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat
yang dijadikan milik diri mnusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1990:180).
Kebudayaan juga dapat dilihat sebagai berfungsi untuk mengorganisasi
simbol-simbol (simbol adalah setiap benda, tindakan dan peristiwa yang
mempunyai arti yang terwujud dalam tingkah laku manusia).
Tenun merupakan salah satu perlengkapan hidup manusia yang
telah dikenal sejak zaman prasejarah yang diperoleh dari perkembangan pakaian
penutup badan setelah rumput-rumput dan kulit kayu. Dewasa ini mempunyai fungsi
dalam berbagai aspek sosial, ekonomi, religi, etika dan lain-lain (Kartiwa
dalam Difinubun, 2001:9). Tuti Soeharto pada Majalah Dharma Wanita No. 98
Oktober 1994 dalam Silalahi (1995:98), menjelaskan kespesifikan batik tulis
Banyumas, antara lain motif, warna dasar dan sabagainya. Batik merupakan hasil
karya seni diatas kain ciptaan asli nenek moyang kita yang bernilai tinggi.
Batik memiliki suatu keunikan. Pengungkapan keunikan batik selalu mengandung
kerepotan tersendiri, karena diperlukan alasan yang sangat luas. Baik dari segi
pembuatan bahan pola, pewarnaan, penggunaan dan daerah asal.
E. Saran-saran
Demikian proposal yang kami buat, semoga dapat bermanfaat
bagi pembaca. Apabila ada saran dan kritik yang ingin di sampaikan, mohon
disampaikan agar penulis dapat memperbaiki apa yang menjadi saran dan kritik
tersebut.
Apabila ada terdapat kesalahan mohon dapat mema'afkan dan
memakluminya, karena kami adalah hamba Allah yang tak luput dari salah khilaf,
Alfa dan lupa.
Wassalamu'alaikum
Wr. Wb.
DAFTAR PUSTAKA
Atiru,
Nur Rachma
1992
Mekanisme Pembuatan Sarung Buton dan Masalah-Masalahnya,
Di Kelurahan Melai Kecamatan
Betoambari Kabupaten Buton,
Skripsi Sosialogi Fisip Unhalu, Kendari.
Colleta,
Nat J., Umar Kayam 1987 Kebudayaan dan Pembangunan, Sebuah
Pendekatan Terhadap Antroplogi Terapan di Indonesia, Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta.
Difinubun,
Mujuna 2001 Deskripsi Tentang Kain Tenun Tradisional
Masyarakat Buton (Studi di Kelurahan Melai Kecamatan Betoambari Kota
Bau-Bau), Skripsi Pendidikan Sejarah FKIP Unhalu, Kendari.
Endraswara,
Suwardi 2003 Metode Penelitian Kebudayaan, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Herusatoto,
Budiono 2001 Simbolisme Dalam Budaya Jawa, Hanindita
Graha Widia, Yogyakarta.
Kartiwa,
Suwati 1983 Tenun Ikat Indonesia, djambatan, Jakarta.
Koentjaraningrat1974
Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta.
1990 Pengantar Ilmu Antroplogi, Rineka Cipta, Jakarta.
Melalatoa,
M.J1988 Pesan Budaya dalam Kesenian, Berita
Antroplogi, No. 45 XII Januari-Maret.1991 Tenun,
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Cipta Adi Pusaka, Jakarta.
Melalatoa,
M.J & Sri Murni 1997 “Kebudayaan Sumba dalam Tenun Ikat”
Dalam Sistem Budaya Indonesia, Pemator, Jakarta.
Mulyadi,
Yad 1999 Antropologi : untuk Sekolah Menengah Umum Kelas
3, Program Studi Ilmu Pengetahuan Nasional, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Jakarta.
Peursen,
C.A Van 1975 Strategi Kebudayaan, Kanisius,
Yogyakarta.
Silalahi,
B1995 “Isen Batik” dalam Majalah Dharma Wanita No. 102.Spradley,
James P1997 Metode Etnografi (Terjemahan oleh Misbah
Zulfa Elizabeth), Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta.
Tarimana
Abdurrauf 1988 Kebudayaan Tolaki, Balai Pustaka,
Jakarta.
Turner,
Victor 1989 Masyarakat Bebas Struktur, Liminalitas dan
Komunitas (Terjemahan) oleh Wartaya Winangun), Kanisius Yogyakarta
PROPOSAL PENELITIAN
“Corak
dan Makna Sarung Tenun pada Masyarakat Muna di Desa Bolo Kecamatan Loghia Kabupaten Muna’’

OLEH
LA ODE IKRA SAPUTRA
KASDIN YANG TELITI NI BOS……????
C1C1 12 096
JURUSANAN
ATROPOLOGI SOSIAL
FAKULTAS ILMU
BUDAYA
UNIVERSITAS
HALU OLEO
KENDARI
2015