by Kasdin Mabolu
“sayang,
aku tak bisa berjanji akan membuatmu hidup penuh dengan kegelimangan
harta. Aku hanya menawarkan hidup sederhana, dengan segudang cita dan
semangat yang kupunya. Semoga itu dapat membahagiakan kita, setidaknya
anak-anak kita bisa belajar dari pilihan-pilihan hidup yang kita ambil”
Sesaat
saya terdiam, merenungi kata yang kurangkai sendiri. Kata-kata ini
memang belum menemukan pelabuhan yang resmi lagi, pelabuhan yang
mengikat biduk cinta dan pengharapan. Tapi, aku masih menantikan ia
hadir di akhir pendakian gunung besar saat ini.
Sejatinya,
hidup ini adalah serangkaian pilihan. Itulah yang dulu tertanam dan
sampai saat ini membuat saya dewasa. Bukan sebagai apologi atas segala
pilihan yang dinilai salah oleh orang-orang. Menjadi Diri Sendiri adalah sesuatu yang terkadang bagi sebagian besar orang sulit, termasuk saya.
Sekian
gunung mengajarkan saya untuk pandai-pandai memilih jalan. Ya, ini
salah satu hikmah masuk PHIPETALA yang tidak tertulis kemarin. Selain
itu, memilih jalan terkait juga dengan pengharapan. Antara ingin dan
tidak ingin, juga antara tujuan dan proses pencapaian. Karena
kebahagiaan bukan sekedar akhir dari tujuan, melainkan juga prosesnya.
Ya, filosofi yang ini memang terkait filosofi telur-ayam. Tapi,
begitulah. Kita harus memilih untuk memandang dari telur, atau dari ayam
dulu. Kita mau memandang dari kali pertama yang mana, sehingga kita
bisa mengatakan yang ini proses dan yang lainnya tujuan.
Belajar
bersyukur dengan sekian nikmat yang Allah SWT berikan di kehidupan
kita, semestinya membuat kita makin awas. Ya, namanya belajar mestilah
ada nuansa jatuh-bangun. Kali ini saya ingin mengajak calon pendamping
saya lebih memahami, bahwa hidup tak selamanya berjalan seperti yang
terkira.
Peristiwa
masa lalu, pun termasuk peristiwa yang saat ini (kuliah ke Belanda).
Mengajak saya untuk lebih awas, terhadap segala HTAG (halangan,
tantangan, ancaman dan gangguan) yang tidak pernah berhenti menggoda.
Sejujurnya saya mudah tergoda, saya tahu dimana saya lemah, saya
berusaha untuk tidak terkalahkan (lagi). Bismillah..
Lanjut,
maka hidup sederhana yang dibangun bukan berarti menyengsarakan diri.
Bedakan, hidup sederhana bukan berarti miskin. Semangatnya adalah
semangat memenuhi kebutuhan diri, bukan keinginan. Kalaupun ada lebihnya
itu hak orang lain.
Maka,
kita coba sekarang. 18 juta rupiah ini sebagai awal perjalanan hidup
kita membangun mimpi. Meski dengan begitu artinya, saya harus ekstra
keras dan cerdas untuk bisa bertahan hidup di negeri ini dan untuk
membeli tiket pulang ke mimpi kita. Sekali lagi, bismillah.. Allah Maha
Tahu, kita bisa.
0 comments:
Post a Comment