SEKILAS TENTANG PENDIDIKAN DAN SEKOLAH DI INDONESIA
Bila
 kita mempelajari sejarah pendidikan di tanah air, maka setidaknya bisa 
dibedakan dalam empat rentang waktu, yakni: masa raja-raja 
lokal-prakolonialisme, masa kolonialisme Hindia Belanda-prakemerdekaan, 
masa Orde Lama, dan masa Orde Baru.
     Pada
 masa raja-raja lokal-prakolonialisme, pendidikan mungkin hanya dikenal 
oleh kaum bangsawan dan keluarga raja-raja baik di kerajaan Mulawarman 
di Kalimantan (400 sM), Purnawarman di Jawa Barat (450 SM), Sriwijaya, 
Kediri, Singosari, maupun Majapahit dan Mataram. Corak pendidikan pada 
masa itu boleh jadi tidak berbeda jauh dengan sistem pendidikan di 
kerajaan-kerajaan manapun yang merupakan perpaduan antara pendidikan 
agama (Hindu dan Budha) dan pendidikan bagi para kerabat elit politik 
dan kroni kerajaan. Tidak banyak catatan yang dapat kita jadikan rujukan
 untuk memahami hal ini lebih jauh.
 Pada
 masa kolonialisme, yang dimulai dengan masuknya Portugis disusul 
Spanyol, Belanda, Inggris, dan Perancis, sekolah-sekolah umum 
diselenggarakan dalam rangka melestarikan penjajahan. Politik pendidikan
 kolonial Hindia Belanda, sejak VOC datang di awal abad ke XVII, bahkan 
sangat efektif melestarikan strategi pemecahbelahan setiap komponen 
masyarakat yang berpotensi untuk bersatu menentang kepentingan ekonomi 
dan politik penjajahan. Dan selama 300 tahun kekuasaan Hindia Belanda, 
trilogi pemerintahan yang terfokus pada educatie, irrigatie, dan 
emigratie (pendidikan, irigasi/pertanahan, dan transmigrasi) telah 
menegaskan bagaimana sistem pendidikan telah dipolitisir untuk pro 
status quo. Beberapa lembaga pengajaran yang khususnya mengajarkan 
bahasa Melayu adalah Sekolah Militer di Semarang (1819), Institut Bahasa
 Jawa (1832) dan Sekolah Guru Bumiputera atau Kweekschool (1852) di Surakarta 
Pembaruan
 pendidikan di Hindia Belanda boleh jadi dimulai ketika Mr. J.A. van der
 Chijs di angkat menjadi Inspektur Pendidikan Bumiputera, tahun 1864. Ia
 langsung mengambil alih pengawasan sekolah Bumiputera Kristen dari 
Komisi Tinggi Pendidikan yang telah "membina" sekolah-sekolah itu selama
 30-40 tahun. Larangan pengajaran agama Kristen yang telah diputuskan 
pemerintah tahun 1857 baru efektif pada masa Van Der Chijs. Lalu pada 1 
Januari 1867, Komisi Tinggi Pendidikan diganti oleh Departement van 
Onderwijs, Eeredienst, en Nijverheid (Departemen Pendidikan, Agama dan 
Industri). Hal ini menandakan makin pentingnya pendidikan, khususnya 
bagi kalangan Bumiputera. Tahun 1911, bidang industri dipisahkan dari 
lembaga ini. Tanggal 3 Mei 1871 keluar keputusan kerajaan yang merupakan
 UU Pendidikan Bumiputera yang pertama. Lewat UU ini pendidikan guru 
diperbarui, dan sasaran pendidikan diperluas tidak saja bagi kalangan 
anak-anak penguasa Bumiputera, tetapi juga masyarakat Bumiputera 
lainnya. Yang lebih penting lagi, dalam UU ini dicantumkan ketentuan 
tentang bahasa pengantar di sekolah yang harus menggunakan bahasa 
setempat atau bahasa Melayu. Uang sekolah dihapuskan dan seterusnya 
biaya sekolah ditanggung oleh pemerintah. UU ini juga melarang 
pengajaran agama, baik Kristen maupun Islam atau lainnya, di sekolah. 
Sekolah bercirikan agama tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah. 
Demikianlah jumlah sekolah Bumiputera kemudian berkembang dari 266 
(1871) menjadi 512 (1882). Sekolah juga mulai diperluas tujuannya dari 
sekadar mencetak calon ambtenaar (pegawai negeri) ke arah pengembangan 
potensi masyarakat dan karenanya tidak saja mengajarkan soal bahasa 
melainkan juga mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan.
Menjelang
 akhir abad ke XIX, lewat UU Pendidikan 1893, penjenjangan sekolah juga 
mulai dilakukan. Sekolah Kelas Dua, 3 tahun lamanya, mengajarkan mata 
pelajaran membaca, menulis, dan berhitung, dengan bahasa Melayu sebagai 
pengantar. Lalu Sekolah Kelas Satu, 5 tahun lamanya, memuat mata 
pelajaran membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, ilmu alam, ilmu ukur, 
menggambar, dan sejarah, dengan bahasa Belanda sebagai pengantar. 
Sekolah-sekolah inilah yang kelak berubah menjadi Sekolah Rakyat 
(Volkschool) atau Sekolah Desa (Desaschool) atau Sekolah Standar 
(Standaardschool).
Sejalan
 dengan Politik Etis atau "politik penebus dosa", pembaharuan pendidikan
 di Hindia Belanda pada masa prakemerdekaan, khususnya awal abad XX, 
dimotori oleh Mr. J.H. Abendanon (Direktur Pendidikan dan Agama 
1900-1904), dan A.W.F. Idenburg (menjabat Gubernur Jenderal Hindia 
Belanda, 1909-1919). Raden Ajeng Kartini di Jepara, merupakan salah 
seorang yang memperoleh manfaat dari sentuhan Abendanon ketika merancang
 pendidikan calon ibu yang baik bagi gadis Jawa. Ia juga memperbarui 
sekolah guru, khususnya di Bukittinggi.
Setelah munculnya Tiong Hwa Hwee Koan yang diresmikan menjadi Hollandsch Chineesche School (HCS)
 tanggal 1 Mei 1908, maka G.H.J Hazeu yang menjabat Penasihat pemerintah
 untuk Urusan Bumiputera dan Direktur Pendidikan dan Agama (1912-1914) 
memperjuangkan sekolah sejenis untuk Bumiputera, yakni Holandsch Inlansche School (HIS).
 Dengan masa belajar 7 tahun, HIS menerima anak-anak Bumiputera umumnya,
 tidak dibatasi pada anak pembesar dan kalangan atas saja. Untuk sekolah
 lanjutan, sejak 15 Juni 1914, ditetapkanlah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), dengan masa belajar 3 tahun. Lalu lahirlah Algemeene Middlebare School (AMS)
 sebagai lanjutan MULO, juga 3 tahun. AMS memiliki dua jurusan, yakni A 
dan B. Jurusan A dibagi dua, A-1 (sastra dan humaniora Timur) dan A-2 
(klasik Barat). Jurusan B untuk pengetahuan pasti dan alam.
AMS
 pertama di Yogyakarta, lengkap dengan dua jurusannya (1919). AMS di 
Bandung hanya untuk klasik Barat (A-2, tahun 1920). AMS A-1 didirikan di
 Surakarta (1926). Pada saat yang hampir bersamaan, Lembaga Kerajaan 
untuk Pendidikan Tinggi Teknik di Hindia Belanda, yang didirikan oleh 
mahasiswa Hindia Belanda yang ada di Nederland tahun 1918, berusaha 
mengumpulkan uang dan kemudian berhasil mendirikan Technische Hoogeschool te Bandung,
 Juli 1920. Inilah cikal bakal Institut Teknologi Bandung yang kita 
kenal sekarang. Disini pula pemuda Soekarno menamatkan sekolahnya dan 
kemudian memimpin pergerakan melawan pemerintah Hindia Belanda Harus 
diakui bahwa "Politik Etis" yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda 
untuk "menebus dosa" dan meringankan "guilty feeling" mereka, 
masih sangat diskriminatif, setidaknya bagi kelompok Bumiputera yang 
Islam. Seperti dikatakan Nurcholish Madjid, umat Islam akhirnya 
mendirikan pesantren-pesantren dibawah pimpinan ulama dalam suasana 
kejiwaaan atau mindset "berjuang melawan" (fight against) 
kolonialisme Belanda. Pendidikan pesantren ini umumnya sangat kurang 
mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, tetapi hanya berkonsentrasi 
pada ilmu-ilmu agama saja. Baru ketika "Politis Etis" di bidang 
pendidikan berhasil melahirkan elit baru Bumiputera terpelajar yang 
mempelopori pendidikan Islam modern lewat gerakan Muhammadiyah-nya K.H. 
Ahmad Dahlan (dimulai dari Kauman, Yogyakarta, 1912) maka "pendidikan 
Islam" mengalami perkembangan yang signifikan.
Harus diakui bahwa "Politik Etis" yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda untuk "menebus dosa" dan meringankan "guilty feeling"
 mereka, masih sangat diskriminatif, setidaknya bagi kelompok Bumiputera
 yang Islam. Seperti dikatakan Nurcholish Madjid, umat Islam akhirnya 
mendirikan pesantren-pesantren dibawah pimpinan ulama dalam suasana 
kejiwaaan atau mindset "berjuang melawan" (fight against) 
kolonialisme Belanda. Pendidikan pesantren ini umumnya sangat kurang 
mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, tetapi hanya berkonsentrasi 
pada ilmu-ilmu agama saja. Baru ketika "Politis Etis" di bidang 
pendidikan berhasil melahirkan elit baru Bumiputera terpelajar yang 
mempelopori pendidikan Islam modern lewat gerakan Muhammadiyah-nya K.H. 
Ahmad Dahlan (dimulai dari Kauman, Yogyakarta, 1912) maka "pendidikan 
Islam" mengalami perkembangan yang signifikan.
Sejak
 masa Orde Baru dimulai dan sampai hari-hari ini sistem pendidikan kita 
juga agaknya masih belum banyak berkembang. Seperti banyak disinyalir 
oleh pakar pendidikan negeri ini, sistem pendidikan Orde Baru telah 
"sukses" dipolitisir untuk kembali menjajah jiwa rakyat banyak. Pola 
pendidikan yang militeristik, penuh upacara dan penyeragaman 
dimana-mana, telah membuat kaum muda terpasung tak berdaya. Tepatlah apa
 yang pernah dikatakan oleh Romo Mangunwijaya, bahwa generasi kita saat 
ini lebih terbelakang dari generasi Soekarno-Hatta-Syahrir. Atau dalam 
bahasa Sindhunata, pendidikan selama Orde Baru hanya melahirkan air 
mata. Lembaga-lembaga pengajaran yang ada terlalu banyak dimanajemeni, 
tetapi sangat kurang dipimpin. Sekolah dan universitas telah diubah 
menjadi sama dan sebangun dengan pabrik-pabrik konglomerat yang 
memproduksi benda-benda serba seragam dan tidak memiliki kreativitas 
karena tidak pernah diberi kebebasan yang memadai untuk memanusiawikan 
dirinya sebagai satu-satunya ciptaan yang diciptakan Sang Pencipta 
dengan dianugerahi daya cipta. Sebagian pakar pendidikan bahkan tidak 
ragu mengatakan sistem pendidikan kita lebih terbelakang dibanding 
sistem pendidikan kolonial Belanda, khususnya setelah Politik Etis di 
berlakukan. Mereka yang pernah ditunjuk menjadi Menteri Pendidikan dan 
Kebudayaan sepanjang Orde Baru tidak pernah mampu menghasilkan kebijakan
 yang memungkinkan lahirnya calon-calon pemimpin bangsa sekaliber 
angkatan 1928
Runtuhnya
 Orde Baru setidaknya menggugah kembali harapan untuk menciptakan sistem
 pendidikan yang lebih baik, yakni sistem pendidikan yang membebaskan 
masyarakat dari kebodohan, kemiskinan, dan penderitaan. Utamanya 
diharapkan agar reformasi politik dan ekonomi dapat dicapai dengan juga 
melakukan reformasi dan transformasi di bidang pendidikan. 
Darmaningtyas, seorang pengamat pendidikan yang masih relatif muda, 
bahkan menegaskan bahwa reformasi seharusnya dimulai dari pendidikan. 
Seminar yang melibatkan Majalah Basis, Universitas Sanata Dharma,
 Penerbit Kanisius, Yayasan Pendidikan Kanisius, dan Ford Foundation, di
 Yogyakarta, Agustus 2000, juga mencoba menelusuri jawaban terhadap 
pertanyaan yang akan dijadikan tajuk buku Quo Vadis Pendidikan di Indonesia?
 Lalu Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (Konaspi) IV yang 
berlangsung di Jakarta, September 2000, juga menyiratkan berbagai 
harapan agar sistem pendidikan nasional dibenahi secara mendasar. 
Dalam
 suasana penuh harap itu, berbagai persoalan dasar muncul kepermukaan 
dan sebagian besar praktisi di bidang pendidikan nampaknya belum mampu 
memetakannya secara baik karena sebelumnya terlalu banyak diatur oleh 
birokrat pendidikan Orde Baru yang sok pintar. Ditambah lagi dengan 
konsekuensi yang muncul dari pemberlakukan otonomi daerah lewat 
serangkaian peraturan perundangan, membuat segala harapan itu mencampur 
baur dengan kekhawatiran dan kebingungan. Pembatasan anggaran pendidikan
 dalam RAPBN tahun 2001 yang kurang dari 4 persen, misalnya, secara 
langsung menggerogoti optimisme sebagian besar orang yang concern terhadap
 masalah pendidikan di negeri ini. Membandingkan hal itu dengan 
negara-negara lain hanya akan membuat kita "minder", "panik" dan mungkin
 "marah".
Kita
 bertanya-tanya apakah dalam 20 tahun ke depan pendidikan kita juga 
masih akan melahirkan air mata? Apakah generasi yang saat ini berusia 
muda, kelak akan kembali mengikuti jejak kakak-kakaknya menjadi 
sarjana-sarjana beo-perkutut dan mesin penghafal yang selalu bekerja 
mengandalkan "kekerasan otot", "politik uang", dan sejenisnya? Kalau ya,
 saat itu mungkin tangisan kita telah beralih wujud menjadi air mata 
darah.