Mengapa manusia menyembah Tuhan? Mengapa ada begitu banyak agama di dunia? Benarkah manusia membutuhkan Tuhan?
Dilihat dari konsep filsafat, keberadaan Tuhan berada dalam ranah konseptual; ada di pikiran manusia. The being of god tidaklah aktual. Eksistensinya tidak bisa dirasakan oleh kelima indera manusia. Oleh karena itu, banyak orang di ranah sains meragukan keberadaan Tuhan yang tak bisa dibuktikan secara ilmiah. Begitu banyak tulisan dan artikel yang menuliskan bahwa alam ini tercipta dengan sendirinya–dengan kata lain, meniadakan peran Tuhan.
Meski begitu, jumlah pemeluk agama di dunia ini tidak berkurang. Tak peduli agama apapun itu, jumlah orang ateis kalah banyak jika dibanding jumlah orang yang meyakini adanya Tuhan. Bahkan, saat ini orang yang ateis masih dianggap sebuah anomali masyarakat, tidak normal (Konteks masyarakat yang saya bicarakan di sini adalah masyarakat Indonesia. Sebab di negara-negara liberal, masyarakatnya sudah tidak peduli pada kepercayaan agama yang dianut seseorang).
Saya pernah mendengar sendiri pengakuan seorang yang menyebut dirinya tidak beragama, tapi ia sebenarnya percaya Tuhan itu ada. Ia tetap berdoa. Hanya saja ia tak tahu ‘Tuhan mana’ yang harus ia tujukan doanya. Baru-baru ini saya tahu ada sebutan deist, yakni orang yang percaya substansi Tuhan, tapi tidak percaya pada agama. Konsep ini berbeda dengan atheist yang tidak percaya pada Tuhan, apalagi pada agama.
Semua agama di dunia ini pasti mengaku bahwa ajarannyalah yang paling benar. Jika masalah agama ini dipikir, direnungi, dianalisa dengan logika, percayalah kau akan gila. Agama itu persoalan konsep dalam pikiran seseorang. Agama itu ada memang bukan untuk dinalar tapi untuk dipercayai, karena tidak akan masuk akal.
Kita Butuh
Salah satu konsep terkenal dari filsuf Yunani Aristoteles tentang manusia adalah zoon-politicon. Ia menyebut bahwa fitrah manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan manusia lain, entah itu untuk berkomunikasi, saling membantu, atau untuk kebutuhan lainnya. Namun kalau boleh menambahkan, manusia juga memiliki fitrah ‘membutuhkan Tuhan’. Jauh dalam alam bawah sadar manusia, seseorang pasti membutuhkan keberadaan Tuhan dalam hidupnya.
Kok bisa? Masalahnya, terlalu banyak hal di sekeliling manusia yang tidak bisa kita handle. Ada banyak sekali perkara yang berada di luar kuasa manusia. Ketika berhadapan dengan itu, manusia akan cenderung merasa inferior, merasa dirinya kecil dibanding seluruh kosmos. Apa sih yang manusia bisa lakukan? Nah, pada saat inilah akan muncul insting dalam diri manusia yang ‘membutuhkan Tuhan’; sesuatu untuk dijadikan sasaran pelampiasan ketidakberdayaan manusia.
Sejenak, mari kita mundur beribu tahun lalu saat mammoth masih hidup di dunia ini. Jauh sebelum ajaran agama mulai muncul di dunia ini, manusia sudah mengenal ada konsep animisme-dinamisme. Dari temuan-temuan arkeologis, kita bisa lihat bahwa para manusia purba pun menyembah sesuatu. Entah itu api, matahari, bulan, bintang, atau ‘sesuatu’ yang dilambangkan dalam patung-patung yang dibuat manusia purba untuk disembah. Benda-benda tersebut dipilih karena dianggap lebih kuat dari manusia, dianggap dapat memberikan perlindungan pada manusia saat mereka lemah. Ya, karena manusia membutuhkan Tuhan.
Pernah saya melihat satu film Barat–tapi saya lupa judulnya apa. Pada waktu itu, ada salah satu tokoh yang sekarat. Ia pun meratap ketakutan. Kira-kira seperti ini kalimatnya, “Aku takut! Meski aku tak percaya Tuhan sebelumnya, sepertinya aku harus berdoa sekarang. Tuhan tolong selamatkan aku…!”
Saya
Saya lahir di lingkungan orang Islam yang kuat. Saya percaya Allah Swt adalah Tuhan saya Yang Maha Esa. Memang agama yang saya yakini sekarang adalah ‘keturunan’ dari orang tua. Namun saya tidak pernah merasa menyesal dilahirkan di lingkungan muslim. Bahkan saya merasa beruntung bisa mendapat pendidikan agama sejak kecil. Meski begitu, persoalan konsep agama dan Tuhan sempat membuat saya pusing. Hantaman buku, film, dan berbagai sajian fiksi dan non-fiksi yang saya lahap sejak kecil memiliki pengaruh. Terutama jika mereka berasal dari Barat yang memiliki keyakinan berbeda dengan saya.
Tulisan di atas mungkin baru saya tulis sekarang, saat saya telah mendapat penjelasan konsep teoretis di kelas Filsafat Komunikasi kemarin Rabu (19/03). Namun masalah ini sudah saya pikirkan jauh-jauh hari. Analisa di atas saya pegang teguh agar saya tidak jatuh pada konsep ateis, yang tentu berlawanan dengan keyakinan agama saya. Analisa ini saya yakini pula sebagai penjelasan logis, agar saya semakin dekat dengan Allah Swt.
Di sini saya hanya mengutarakan pendapat saya, apa yang ada di pikiran saya. Saya tidak akan mencampuri keyakinan Anda. Apapun itu, saya yakin Anda memiliki alasan tersendiri mengapa Anda memilih keyakinan tersebut. Namun, jika Anda belum tahu dan belum paham mengapa Anda memilih ajaran tersebut, saya anjurkan Anda untuk memikirkannya. Meski terlihat sepele, tapi ini masalah prinsip hidup. Jangan mau seperti bebek yang hanya mengikuti orang lain tanpa tahu alasan, jadilah seperti elang yang meski menjelajah sendiri tapi tahu apa tujuan dirinya.