KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami persembahkan pada Allah SWT, penguasa
segenap alam karena anugerah Rahmat dan hidayah Nya jualah sehingga Buku “MENGENAL
SEJARAH DAN PERADABAN ORANG MUNA- Suatu Upaya Pelurusan Sejarah” yang
sangat sederhana bahkan memiliki banyak kekurangan disana – sini baik konten
maupun pemakaian bahasa dalam penulisannya.ini dapat kami selesaikan.
Setelah kami menyimak lebih seksama mengenai sejarah
Muna saat ini, baik itu yang ditulis oleh Putera Muna maupun yang ditulis
oleh Sejarawan Buton bahkan penulis dari beberapa universitas terkemuka di
Indonesia, Malaysia dan Negeri Belanda, penullis mendapatkan ada beberapa hal
yang tidak terungkap dengan baik mengenai sejarah Muna.
Bahkan ada beberapa Penulis yang cenderung menempatkan Muna
sebagai Subordinasi dari Sejarah Buton. Tidak sedikit pula para sejarawan
tersebut melupakan peranan Putera-Putera kerajaan Muna dalam membangun Pradaban
di kerajaan-kerajaan besar di Sulawesi tenggara termasuk Kerajaan/ kesultanan
Buton dan kerajaan konawe.
Berangkat dari fakta tersebut, kami mecoba menelusuri
Sejarah Muna melalui perpustakaan-perpustakaan dan media Informasion
Tecnology (IT) yang saat ini sudah sangat canggi. Berbagai puingh-puing
sejarah Muna dan Buton yang berserahkan di Internet serta
perpustakaan-perpustakaan tersebut, kami coba kumpulkan dan melakukan analisis
seperlunya sesuai dengan kapasitas yang kami miliki sehingga tersusunlah buku
yang ada di hadapan para pembaca hari ini.
Kami menyadari sepenuhnya kalau buku ini banyak mengalami
kekurangan disana sini. Olehnya itu kritik, saran bahkan cacian sekalipun kami
akan menerimanya dengan lapang dada dan kami menganggapnya sebagai suatu
kotribusi berarti untuk kesempurnaan buku ini kedepan.
Dengan diterbitkanya buku ini, kami berharap dapat
menumbuhkan semangat generasi Muda Muna untuk lebih mengenal lagi sejarah
kerajaan muna serta berminat untuk melakukan penelitian terhadap peninggalan
luhur nenek moyang Orang Muna masa lalu dan menuangkannya dalam sebuah tulisan
yang berbentuk buku seperti ini.
Tentu saja banyak pihak yang telah membantu dalam penulisan
buku ini terutama kawan-kawan yang kami kenal di dunia maya seperti Saudara Alwi
pengelola Blog www..wunabarakati.blogspot yang ada di Negeri Tawau
Malaysia, Bapak La Ode Ida ( Wakil Ketua DPD RI ), Bapak Ismet
Efendy, Bpk. La Ode Sirad Imbo,Bpk. La Ode Rifai Pedansa, Bpk. DRS. La Ode Sefu
( Tokoh Masyarakat Muna ), Bpk. H. Ukung Djasa,SH ( Ketua DPRD Muna
periode 2009-2014) serta pihak lain yang tak mugkin kami sebutkan satu persatu
.
Kami sangat berterima kasih atas kontibusi mereka, karena
kontribusi tersebut sehingga kami dapat menyelesaikan buku ini. Semoga
Allah SWT memberikan imbalan setimpal atas jasa-jasa mereka dan selalu dikenang
oleh generasi Muda Muna dari jaman-ke jaman.
Demikian, semoga Allah merestui semua langkah dan
aktifitas kita semua. AMIN.
SEKAPUR SIRIH
Hampir disetiap daerah yang kami kunjungi bila bertemu
dengan orang Muna, maka mereka lebih mengakui dirinya sebagai orang Buton
ketimbang Orang Muna. orang Muna yang ada di perantauan sepertinya merasa malu
untuk mengakui dirinya sebagai Orang Muna demikian sebaliknya mereka menjadi
bangga kalau menyebut dirinya sebagai Orang Buton.
“ Pengingkaraan” Generasi Muna untuk mengakui
dirinya sebagai orang muna, ini sangat memiriskan hati kami sebagai putera asli
daerah Muna. Perasaan itu bukan karena tidak memiliki jiwa Nasionalisme atau
cenderung pada idealisme sukuentris, tetapi sebagai seorang putera daerah yang terlahir
dari sebuah suku bangsa yang putera puterinya pernah mengukir sejarah besar
dalam sebuah perjalanan sejarah bangsa ini, tidak rela bila generasi Muda
nya kehilangan jati diri dan dihinggapi rasa malu untuk mengakui dirinya
sebagai Orang Muna hanya karena ketidak pahaman mereka terhadap sejarah dan
peradaban leluhurnya.
Memang bukan salah generasi Muna hari ini, bila mereka
melakukan pengingkaran dirinya sebagai Orang Muna sebab banyak diantara
mereka yang tidak diberikan pengetahuan sejarah Muna secara utuh. Akibatnya
mereka tidak lagi memiliki kebanggaan menjadi Orang Muna. Sejarah yang
dicekoki kepada mereka adalah sebuah sejarah yang telah didistorsi oleh
kolonial untuk kepentingan mereka.
Dalam beberapa dokumen sejarah yang dibuat oleh Kolonial
Belanda dan antek-anteknya menggambarkan Muna sebagai sub Ordinasi dari
Kerajaan/Kesultanan Buton. Dari fakta tertulis itulah kemungkinan generasi Muda
Muna menjadi malu untuk mengakui dirinya sebagai Orang Muna dan bangga kalau
disebut sebagai Orang Buton. Padahal hal itu belum tentu benar, karena
sesungguhnya sejarah yang beredar dan dibuat oleh kolonial dan Kesultanan Buton
tersebut merupakan upaya pelemahan kerajaan Muna melalui degradasi moral dan
Pendistorsian sejarah. Hal ini sangat beralasan, karena kerajaan Muna dalam
perjalanannya selalu menolak kehadiran Belanda sebagai penjajah.
Penolakan Masyarakat Muna terhadap kolonialisme
tersebut tentu saja sangat meresahkan penguasa VOC Belanda di Batavia.
Hal ini sangat beralasan sebab walaupun Belanda telah mampu meyakinkan
Buton sebagai sekutu abadinya, tapi kalau Muna terus menolak kehadirannya
maka Belanda tidak dapat dengan leluasa menjalankan kekuasaannya di
Sulawesi Tenggara. Untuk melakukan operasi militer belanda perlu berpikir
sebab itu membutuhkan biaya yang besar, sementara saat itu VOC Belanda sedang
mengalami krisis dana akibat pembiayaan perang dengan kerajaan-kerajaan
di Timur seperti Ternate, dan Papua serta Kerajaan Gowa.. Jadi cara yang paling
murah sekaligus dapat melakukan pelemahan dua musuh sekaligus dengan mengadu
domba dua kerajaan bersaudara ( Muna & Buton ) melalui pendistorsian
sejarah salah satunya. Karea Kerajaan Muna yang dianggap sebagai kerajan
yang menolak kehadiran Belanda, maka Kerajan Muna lah yang menjadi korban.
Karena Buton telah menerima kehadiran VOC, maka
Belanda lebih memihak pada kesultanan Buton. Olehnya itu agar Kerajaan Muna
marah pada saudaranya kesultanan Buton, maka Belanda membuat seakan-akan
Kerajaan Muna berada di bawah Kesultanan Buton. Puncak dari semua itu adalah
ketika Dayanu Ikhsanuddin Sultan Buton IV memproklamirkan Martabat Tujuh
sebagai konstitusi Kesultanan Buton. Pada saat itu Belanda mendesak petinggi
kesultanan untuk memasukan Kerajaan Muna dalam wilayah Kesultanan buton dengan
status “ Barata” yaitu wilayah yang memiliki otonomi penuh.
Upaya pecah belah Kolonial Belanda tersebut membuahkan
hasil, dimana petinggi Kesultanan Buton menjadi arogan dan merasa menguasai
kerajaan Muna. Dipihak lain petinggi-petinggi kerajaan Muna menolak status
tersebut karena selain menyalahi kesepakatan antara Raja Muna VII la Posasu dan
Sultan Buton I La Kilaponto juga merupakan intervensi kolonial Belanda.
Perbedaan pandangan dalam menerima intervensi tersebut kemudian menjadikan
kedua Kerajaan yang sebelumnya bersaudara menjadi bermusuhan dan saling
menyerang satu sama lain. Sejak penetapan Kerajaan Muna sebagai “Barata “
Kesultanan Buton sampai kedua kerajaan tersebut bubar sebagai konsekuensi
penerimaan NKRI tercatat lebih dari sepuluh kali terjadi perang diantara
keduanya
Kondisi ini semakin diperpara dengan minimnya literatur
tentang sejarah Muna sehingga generasi Muna kesulitan untuk mendapatkan
informasi tertulis mengenai sejarah Muna. Hal ini pernah dialami sendiri oleh
penulis saat mencari referensi dalam menulis buku ini. Untuk mendapatkan
informasi tentang sejarah Muna penulis justeru banyak mendapatkan dari sejarah
Kesultanan Buton yang ditulis oleh sejarawan Buton dan di internet.
Itupun tidak memberikan cerita sejarah yang memberikan nilai
positif untuk menumbuhkan rasa bangga sebagai Orang Muna, karena epilog
tersebut justeru memuat konten yang menggambarkan kerajaan Muna dan Orang Muna
sebagai bagian yang tidak memiliki peran apapun dalam kesultanan Buton.
Orang-Orang Muna yang memiliki peranan sangat besar dalam
membangun Kesutanan Buton seperti La Kilaponto ( Murhum/Timba-Timbanga/
Qaimuddin Khalifatul Khamis) yang telah memproklamirkan Wolio/Buton sebagai
sebuah Kesultanan dan resmi menjadi Sultan Buton I, La Tumpamasi/Sultan Buton
II, La Sangaji/Sultan Buton III dan La Elangi atau Dayanu Iksanuddin
Sultan Buton IV seakan diabaikan dan peranannya, serta sepertinya sengaja
ditutupi keberadaan mereka sebagai Orang Muna.
Dari sejarah tersebut banyak dikisahkan bahwa Keajaan
Muna adalah bagian dari Kesultanan Buton ( Bhatara ). Bahkan tidak sedikit
sejarah yang ditulis tersebut mendiskreditkan Kerajaan Mun sebagai Kerajaan
yang berdaulat. Kerajaan Muna seakan-akan tidak memiliki peranan dalam
percaturan politik kerajaan-kerajaan nusantara pada masa lalu. Fakta inilah
yang mungkin menumbuhkan rasa ‘malu’ generasi Muna saat ini. Dari rasa malu
tersebut kemudian menjadikan mereka menjadi kehilangan jati diri yang pada
akhirnya menumbuhkan rasa malu untuk mengakui dirinya sebagai orang muna.
Padahal kalau Kita mengenal secara lebih baik tetang
Sejarah Muna, maka generasi Muna tidak pelu malu untuk menjadi Orang
Muna.,bahkan kita harus bangga, karena ternyata Orang-Orang Muna masa lalu
sangat dominan memainkan peranannya dalam perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan
di Sulawesi tenggara, bahkan nusantara.
La Kilaponto, Raja Muna VII misalnya, setelah menjadi Raja
Buton VI menggantik`an mertuanya La Mulae ( raja Buton V ) kemudian melakukan
penataan kerajaan Buton, bahkan menjadikan kerajaan tersebut menjadi sebuah
Kesultanan yang tidak saja disegani oleh kerajaan-kerajaan tetangganya,tetapi
oleh kolonialis Portugis, Spanyol dan Belanda.
Sejak Raja La Kilaponto sampai tiga orang Sultan berikutnya
yang juga merupakan Anak&Cucu La Kilaponto ( La Tumpamasi, La Sangaji
dan Dayanu Ikhsanuddin ) tercatat hampir dua ratus tahun putera Muna
memimpin Kesultanan buton. Itu artinya Putera-puteri Muna memiliki peranan yang
sangat besar dalam menjadikan kesultanan buton sebagai Kesultanan besar dan
dikenal di Nusantara.
Selain di Buton, Putera Muna La Kilaponto juga pernah
menjadi Raja di 3 Kerajaan lainnya di Sulawesi Tenggara yaitu Konawe, Kabaena
dan Kaledupa. Diangkatnya La Kilaponto sebagai Raja di Kerajaan-Kerajaan
tersebut bukan karena kooptasi apalagi invasi terhadap kerajaan-kerajaan
dinaksud, tetapi karena suatu penghargaan atas jasa-jasa beliau dalam
mendamaikan dan menciptakan kedamaian di kerajaan-kerajaan tersebut.
Keberhasilan La kilaponto dalam menciptakan kedamaian dan
perdamaian dikerajaan yang pernah dipimpinnya tidak lepas dari
kemampuannya dalam berdiplomasi dan penguasaan strategi perang serta
kharisma yang dimilikinya.
Namun mengapa Kesultanan Buton yang pernah dibangunnya lebih
banyak dikenal dari pada Kerajaan Muna ? Menurut analisis penulis hal ini
terjadi akibat tiga hal yaitu :
1.
Masyarakat
Muna telambat membudayakan tradsi tulis.
Terlambatnya pembudayaan tradisi tulis dikalangan
masyarakay Muna berkaitan dengan lambanya penerimaan masyarakat terhadap Islam.
Sebagaimana kita ketahui penyebaran agama islam selalu diiringi dengan
pembelajaran baca tulis aksara arab. Hal ini untuk mempermudah umatnya untuk
membaca dan memahami Al-Qur’an sebagai kitab suci umat islam.
Berbeda dengan Buton, begitu misionaris islam Syekh Abd.
Wahid datang ke Buton bersamaan dengan pelantikan La Kilaponto sebagai raja
buton VI maka agama islam di Buton maju pesat dan telah mempengaruhi istana dan
masyarakat Kerajaan/Kesultanan Buton.
2.
Distorsi
Sejarah Muna Oleh Kolonial Belanda
Sejak awal, masyarakat Muna telah menetang kedatangan
VOC Belanda. Penentangan masyarakat Muna terhadap VOC tersebut, karena Belanda
selalu berusaha untuk mengintervensi urusan internal kerajaan. Sebagai sebuah
kerjan yang berdauat tentu saja Raja-Raja Muna dan Sarano Wuna tidak dapat
menerimah campur tangan Belanda tersebut sehingga harus diperangi.
Kebijakan Pemerintah Kerajaan Muna tersebut membuat
Pemerintah Kolonial Belanda (VOC) geram, namun untuk melawanya sendiri
Belanda tidak mampu menghadapi semangat patriotisme masyarakat Kerajan Muna.
Olehnya itu Belanda mengajak sekutu abadinya Kesultanan Buton yang sejak tahun
1535 telah terjalin dengan baik, untuk bersama-sama memerangi Kerajaan
Muna. Strategi yang dilakukan Belanda tersebut selain bertujuan mengurangi
resiko perang seperti pembiayaan dan korban pasukannya, juga sebagai strategi
de vide et impera untuk memecah belah kerajan-kerajaan nusantara agar mudah
dikuasainnya.
3.
Kurangnya
Minat Masyarakat Muna dalam menulis Sejarah.
Sejak jaman kerajaan sampai saat ini, sangat minim
sekali minat mayarakat Muna untuk menulis sejarah, khususnya sejarah
Kerajan Muna. Untuk menyampikan kepada generasi muda, tokoh-tokoh masyarakat
Muna mengandalkan cerita-cerita lisan yang disampaikan dari mulut ke mulut.
Kurangnya minat terhadap penulisan sejarh tersebut,
berimplikasi pada kurangnya pengetahuan dan pemahaman generasi Muda Muna
terhadap sejarah daerahnya. Generasi Muda Muna sangat sulit untuk mendapatkan
informasi yang obyektif mengenai sejarah Muna. Untuk mendapatkan referensi
sejarah Muna generasi muda hanya mengandalkan referensi sejarah yang ditulis
oleh sejarawan-sejarawan Buton dan dokumen yang ditulis oleh kolonialis
Belanda. Untuk kepentingan kolonialisme dan politik kooptasi sudah barang tentu
sejarawan-sejarawan Belanda dan Buton dalam menulis sejarah Muna, selalu
menemptkan Kerajaan Muna sebagai sub ordinasi dari Kesultanan Buton. Hal itulah
mengapa Kesultanan Buton lebih dikenal dari pada Kerajan Muna.
Di kerajaan Muna tradisi tulis di dimulai pada tahun 1625
Saat kerajaan Muna dipimpin oleh raja Muna XI La Ode Sa’aduddin. Pada
saat itu agama islam telah menjadi agama kerajaan dan yang dapat menjadi raja
haruslah beragama islam.
Pada saat itu dikalangan istana Kerajaan Muna telah mengenal
aksara Arab sebagai pengaruh dari budaya islam. Sebagai mana diketahui dalam
penyebaran agama apapun juga, selain mengajarkan nilai-nilai agama juga
mengajarkan baca tulis untuk mmpermudah menyerapan pemahaman terhadap
nilai-nili agama tersebut.
Entah pengaruh keterlambatan penganalan tulisan dikalangan
masyarakat Muna atau karena minat masyarakat untuk menulis sejarah sehingga
sejarah Muna tidak terpublikasi secara luas? Tapi yang jelas masyarakat Muna
sangat minim yang menulis sejarah. Hal ini menjadi salah satu faktor yang
menyebabkan kerajaan Muna kurang dikenal di luar.
Buku yang sangat sederhana dan tentu saja banyak kekurangan
disana-sini terutama dalam konten dan penggunaan bahasa ini, merupakan wujud
kecintaan kami terhadap Muna, negeri tumpah darah leluhur dan kami sendiri.
Beranghkat dari rasa cinta itulah, maka dengan segalah keterbatasan yang kami
miliki , kami mencoba untuk melakukan survey dan analisa terhadap sejarah yang
telah ditulis oleh para pakar yang kapasitas keilmuannya sudah tidak
diragukan lagi mengenai sejarah, baik itu sejarah kerajaan Muna maupun Sejarah
perjuangan masyarakat muna dalam membela kehormatan kerajaan Muna sebagai
sebuah Negara maupun ketika berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan
Indonesia.
Dengan diterbitkannya Buku ini penulius berharap terjadi
pelurusan sejarah Kerajaan Muna dan menumbuhkan minat generasi Muna untuk
menggali sejarah Muna yang selama ini terlupakan.
BAB I
ASAL USUL PULAU MUNA
Muna pada awalnya dikenal dengan
nama ‘WUNA’.yang dalam Bahasa Muna berati ‘bunga’. Merujuk
pada tradisi lisan masyarakat Muna, nama itu memberi makna
spiritual kepada kejadian alamnya, dimana terdapat gugusan batu yang berbunga
yang menyerupai batu karang. Gugusan batu tersebut pada waktu-waktu
tertentu kerap mengeluarkan tunas-tunas yang tumbuh seperti bunga karang. Oleh
karena kejadian itulah maka masyarakat Muna menyebutnya sebagai ‘Kontu
Kowuna’ artinya Batu Berbunga . Gugusan batu berbunga tersebut
terletak di dekat Masjid tua Wuna di Kota Muna yang bernama bahutara
( bahtera?). Tempat dimana Kontu Kowuna tersebut berada dipercaya sebagai
tempat terdamparnya kapal Sawerigading, Putra Raja Luwu di Sulawesi Selatan
Yang melegenda.
Saat ini, Muna dikenal sebagai nama sebuah Pulau yang
terletak pada posisi 4015’ samapi 4030’ lintang Selatan
dan 122015’ – 123000’ Bujur Timur ( RPJMD
Kabupuaten Muna 2010-2015 ), tepatnya diantara Pulau Sulawesi bagian Tenggara,
Pulau Buton di bagian Barat dan sebelah Timur Pulau Kabaena
Selain nama Pulau, Muna juga menjadi nama salah
satu Kabupaten dari 12 Kabupaten/Kota yang ada di Sulawesi Tenggara dengan
batas-batas administrasi;
1. Di Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Konawe
Selatan dan Selat Spelman.
2. Sebelah Selatan dengan Kabupaten Buton.
3. Sebelah Timur dengan Kabupaten Buton Utara dan Kabupaten
Buton,
4. Sebelah Barat berbataan dengan Laut Tiworo dan Kabupaten
Bombana.
Selain itu Muna juga menjadi nama suku yang mendiami Pulau
Muna dan sebagian besar Pulau Buton serta pulau-pulau disekitarnya yang
menggunakan Bahasa Muna sebagai bahasa tutur diantara mereka.
Sebelum menjadi Kabupaten, Muna juga dikenal sebagai
sebuah kerajaan yang berkedudukan di Pulau Muna bagian Utara dan Pulau Buton
bagian Utara. Pembagian wilayah tersebut dilakukan pada masa Pemerintahan Raja
Buton VI Lakilaponto dan Raja Muna VIII La Posasu. Kedua raja tersebut
merupakan kakak beradik, Putra dari Raja Muna VI Sugi Manuru.
Sebelum menjadi raja Buton VI, La Kilaponto telah
menjadi Raja Muna VII sehingga jabatan Raja di kedua kerajaan
itu diembannya secara bersamaan selama tiga tahun bersama dengan kerajaan
lainnya yakni Kaledupa, Konawe dan kabaena. Namun setelah dilantik menjadi
Sultan Buton I ( menyusul perubahan kerajaan buton menjadi Kesultanan ),
jabatan Raja di empat kerajaan lainnya yang diembannya selama tiga tahun ( 1538-
1541 M ) diseraahkan pada yang berhak untuk mengembannya.
Di Kerajaan Muna jabatan Raja diserahkan
pada adiknya La Posasu, sedangkan dikeraajaan-kerajaan lainnya tidak ada
cacaatan sejaarah yang mengisahkan bagaimana proses penyerahannya dan pada
siapa diserahkan. Bersamaan dengan penyerahan kekuasaan di kerajaan
Muna , turut pula dibagi wilayah kerajaan sebagaimana dijelaskan diatas.
Menurut La Kimi Batoa pembagian wialayah tersebut
karena kecintaan La Kilaponto pada dua wilayah di bagian Selatan Pulau Muna
yaitu Gu dan Mawasangka sehingga beliau memohon pada adiknya sekaligus
penggantinya sebagai raja Muna La Posasu agar kedua wilayah dimaksud menjadi
bagian dari wilayah Kesultanan Buton. Sebagai gantinya, La Kilaponto menyerahkan
dua wilayah yang sebelumnya masuk dalam wilayah Kesultanan Buton yang ada di
bagian Utara Pulau Buton yakni Kulisusu dan Wakorumba ( Sebagian wilayah
tersebut saat ini menjaadi Kabupaten Buton Utara) (Sejarah Kerajan Daerah
Muna CV. Astri Raha,1995).
Beberapa catatan sejarah mengungkapkan sebelum menjadi Raja
di Kerajaan Muna, La Kilaponto terlebih dahulu diangkat menjadi Raja Muda di
wilayah Gu dan Mawasangka selama tiga tahu ( 1530-1538 ). Kedua wilayah
tersebut dikenal dengan nama “Ponto” yang diambil dari nama sejenis bambu
yang kuat dan keras. Penamaan “Ponto” tersebut karena seseorang yang
menjadi Raja Muda diwilayah itu akan ditempah menjadi seseorang yang
cerdas, kuat dan keras jiwanya dalam memperjuangkan keadilan dan menumpas kesewenang-wenangan
terhadap orang lain. Sehingga ketika benar-benar telah menjadi Raja disebuah
kerajaan yang besar dia telah memiliki jiwa tersebut dan menjadi Raja yang adil
dan mengayomi serta melindungi rakyatnya dari tindakan kesewenang-wenangan dari
pihak manuapun juga.
Bila menilik catatan mengenai masuknya agama islam
dikerajaan Muna boleh jadi misionaris islam pertama Syehk Abdul Wahid
pertama kali menyebarkan agama Islam di kerajaan Muna pada tahun 1530 (
Courveur ; 19..) bukan dipusat kerajaan Muna di kota Muna Kawuna-Wuna
yang saat itu sedang dipimpin oleh Sugi Manuru , tetapi diwilayah “
Ponto” yang dipimpin oleh La Kilaponto.
Asumsi ini diperkuat oleh fakta di mana saat ini kedua
wilayah tersebut masyarakatnya dikenal sebagai pemeluk agama islam yang
taat. Selain itu wilayah Gu da Mawasangka adalah wilayah Pulau Muna yang
berhadapan langsung dengan lautan bebas sehingga memudahkan para musyafir untuk
menyinggahinya di banding dengan pusat Kerajaan Muna yang tereltak dipedalaman
dan diatas bukit. Dalam Buku Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wa Darul Munajat
juga mengisahkan bahwa salah seorang utusan Nabi SAW yakni Abdul Sukur
menemukan Pulau Muna dan langsung menancapkan bendera yang dibawahnya di Waara
( Wamengkoli ) yang masuk dalam wilayah “ Ponto” tersebut. Jadi berdasarkan hal
tersebutlah sehingga La Kilaponto merasa sudah menyatu dengan masyarakat kedua
wilayah tersebut, sehingga ketika dilantik menjadi raja Buton, kedua wilayah
tersebut juga dimintakan untuk masuk dalam wilayah kekuasaannya.
Sebagai pewaris tahta kerajaan yang diwariskan dari kakanya
La Kilaponto, La Posasu tidak keberatan dengan pembagian tersebut. Apalagi
selain membagi wilayah kerajaan, dalam perjanjian itu juga disertakan suatu
perjanjian bahwa kedua kerajaan itu ( Muna dan Buton ) adalah kerajaan yang
bersaudara dan saling membantu bila ada kesusahan atau gangguan dari luar yang
dialami oleh salah satunya.
Perjanjian itu tetap dipegang teguh oleh kedua kerajaan
sampai kemudian kolonial Belanda masuk mengintervensi Kesultanan Buton dan
memaksa Sultan Buton saat itu ( Dayanu Ikhsanuddin) untuk memasukkan
dalam konstitusinya yang dikenal dengan martabat Tujuh bahwa Kerajaan Muna
menjadi bagian dari Kesultanan Buton dengan status “barata” ( wilayah dengan
otonomi penuh ). Sejak saat itulah dua kerajaan yang sebelumnya bersaudara
tersebut saling memusuhi dan menyerang satu sama lain.
Banyak kisah yang menceritakan asal usul Muna Sebagai sebuah
pulau, baik itu dalam tradisi lisan dikalangan masyarakat Muna maupun
hikayat yang ditulis oleh masyarakat Buton. Namunn secara ilmiah belum ada
penelitian yang mengungkap kebenaran cerita-cerita/hikayat tentang asal usul
Pulau Muna tersebut.
Kendati demikian tradisi lisan yang hidup dikalangan
masyarakatlah dan hikayat yang ditulis oleh masyarakat Buton yang sering
dijadikan sebagai referensi dalam menulis sejarah asal usul Pulau Muna dan
Pulau Buton. Untuk itu penulis akan menjelaskan satu persatu cerita dan hikayat
tersebut serta beberapa hasil penelitian ilmiah mengenai situs-situs purba kala
dan formasi bebatuan yang di Pulau Muna.
A.
HIKAYAT
“ ASSAJARU HULIQA DAAARUL BATHNIY WA DARUL MUNAJAT
”
Hikayat “Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wa Daarul
Munajat”(Hakikat Kejadian Negeri Buton dan Negeri Muna- Buku Tambaga )
mengisahkan bahwa Pulau Muna dan Pulau Buton berasal dari segumpal tanah yang
muncul dari dasar laut yang ditandai dengan sebuah ledakan yang maha dasyat.
Hikayat tersebut menceritakan bahwa ketika Nabi Muhammad SAW.
mengadakan rapat dengan para sahabat, tiba-tiba terdengar sebuah ledakan yang
yang sangat keras hinga mengejutkan para sahabat yang lagi mengikuti
rapat. Mendengar suara tersebut salah seorang sahabat bertanya pada Nabi
Muhammad SAW. apa gerangan yang sedang terjadi. Pertanyaan sahabat itu
dijawab oleh Nabi Muhammad SAW bahwasanya disebelah timur telah muncul
dua buah Pulau ( Wuna & Buton ) yang mana penghuninya nantinya akan
menjadi pemeluk agama Islam yang taat.
Olehnya itu diutuslah dua orang sahabat yakni Abdul Sukur
dan Abdul Gafur untuk Mencari pulau dimaksud oleh Rasulullah SAW sekaligus
menyebarkan agama islam di kedua pulau tersebut.
Dalam pencarian sebuah negeri sebagaimana yang di wasiatkan
oleh Rasulullah SAW, kedua utusan tersebut terlebih dahulu menyinggahi beberapa
negeri sebelum menemukan dua buah pulau ( ditemukan dalam arti hakiki )
di maksud yaitu Pulau Wuna – ( Muna ) dan Pulau Buton. Setelah kedua
utusan tersebut menemukan negeri dimaksud ,maka ditancapkanlah sebuah bendera.
Selain menancapkan bendera, kedua utusan tersebut juga memberikan nama pulau
yang telah ditemukan yaitu Butuuni dan Munajat yang artinya Perut
bumi dan Kesejahteraan.
Kisah seperti yang diceritakan hikayat “Assajaru
Huliqa Daarul Bathniy Wa Daarul Munajat” mengenai asal mula Pulau
Muna dan Pulau Buton diatas secara ilmiah tidak dapat-
dipertanggungjawabkan, sebab masa kerasulan Nabi Muhammad SAW di mulai setelah
beliau berusia 40 tahun atau sekitar tahun 600-an M. jadi kalau mengacu pada
buku “Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wa Daarul Munajat” berarti umur pulau Muna
dan Pulau Buton baru sekitar 1400 tahun.
Intinya Buku tambaga hikayat Assjaru Huliqa Darul
bathniy Wa Darul Munajat bukanlah teks sejarah tentang asal usul pulau Muna dan
Pulau Buton. Hikayat Assajaru Huliqa Darul bathniy Wa Darul Munajat
hanyalah mitos yang memberikan gambaran kebudayaan masyarakat Muna dan
Buton.
B.
TRADISI
LISAN MASYARAKAT MUNA
Cerita lainya yang mengisahkan asal mula Pulau Muna adalah
seperti yang dituturkan dalam tradisi lisan masyarakat Muna. Kendatipun tradisi
lisan tersebut dibumbuhi dengan miros-mitos namun banyak digunakan
sebagai referensi para sejarawan dalam menulis Sejarah Muna.
Dalam tradisi lisan masyarakat Muna itu
dikisahkan bahwa Pulau Muna ditemukan oleh Sawerigading pelaut dari kerajaan
Luwu di Sulawesi Selatan dan pengikutnya sebanyak 40 orang. Mereka itu
terdampar di sebuah wilayah yang saat ini bernama BAHUTARA ( Bahtera?).
Terdamparnya Kapal Swaerigading tersebut akibat munculnya pulau dari dasar
laut.
Bukti terdamparnya kapal sawerigading tersebut adalah adanya
sebuah bukit yang menyerupai sebuah kapal lengkap dengan kabin-kabinnya. Bukit
yang menyerupai kapal tersebut diyakini oleh masyarakat Muna sebagai fosil dari
Kapal Sawerigading yang terdampar tersebut. Ditutur kan pula pengikut
Sawerigading yang berjumlah 40 orang kemudian menjadi cikal bakal
masyarakat Muna.
Bukti lainya yang menguatkan keyakinan masyarakat Muna
terhadap kebenaran tradisi lisan yang telah hidup beratus-ratus tahun
dikalangan masyarakat Muna adalah adanya sebuah bukit karang yang mana pada
waktu-waktu tertentu mengeluarkan bunga yang mirip dengan bunga
karang. Bukit batu yang juga terletak di Bhahutara tersebut di namakan “Kontu
Kowuna”yang artinya batu berbunga. Bukit batu yang mengeluarkan bunga
tersebutlah konon sebagai asal usul penamaan Pulau dan Kerajaan ‘Wuna’
Walaupu tradisi lisan masyarakat Muna tersebut dapat
dijelaskan secara ilmiah, khususnya tentang awal terjadinya Pulau Muna, yaitu
sebuah gugusan pulau yang muncul dari dasar lautan namun tidak dapat dikatakan
sebagai sejarah asal usul terjadian Pulau Muna karena juga dibumbui dengan
mitos dan kisah-kisah luar biasa.
Jadi tradisi lisan masyarakat Muna tentang asal usul Pulau
muna juga belum dapat dikatakan sebagai sejarah asal usul Pulau Muna, untuk itu
perlu ada penelitian yang lebih mendalam lagi untuk membuktikan kebenaranya
secara ilmih. Terutama mengenai tahun pemunculannya sebagai pulau.
C.
EPIK
I LAGALIGO
Cerita yang memiliki kemiripan dengan tradisi lisan
masyarakat Muna tentang asal usul Pulau Muna adalah epic I La galigo. Epic itu
mengisahkan bahwa Sawerigading adalah seorang pelaut yang tangguh. Dia
melakukan penjelajahan samudera setelah bersumpah untuk tidak kembali di
negerinya ( Luwu) karena ditentang rencananya untuk menikahi Wa Tendriyabeng
yang ternyata saudara kembarnya. Dikisahkan dalam epik tersebut bahwa
menurut adat masyarakat Luwu hubungan antara Sawerigading dan Wa
Tanriabeng ( Saudara kembar ) tidak dibolehkan. Olehnya itu keduanya harus
dipisahkan.
Tokoh dari kedua pada tradisi lisan masyarakat Muna dan Epic
I La galogo memiliki kesamaan nama. Demikian pula dengan peranannya. Baik
tradisi lisan masyarakat Muna maupun Epik I Lagaligo mengakui bahwa
Sawerigading adalah seorang Pelaut.
Penyebutan nama yang diawali dengan ‘La’ bagi
laki-laki masyarakat Muna memiliki kemiripna dengan penyebutan nama orang
laki-laki pada suku Bugis. Hal ini dapat menjadi bukti bahwa sangat besar
kemungkinannya Sawerigading pernah singgah ( terdampar) di pulau Muna.
Hal ini diperkuat oleh DR. Anhar Gonggong sebagai mana kutipan berikut :
“ Pemerintah pertama Muna yaitu Beteno Netombula juga
dikenali sebagai Baidul Zamani adalah keturunan Sawerigading. Terdapat juga
kisah lain yang mengatakan bahwa pemerintah pertama berasal dari Jawa,
kemungkinan dari Majapahit. Permaisurinya bernama Tendiabe. Nama ini mirip
dengan nama We Tenyirabeng, nama yang di dalam kisah La Galigo, yang menikah
dengan Remmangrilangi’, artinya, ‘Yang tinggal di surga’. Ada kemungkinan
Tendiabe adalah keturunan We Tenyirabeng. Pemerintah kedua, entah anak kepada
Beteno Netombula atau Tendiabe atau kedua-duanya, bernama La Patola Kaghua
Bangkano Fotu”. ( La Galigo, Menelusuri Warisan Sastra Dunia– DR.
Anghar Gonggong)
Tapi apakah terdamparnya kapal Sawerigading tersebut
merupakan awal dari munculnya Pulau Muna? Hal ini juga perlu penelitian yang
lebih mendalam lagi. Olehnya itu Epik I Lagaligo juga belum dapat dikatakan
sebagai sejarah asal usul terjadinya Pulau Muna.
D.
RELIEF
DI LIANGKOBORI DAN METANDUNO DAN MUSEUM KARTS INDONESIA
Asal usul keberadaan Pulau Muna yang dapat dijelaskan secara
ilmiah karena telah melalui penelitian ilmiah adalah seperti yang dapat
dilihat pada panel monitor museum karts Indonesia yang terletak di
Desa Gebangharjo, Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri, Jawa
Tengah.
Dari panel tersebut kita dapat mengetahui bahwa Pulau Muna
hampir seluruhnya tersusun oleh batu gamping berumur Pleistosen (sekitar 1,8
juta tahun yang lalu). Batu gamping ini diperkirakan dari Formasi Wapulaka,
seperti terlihat pada tebing-tebing batu gamping ( Karts ) di sepanjang pantai.
Batu gamping ini merupakan terumbu karang yang terangkat dan sekarang membentuk
kawasan kars yang luas.( Museum Karts Indonesia ).
Itu artinya bahwa pulau Muna sebelumnya adalah terumbu
karang yang ada didasar lautan, namun karena desakan dari bawah maka terumbu
karang tersebut muncul dipermukaan dan menjadi sebuah pulau. Bukti kuat dari
itu adalah sebuah wilayah disekitar Kota Muna lama dimana ada hamparan batu
karang yang pada saat-saat tertentu mengeluarkan tunas-tunas seperti terumbu
karang didasar laut, namun warnanya agak berbeda yaitu putih. Tempat itu
sekarang dikenal dengan Kontu Kowuna yang artinya batu berbunga.
Selain data yang tersimpan pada museum karts Indonesia, yang
telah diteliti secara ilmiah adalah relief yang ada di gua Liangkobori
dan gua Metanduno. Relief yang terdapat di
dinding gua tersebut menggambarkan kehidupan dan peradaban masyarakat Muna pada
jaman purba. Relief tersebut menurut beberapa penelitian telah berumur
lebih dari 25.000 tahun. Itu artinya bahwa jauh sebelum itu Pulau Muna
telah ada dan telah di huni oleh manusia. Hasil penelitian ini mematahkan
pendapat sebagai mana yang dikisahkan dalam buku Assajaru uliqa Darul Bathniy
Wa Darul Munajat.
Dari relief Liangkobori dan Metanduno tergambar bahwa sejak
ribuan tahun yang lalu Orang Muna telah menguasai teknologi kelautan dan
telah melakukan penjelajahan samudera. Dari kebiasaan itulah yang memungkinkan
Orang Muna bermigrasi dan menempati pulau-pulau lain disekitar Pulau Muna.
Jadi berdasarkan fakta ilmiah tersebut maka penulis
berkesimpulan bahwa Pulau Muna pada awalnya merupakan terumbu karang. Namun
setelah terjadi desakan akibat pergerakan kulit bumi, maka terumbu karang
tersebut muncul dipermukaan dan membentuk sebuah pulau karang. Berdasarkan
formasi bebatuan yang dimiliki sebagaimana yang ada di panel monitor Museum
Karts di Jawa Tengah, kejadian munculnya Pulau Muna kepermukaan tersebut
sekitar 1,8 juta tahun yang lalu.
Merujuk pada usia relief yang ada di dinding gua Liangkobori
dan Metanduno, Pulau Muna mulai dihuni oleh manusia jauh dari usia relief
tersebut. Sebab bila melihat motif lukisan yang ada di dinding kedua gua
tersebut maka manusia yang membuatnya telah memiliki peradaban yang tinggi
yaitu telah mengenal teknologi kelautan dan astronomi.
BAB II
O R A N G M U N A
A.
SIAPA
ORANG MUNA ITU?
Orang Muna adalah masyarakat Suku Bangsa Muna, yang mendiami
Pulau Muna dan pulau-pulau kecil disekitarnya, sebagian besar Pulau Buton
khususnya bagian Utara, Utara Timur Laut dan Barat Daya Pulau Buton,
Pulau Siompu, Pulau Kadatua dan Kepulauan Talaga ( wilayah Kabupaten Buton) .
Orang Muna menggunakan Bahasa Daerah Muna sebagai bahasa tutur diantara mereka.
Orang Muna asli memiliki kemiripan dengan suku-suku
Polynesia dan Melanesia di Pasifik dan Australia. Orang Muna berbeda dengan
suku-suku lain yang ada di Sulawesi Tenggara seperti suku Tolaki/Mekongga dan
Moronene yang memiliki kemiripan dengan Melayu dan Mongoloid.
Dari bentuk tubuh, tengkorak, warna kulit (coklat
tua/hitam), dan rambut (keriting/ikal) terlihat bahwa orang Muna asli lebih
dekat dengan suku-suku yang ada di Pulau Flores dan Kepulauan
Maluku. Hal ini semakin diperkuat dengan kemiripan tipikal manusianya dan
kebudayaan suku-suku di Nusa Tenggara Timur dan Pulau Timor dan Flores umumnya
dan Kepulauan Maluku dengan Kebudayaan dan tipikal Orang Muna..
Motif sarung tenunan di NTT, Maluku dan Muna memiliki
kemiripan satu dengan lainnya yaitu garis-garis horisontal dengan
warna-warna dasar seperti kuning, hijau, merah, dan hitam. Bentuk ikat kepala
juga memiliki kemiripan, kecuali Maluku bentuk ikat kepalanya berbeda.
Orang Muna juga memiliki kemiripan fisik dengan suku
Aborigin di Australia. Sejak dahulu hingga sekarang nelayan-nelayan Muna
khususnya di Pulau Siompu, Kadatua dan Kepulauan Talaga sering mencari ikan
atau teripang dan lola hingga ke perairan Darwin.
Telah beberapa kali Nelayan Muna ( dalam laporan penelitian
Program Study Pendidikan Sejarah FKIP Unidayan, ditulis Buton) ditangkap
di perairan sekitar Darwin oleh pemerintah Australia. Kebiasaan ini boleh jadi
menunjukkan adanya hubungan tradisional antara orang Muna dengan suku asli
Australia Aborigin ( La Ode Abd Munafi & Andi Tendri,2002 ).
La Kimi Batoa dalam bukunya ‘Sejarah Kerajan Muna’
terbitan CV Astri Raha menjelaskan bahwa penduduk asli
Pulau Muna adalah O Tomuna dan Batuawu. O Tomuna memiliki
ciri-ciri berkulit hitam, rambut ikal tinggi badan antara 160- 165 Cm.
Ciri-ciri ini merupakan ciri-ciri umum suku-suku malanesia dan Australia .
Suku-suku di Indonesia yang memiliki ciri-ciri seperti ini
mendiami wilayah Irian dan Australia ( suku Aborigin). Sedangkan Batuawu
berkuit Coklat beraambut ikal dan tinggi tubuh berkisar 150-160 Cm.
Postur tubuh seperti ini merupakan ciri-ciri yang dimiliki suku-suku
Polynesia yang mendiami Pulau Flores dan Maluku. Suku asli Muna
menggunakan Bahasa muna sebagai bahasa sehari-hari.
B. SEBARAN WILAYAH HUNIAN ORANG MUNA
Suku asli Muna ( O Tomuna & Batuawu ), Menghuni
Pulau Muna sejak ribuan tahun yang lalu. Bahkan selain menghuni Pulau
Muna Orang Muna juga menjadi menghuni sebagaian besar wilayah Pulau
Buton dan Pulau-Pulau kecil lainnya seperti Pulau Talaga, Kadatua dan Pulau
Siompu yang saat ini masuk dalam wilayah administrasi kabupaten Buton.
Penyebaran Suku asli Muna ( Baca; Orang Muna )di Pulau Buton dan pulau-pulau
lainya di Sulawesi Tenggara itu dapat dilihat dari bahasa yang digunakan,
bentuk tubuh, warna kulit dan kebuadayaan masyarakatnya.
Kebudayaan yang paling menonjol dari Orang Muna adalah
menjadi pelaut. Kebiasaan mengarungi lautan telah dilakukan sejak ribuan tahun
yang lalu. Hal ini dapat dilihat dari gambar-gambar perahu yang terdapat di
dinding Gua Liangkobori. Jadi boleh jadi dari kebiasaan mengarungi lautan
itulah Orang Muna menyebar keseluruh kepulauam di Sulawesi Tenggara, bahkan
sampai ke Darwin Australia.
Dalam literatur dan juga dalam pergaulan, Orang Muna lebih
dikenal sebagai orang Buton. Hal ini disebabkan karena Kerajaan/Kesultanan
Buton, atas bantuan Belanda, mengkooptasi Kerajaan Muna dan mengklaimnya
sebagai bagian dari Wilayahnya. Kendati demikian maasyarakat dan pihak istana
Kerajaan Muna tidak pernah mengakuinya.
Hingga Kerajaan/Kesultanan Buton dibubarkan oleh Pemerintah
Indonesia pada tahun 1962, Raja– raja Muna terus melakukan perlawanan
terhadap kooptasi Buton dan sekutunya, Belanda. Konsekuensi dari perlawanan
tesebut adalah diasingkannya beberapa Raja Muna ke Pulau Sumatera, Jawa dan
Ternate serta Pulau Banda.
Ada beberapa Raja-Raja Muna yang tercatat dalam sejarah yang
pernah melakukan perlawanan (fisik mapun politik) terhadap Kolonial
Belanda dan Sekutunya Buton seperti Raja La Ode Ngkadiri, Wa Ode Wakelu
(permaisuri Raja La Ode Ngkadiri), Raja La Ode Saete, La Ode Ngkaili, Raja La
Ode Umara,La Ode Pulu dan yang terakhir Raja La Ode Dika gelar Komasigino.
Perlawanan Raja La Ode Dika ditunjukan saat menghadap Sultan
Boton La Ode Salihi. Dihadapan Sultan Buton, Raja Muna La Ode Dika
tidak melakukan penghormatan sebagai mana layaknya bawahan terhadap
atasan, bahkan dengan ketegasannya Raja Muna La Ode Dika mengacungkan
telunjuknya ke Pada Sultan Buton.
Tata cara yang dilakukan oleh Raja Muna La Ode Dika tersebut
dianggap sebagai perlawanan dan ancaman oleh Sultan Buton Saat itu La Ode
Falihi, sehingga dilaporkan pada Pemerintah Kolonial Belanda di Makassar.
Akibat dari sikapnya tersebut La Ode Dika dicopot dari jabatannya oleh
Pemerintah Kolonial Belanda dan secara sepihak pemerintah kolonial menyatakan
Kerajaan Muna berada dibawah pengawasannya ( 1938-1941 ) hingga akhirnya
melantik La Ode Pandu sebagai penggantinya.
Kenyataan lain yang menunjukkan bahwa Kerajaan Muna tidak
pernah mengakui klaim Kesultanan Buton dan sekutunya Kolonial Belanda adalah
kuatnya pengaruh kebudayaan Muna mempengaruhi kehidupan masyarakat di
Kesultanan Buton khususnya pengguanaan bahasa Muna. Fakta ini masih dapat
dilihat sampai saat ini dimana penutur bahasa Muna (orang Muna) yang mendiami
sebagian besar wilayah ex Kerajaan/Kesultanan Buton masih dapat dilihat sampai
saat ini..
Orang Muna menjadi penghuni Pulau Muna dan
Pulau-pulau lainnya sejak jaman purbakala. Hal ini dibuktikan dengan
ditemukan relief purba di gua Liangkobori dan Gua Metanduno. Menurut beberapa
penelitian relief tersebut telah berusia lebih dari 25.000 tahun. Relief yang
ada di Gua Liangkobori dan Metanduno secara jelas menceritakan peradaban dan
kebudayaan Orang Muna saat itu.
Relief yang terdapat digua tersebut memberikan gambaran
bahwa walau Orang Muna masih menempati Gua sebagai tempat tinggal
mereka, tetapi mereka telah memiliki peradaban dan kebudayaan yang cukup
tinggi. Orang Muna saat itu seperti yang diceritakan dari relief tersebut telah
menggunakan alat-alat pertanian dalam bercocok tanam, telah
menguasai teknologi pelayaran serta memiliki pengetahuan dibidang
astronomi.
Kebudayaan Orang Muna seperti tersebut diatas
diketahui dari gambar-gambar yang ada pada Gua Liangkobori seperti gambar
tanaman perkebuanan, gambar orang yang sedang berburu dengan menunggang kuda,
gambar perahu layar, gambar matahari, bulan dan bintang dan lain-lain.
Pengetahuan Orang Muna di bidang astronomi tersebut selain
berkaitan dengan pengetahuan dibidang kelautan sebagai penunjuk arah,
juga berkaitan dengan kebudayaan bidang pertaian dan astrologi.
Pengetahuan astronomi dan astrologi tersebut masih terus di lestarikan
sampai saat ini. Hal ini dapat dilihat dari Masyarakat Muna di pedalaman yang
masih mengandalkan pengetahuan tradisional dibidang astronomi untuk menentukan
musim tanam. Demikian juga dalam melihat hari baik untuk melakukan suatu
aktifitas, masyarakat Muna sampai saat ini masih mengaitkan dengan peredaran
bulan dan bintang. Pengetahuan masyarakat Muna dalam bidang astrologi dinamakan
“kutika”.
Ada beberapa nama Rasi bintang yang menjadi petunjuk untuk
melakukan aktifitas pertanian. Misalnya saja Rasi Bintang yang di namakan Fele,
apabila rasi bintang ini sudah mulai terlihat jelas, maka aktifitas membersikan
lahan segera di mulai sebab satu bulan lagi hujan pertama akan turun. Apabila
hujan sudah turun maka pembakaran lahan dimulai.
Demikian pula dengan penguasaan Orang Muna terhadap
Teknologi pelayaran dapat dilihat yang mana sampai saat ini Orang Muna dikenal
sebagai nelayan-nelayan tangguh yang dapat mengarungi samudera sampai
Australia. Bukti itu dapat dilahat dengan banyaknya nelayan-nelayan Orang Muna
yang ditangkap di Negara Australia pada saat mencari ikan dan lola dinegeri
tersebut.
Belum ada penelitian yang mengungkap secara pasti sejak
kapan Orang Muna menghuni Pulau-Pulau lain selain pulau Muna. Namun kalau
melihat dari relief-relief yang ada di liangkobori dapat diperkirakan bahwa
Orang Muna telah menjadi penghuni Pulau-Pulau tersebut lebih dari 25.000 tahun
yang lalu yaitu jauh sebelum relief yang ada di Liangkobori dibuat.
Gambar perahu/kapal yang terdapat gua tersebut
menunjukan bahwa waktu itu Orang Muna telah menguasai teknologi Kelautan serta
telah melakukan perjalanan keluar Pulau Muna dengan menggunakan
perahu/kapal. Jadi dari kebiasan melakukan penjelajahan samudera tersebut
sehingga Orang Muna banyak mendatangi tempat lain termasuk pulau-pulau yang ada
di sekitar Puau Muna yakni Pulau Buton, Pulau Siompu, Kadatua dan Kepulauan
Talaga bahkan sampai di darwin Australia.
C. ORANG
MUNA DALAM MEMBANGUN PERADABAN DI SUL-TRA
1. Orang Muna Di Pulau Muna
Sebelum Sawerigading dan pengikutnya yang
berjumlah 40 orang tiba di Pulau Muna, Orang Muna yang dikenal sebagai O Tomuna
dan Batawu telah menghuni Pulau Muna. Bukti keberadaan Orang Muna
tersebut dijelaskan dalam relief yang terdapat pada dinding Gua
Liangkobori dan Gua Metanduno yang terletak sekitar Kawuna-wuna jaraknya 15 Km
dari Kota Raha Ibu Kota Kabupaten Muna saat ini. Menurut Kosasi relief di
dinding Gua Liangkobori dan Gua Metanduno berumur sekitar 25.000 tahun.
Relief yang terdapat didinding kedua gua tersebut
menggambarkan bahwa Orang Muna saat itu telah memeiliki peradaban dan
kebudayaan yang cukup maju. Jadi Sawerigading dan pengkutnya bukan orang
pertama yang menjadi penghuni Pulau Muna, tetapi ketika mereka mendarat, mereka
langsung berbaur dengan kelompok masyarakat ( Orang Muna ) lainnya dan
membangun peradaban baru yang lebih maju.
Penghuni Pulau Muna sebelum kedatangan Sawerigading dan
Pengikutnya masih mendiami gua-gua yang memang banyak terdapat di Pulau Muna
sebagai tempat tinggal mereka. Kehidupan mereka masih sangat tergantung dengan
alam. Mereka hidup dari berburu hewan dan memetik langsung makanan dari alam.
Penduduk asli Pulau Muna belum mengenal bercocok tanam.
Peradaban dan kebudayaan Suku asli Pulau Muna semakin
berkembang setelah berbaur dengan empat puluh orang pengikut
Sawerigading. Pola hidup mereka yang sebelumnya mengandalkan meramu dan
berburu dalam mencukupi kebutuhan pangannya, kemudian berupa dengan polah
bercocok tanam dan berternak. Selain itu mereka juga juga mulai membentuk
koloni-koloni dan mulai membangun perkampungan di luar gua.
Seiring dengan pertambahan penduduk, koloni-koloni tersebut
berubah menjadi kampong dan permasalahan mereka menjadi kompleks. Untuk
mengatur kehidupan social mereka, kemudian mereka mengangkat seorang pemimpin
diantara mereka yang di gelar dengan kamokula ( Yang di tuakan ).
2. Orang Muna dalam membangun
peradaban di pulau Buton
Jauh sebelum Rombongan Mia Pata Miana ( orang yang empat)
yakni Sipanjonga,Sitamanajo, Simalui dan Sibatara mendarat di Pulau Buton,
Orang Muna telah menjadi penghuni Pulau tersebut.
Dalam hikayat Mia Patamiana, dikisahkan
bahwa pada saat Armada Simalui yang berjumlah 40 orang
mendarat di sebelah Timur Laut Negeri Buton ( diperkirakan disekitar Kamaru )
pada tahun 1236 M, mereka bertemu dan berbaur dengan masyarakat local
kemudian membentuk sebuah pemukiman. Selain itu mereka juga membuat
benteng sebagai pertahanan dari serangan dari luar.
Demikian juga dengan armada Mia Pata Miana yang lain
( Sipanjonga, Sijawangkati dan Sitamanjo), pada saat mendarat di suatu
wilayah mereka langsung berbaur dengan masyaarakat Lokal yang menggunakan
bahasa Pancana ( Muna ) sebagai bahasa tutur diantara mereka. Kisah
seperti yang diceritakan dalam hikayat Mia Pata Miana ini diperkuat
dengan fakta dimana sampai saat ini masya rakat yang mendiami wilayah
tempat pendratan mereka masih menggunakan bahasa Muna ( Pancana ) sebagai
bahasa tutur.
Dari fakta ini dapat di asumsikan bahwa jauh sebelum Mia Patamiana
mendarat di negeri Buton, Suku asli Muna telah menjadi penghuni Pulau Buton.
Setelah Mia Patamiana dan pengikutnya datang di Pulau
Buton kemudian berbaur dengan Orang Muna yang terlebi dahulu menempati Pulau
Buton mereka membangun peradaban yang lebih maju lagi sampai menjadikan
Wolio/Buton sebagai sebuah kerajaan. Kerajaan Wolio dibangun atasa kesepakatan
para pendatang dari melayu, cina, Jawa ( Majapahit) dan Orang Muna
yang yang telah berbaur sebelumnya dan membentuk empat komunitas besar
( Pata Limbona).
Tidak sampai disitu saja, ketika Kerajaan Buton dipimpin
oleh raja Buton V yang bernama La Mulae terjadi kekacauan yang luar biasa di
kerajaan Buton akbiat terror yang dilakukan oleh La Bolontio seorang bajak laut
dari Tobelo.
Teror tersebut nyaris meruntuhkan kerajaan Buton. Dalam
Kondisi yang kacau balau itulah, Putera raja Muna VI Sugi Manuru yang bernama
La Kilaponto datang menyelamatkan Negeri Buton dari kehancuran. Dengan
kesaktiannya dalam waktu singkat penyebar terror tersebut dapat ditumpas (
Baca; La Kilaponton Omputo Mepokonduaghono Ghoera ).
Setelah Raja Buton V meninggal, tidak ada satupun yang
berani menggantikannya untuk menjadi raja. Olehnya itu para tetua dinegeri
Buton bersepakat untuk melantik La Kilaponto menjadi Raja buton menggantikan
La Mulae. Padahal waktu itu La kilaponto baru saja dilantik menjadi Raja Muna
VII menggantikan ayahandanya Sugi Manuru yang telah tua.
Karena merasa bertanggung jawab untuk menyelamatkan negeri
Buton yang telah dibangun lelluhurnya serta petuah ayahandanya, La Kilaponto
menerimah amanah tersebut dengan konsekuensi harus mengemban jabatan raja pada
dua kerajaan sekaligus dalam waktu yang bersamaan
.dikisahkan pula selain pada Kerajaan Muna dan Kerajaan
Buton, pada waktu yang bersamaan pula La Kilaponton juga menjadi raja pada
kerajaan Konawe, kerajaan Kabaena dan Kerajaan kaledupa
Terhitung sejak masa pemerintahan La Kilaponto sampai
masa pemerintahan Sultan Buton IV La Elangi gelar Dayanu Ikhsanuddin orang Muna
menjadi penguasa dan berperan melakukan penataan terhadap system pemerintahan,
hukum dan mebangun tatanan social kemasyarakat di negeri Buton adalah selama
hampir dari dua ratus tahun.
Mengapa La Kilaponto dan penerusnya sampai La Elangi di
katakana sebagai Orang Muna ? Sebab berdasarkan hasil penelusuran sejarah dan
analisis terhadap sislsilah Raja-raja/Sultan Buton yang dilakukan penulis
terungkap bahwa Sultan Buton I ( La Kilaponton ) sampai Sultan Buton IV (
La Elangi ) tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan Raja-Raja Buton terdahulu
( Baca; La Kilaponto Omputo Mepokonduaghono ghoera).
Itu artinya bahwa peranan Orang Muna dalam membangun
peradaban di negeri Buton, sampai menjadikan Negeri itu menjadi sebuah
Kesultanan yang di kenal dalam pergaulan dunia sangat besar dan tidak bisa dipandang
sebelah mata.
Perananan Orang Muna di Kesultanan Buton mulai didistorsi
setelah Kolonial Belanda dapat mempengaruhi para petingi di Kesultanan Buton.
Bukti bahwa Kolonial Belanda telah mempengaruhu petinggi di Kesultanan Buton
khususnya golongan ‘sara’ adalah ketika ‘sara’ berhasil mendepak Sultan Buton
II La Tumpamasi dari jabatannya sebagai Sultan. Golongan ‘sara’ mengamgap bahwa
Sultan La Tumpamasi dalam menjalankan pemerintahanya terlalu keras melawan
Kolonial Belanda.
Pendistorsian peranan Orang Muna tersebut berkaitan dengan
keinginan Kolonial Belanda untuk dapat mengasai kesultanan Buton. Orang Muna
yang saat itu sedang berkuasa di Kesultanan Buton diangap sebagai penghalang
bagi Kolonial Belanda untuk memwujudkan ambisinya tersebut karena sejak awal
Orang Muna yang dipelopori oleh La Kilaponto telah menganggap Bangsa Eropa
dalam hal ini termasuk Belanda adalah musuh yang harus diperangi.
Keinginan Belanda untuk menguasai Kesultanan Buton yang saat
itu sedang dikuasai oleh orang muna berkaitan dengan letak Kesultana Buton yang
strategis yaitu sebagai pintu gerbang yang menghubungkan antara wilayah timur
dan Barat Nusantara. Apa lagi waktu itu Kolonial Belanda sedang berkonfrontasi
dengan Kerajan Gowa di satu pihak dan melawan pengaruh dua kekuatan Kolonial
yang telah menuasai wilayah Timur Nusantara yaitu Portugis dan Spanyol..
Kolonial Bealnda melihat bahwa letaknya sangat
strategis sehingga sangat cocok untuk dijadikan sebagai basis pertahanan
dari
3. Orang Muna dalam membanmgun
peradaban di konawe/Mekongga.
Tidak saja di Kerajaan Muna dan Kerajaan Buton Orang Muna
berperan aktif dalam membangun peradaban, tetapi di juga di Kerajaan lainnya di
Sulawesi Tenggara yaitu Konaw/Mekongga. Bahkan dalam beberapa literatur
mengungkapkan bahwa Orang Muna yang dipelopori oleh La Kilaponto berperan
aktif membangun peradaban di Kerajaan Konawe/Mekongga sejak La Kilaponto belum
menjadi Raja di Kerajaan Muna maupun di Kerajaan Buton.
Berbeda dengan Kedatangan Orang Muna di Buton yang dilakukan
sejak jaman purba, kedatangan Orang Muna ( La Kilaponto) di Konawe/Mekongga,
dikarenakan adanya hubungan kekerabatan antara Raja-Raja Muna dengan Raja-Raja
Konawe sebagai mana kutipan berikut
“ Setelah beberapa lamanya maka
terdengar chabar oleh La Kilaponto ( Murhum) bahwa mama dari Wa Sitao anak dari
Mokole Konawe telah meninggal dunia dengan meninggalkan harta benda yang
menjadi pusaka Wa Sitao dan Wa Randea nenek Murhum tersebut. Mendengar itu,
maka La Kilaponto ( Murhum) sampailah di Konawe dan disebut namaanya La
tolaki. Beberapa lamanya beliau menjadi Mokole Konawe, maka terjadilah perang
antara Mekongga dan Konawe, dalam peperangan itu dimana Konawe mendapaat
kemenangan” ( La Ode Abdul Kudus, 1962;2).
Namun Said D berpendapat lain, menurutnya kedatangan Orang
Muna ( La Kilaponto ) di Kerajaan Konawe/Mekongga akibat adanya keinginan La
Kilaponto untuk melakukan perlawatan pada Kerajaan-kerajaan yang pernah
di hancurkan oleh La Bolontio, tokoh bajak laut bermata satu yang telah
dikalahkannya pada suatu pertempuran di Boneatiro. Dalam perjalanan
menuju Konawe, kebetulan kerajaan itu sedang bertikai dengan Kerajaan Mekonga.
Hanya dalam waktu delapan hari La Kilaponto dapat menyelesaikan pertikaian itu.
Atas jasanya tersebut, La Kilaponto kemudian diangkat menjadi Mokole Konawe dan
dianugerahi gelar Haluoleo ( Said D, 2007 ; 148 ).
Tidak ada catatan sejarah yang megungkap sejak tahun
berapa La Kilaponto di lantik menjadi Mokole Konawe, tapi yang pasti
hingga dia di lantik mejadi Raja Muna pada tahun 1538, La Kilaponto masih
menjabat sebagai Mokole Konawe, bahkan sampai Kerajaan Buton berubah
menjadi Kesultanan dan La Kiaponto menobatkan diri sebagai Sultan Pertamanya
pada tahn1541 La Kiaponto masih menjadi Mokole Konawe.
Jadi dalam kurun waktu tiga tahun Orang Muna ( La kiaponto )
menjadi raja di tiga Kerajaan dalam waktu yang bersamaan. Dalam lteratur
lain mengungkakan sesunguya selain tiga kerajaan besar tersebut, turut pula dua
kerajaan lainnya yaitu Kobaena dan Mekongga ikut menyertakan diri dibawah
kekuasaan Orang Muna ( La kilaponto ) sebagaimana kutipan berikut
‘ Adapun tatkala Murhum menjadi raja
dalam negeri Buton ini, tatkala dikaruniai Murhum, maka menjadilah sekalian
negeri karena ia Raja La Kilaponto membawahi negeri yang besar yaitu
Buton dan Wuna, jadi ikut sekalian negeri ini seperti Kaledupa dialihkannya,
Mekongga dialihkannya dan Kobaena dialihkannya. Maka sekalian negeripun
dialihkannya oleh Murhum’ ( Koleksi belanda, hal 1)’
BAB III
RAJA - RAJA MUNA
DAN PERJUANGANNYA.
Dari 39
Raja-Raja Muna yang telah memerintah dikerajaan muna tidak semua memiliki
catatan sejarah yang dapat diungkap . Untuk itu dalam tulisan ini penulis
hanya mengungkap beberapa orang saja dengan perjuangannya masing-masing serta
masa pemerintahan dan sistem pemerintahannya..
Pengungkapan
ini bertujuan untuk menjadi pembelajaran pada geberasi agar mereka
mengenal sejarah kejayaan nenek moyang mereka serta bagaimana perjuangan mereka
dalam membesarkan Kerajaan Muna dan kegigihan mereka dalam mengusir penjajah
belanda dari Kerajaan Muna.Pengungkapan sejarah ini juga bertujuan untuk
menumbuhkan rasa bangga sebagai generasi Muna karena ternyata raja-raja
Muna masa lalu telah menggoreskan tinta emas dalam catatan sejarah, baik
sejarah ditingkat Lokal Sulawesi tenggara maupun ditingkat nasional.Raja-Raja
Muna dan segenap masyarakatnya masa lalu juga tidak pernah tunduk dengan
imperialisme dan liberalisme.
1.
Raja Muna I
– La Eli alieas Baidhuldhamani Gelar Bheteno Ne Tombula, ( 1417 – 1467 )
Bheteno ne
Tombula alias La Eli alias Baidhul Jamani adalah Raja Muna I. Bheteno ne
Tombula dipercaya sebagai orang pertama yang memulai beradabaan
baru dalam sistem sosial kemasyarakatan di Muna. Hal ini dikarenakan pada
masa pemerintahan Bheteno Ne Tombula Muna menjadi sebuah kerajaan dengan
struktur pemerintahan dan struktur sosial yang lebih moderen. Sebagai
seorang raja Sugi manuru juga melakukan penataan dalam sistem administrasi
pemerintahan, walapun pada waktu itu masyarakat Muna termasuk raja belum
mengenal tuulisan.
Bheteno Ne tombula bukanlah orang
Muna, beliau ditemukan dalam rumpun bambu oleh sekelompok orang yang ditugaskan
utnuk mencari bambu pada saat diadakan pesta besar di Wamelai.
A. Bheteno
Ne Tombula Versi Tradisi Lisan Masyarakat Muna
Dikisahkan
dalam tradisi lisan masyarakat Muna bahwa pada suatu hari, Mieno
( Pemimpin Wilayah ) Wamelai akan
mengadakan pesta raya, seluruh masyarakat Muna di delapan wilayah
dikumpulkan untuk turut membantu mempersiapkan pelaksanaan pesta tersebut.
Sekelompok
orang yang ditugaskan untuk mencari bamboo dihutan, menemukan seorang lelaki
yang gagah perkasa di dalam rumpun bamboo yang akan ditebang, ada juga yang
mengisahkan bahwa manusia tersebut ditemukan dalam ruas bamboo.
Karena penemuan
tersebut dianggap aneh, lelaki itu kemudian dibawah menghadap pada mieno
Wamelai . Dihadapan mieno Wamelai dan pemimpin wilayah lainnya lelaki itu
mengaku bernama LA ELI alias BAILDHUL
JAMAANI Putra Raja Luwu di Sulawesi
selatan. Dituturkan dalam tradisi lisan, kedatangan LA ELI
alias BAILDHUL JAMAANI di Muna untuk
menunggu istrinya yang saat ini sedang hamil dan akan datang menemui
dirinya. Tempat pertemuan yang mereka sepakati untuk pertemuan itu adalah Pulau
Muna ( Wuna).
Selang beberapa
hari setelah penemuan manusia dalam rumpun bamboo tersebut, tersiar kabar
bahwa di Lohia pesisir Timur Pulau Muna, tepatnya di Laguna Napabale
ditemukan seorang wanita cantik. Wanita tersebut mengaku bernama WA
TANDI ABE . berasal dari kerajaan Banggai di Sulawesi Tengah,
dia datang di Muna dengan menumpang sebuah talang dan terdampar ditempat itu.
Tujuan kedatangannya adalah untuk bertemu dengan suaminya yang telah
menungguhnya disuatu tempat dimana talang yang ditumpanginya terdampar.
Kabar tentang
terdamparnya seorang wanita di Lohia tersebut tersebar luas begitu cepat
dikalaangan masyarakaat. Pada suatu hari kabar itu sampai juga ditelinga MIENO
WAMELAI di Tongkuno, sehingga beliau
memerintahkan agar wanita tersebut di dibawa menghadap dirinya guna
dipertemukan dengan LA ELI alias BAIDHULJAMANI
untuk di konfrontir.
Ternyata
setalah dipertemukan keduanya mengaku sebagai suami istri dan mereka yang
saling mencari . Dalam pertemuan tersebut Wa Tandi Abe juga mengaku dalam
keadaan hamil, dan janin dalam rahimnya tersebut adalah darah daging dari LA
ELI alias BAIDHUL JAMANI suaminya yang
ada dihadapannya saat ini.
Karena
peristiwa itu dianggap luar biasa dan tidak lazim, maka rapat dewan adat
menyepakati untuk ‘memingit’ keduanya
dalam sebuah kelambu selama tujuh hari tujuh malam. Tujuan pemingitan adalah
untuk mencegah hal-hal negative yang timbul akibat penemuan dua orang
yang aneh tersebut dan mengaku sebagai Suami istri.
Setelah tujuh
hari dalam ‘pingitan’, ternyat tidak
ada kejadian yang luar biasa sehingga keduanya di keluarkan
dari pingitan kemudian di nikahkaan kembali menurut adat yang berlaku
dikalangan masyarakat Muna.
Peristiwa
pemingitan tersebut akhirnya menjadi tradisi dan menjadi syarat yang harus
dilalui seseorang yang akan menjadi Raja Muna. Peristiwa ini juga menjadi
tradisi yang harus dilalui seorang wanita yang telah memasuki usia
baliqh sebagai tanda kalau wanita tersebut sudah siap untuk dinikahkan. Tradisi
ini diberi nama ‘ Kaghombo’ dan masih
terpelihara dengan baik sampai saat ini.
Perkawinan
antara LA ELI alias BAIDHUL JAMANI dengan WA
TANDIABE melahirkan tiga anak yaitu KAGHUA BANGKANO
FOTU. RUNTU WULAE dan KILAMBIBITO. KAGHUA
BHANGKANO FOTU kemudian menjadi Raja
Muna II dengan gelar SUGI PATOLA. Sugi
berarti ’Yang Dipertuan’. RUNTU WULAE
kembali ke Luwu untuk menjadi Raja di sana sedangkan KILAMBIBITO
kawin dengan LA SINGKABU (kamokulano Tongkuno)
Putera dari MINO WAMELAI ( La Kimi. Sejarah Muna,
Jaya Press ).
LAKILAPONTO Raja
Muna VII dan Raja Buton VI/ Sultan Buton I
manusia yang fenomenal karena pernah memimpin lima kerajaan dalam waktu yang
bersamaan berasal dari garis keturunan sugi tersebut.
Dalam sebuah
rapat dewan adat dan semua pemimpin wilayah, disepakati bahwa La Eli atau Badhuljamani
adalah manusia sakti dan pantas untuk dinobatkan menjadi pemimpin tertinggi di
Muna. Setelah dinobatkan menjadi pemimpin tertinggi, La Eli/ Baidhuljamani
mendeklarasikan Muna sebagai sebuah Kerajaan dan dirinya adalah Raja Pertama
dengan Gelar Bheteno Ne Tombula ( yang Muncul di Bambu ) sedangkan istrinya (
permaisuri ) bergelar Sangke palangga ( yang menumpang pada talam). Sejak saat
itulah Muna menjadi sebuah kerajaan.
B. Menata
Sistem Pemerintahan
Tugas pertama
Bheteno ne Tombula Setelah di nobatkan menjadi Raja Muna I adalah
melakukan penataan struktur pemerintahan dan struktur masyarakat di Kerajaan
Muna. Sistem pemerintahan yang dibangun pada awal masa pemerilnahan
Bheteno Netombula tersebut merupakan penyempurnaan dari sistem pemerintahan terdahulu
( yang masih bersifat kelompok-kelompok komunitas dan berdiri
sendiri-sendiri. Lembaga-lembaga pemerintahan yang merupakan prasyarat sebuah
negara pun dibentuk dan kelompok – kolompok komunitas yang tadinya
berdiri sendiri diikat dalam sebuah lembaga besar yang bernama kerajaan Muna.
Strukur
pemerintahan yang dibentuk oleh Bheteno Ne Tombula sebagai penanda berdirinya
sebuah kerajan adalah:
v Raja,
sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan dengan gelar Kino
Wuna. Raja memiliki kewenangan dan kekuasaan yang sangat luas dan
besar yang melingkupi seluruh wilayah kerajaan. Titah raja merupakan hukum yang
harus dipatuhi oleh seluruh rakyat.
v Kepala
Pemerintahan Wilayah dengan gelar Mieno (pemimpin ) dan
Komokula ( Yang dituakan ) Kepala pemerintaha wilayah berkuasa dan
memiliki kewenangan dalam wilayah kekuasaannya dan tunduk pada Raja sebagai
pemimpin tertinggi. Wilayah administrsi pemerintahan wilayah berdasarkan
pembagan wilayah terdahulu sebelum terbentuknya kerajaan Muna. Pemerintahan
wilayah tersebut berjumlah 8 wilayah masing-masing 4 wilayah dipimpi oleh “
Mieno “ dan 4 wilayah dipimpin oleh “ Kamokula “. Kedelapan wilayah
tersebut adalah :
Pemerintahan
wilayah tersebut kemudian dikenal dengan “ Wawono Liwu “ ( Negeri terdahulu )
adalah :
Empat yang
dimpin Mieno
1. Mieno
Kaura
2. Mieno
Kansitala
3. Mieno
Lembo
4. Mieno
Ndoke. Dan
Empat yang dipimpin
Kamokula :
1.
Kamokulano Tongkuno
2. Kamokulano
Barangaka
3. Kamokulano
Lindo
4. Kamokulano
Wapepi
Kedelapan kepala
pemerinahan admiistrasi pemerintahan wilayah tersebut an keturunanannya
kemudian oleh Sugi Manuru Raja Muna VI ketika melakukan penetapan strakta
sosial dalam masyarakat Muna dikenal sebagai “ Wawono Liwu “
v Papara
(Rakyat) atau kelompok yang diatur dengan gelar Ana ( yang dianggap
anak ).
C. Pembagian Golongan
Bheteno Ne Tombula juga
melakukan pembagian strata/ penampisan golongan membagi masyaraakat Muna
menjadi tiga Golongan yaitu :
Ø
Golongan Beteno Ne Tombula,
Golongan ini yang berhak menjadi raja.
Ø
Golongan Mieno Wamelai,
Golongan ini berhak untuk menjadi kepalah pemerintahan wilayah.
Ø
Golongan Rakyat adalah
orang yang diatur.
2. Raja Sugi Manuru ( 1527-1538 )
SUGI
MANURU adalah Raja Muna VI terkenal bijaksana dan memiliki wawasan
luas dan sangat ahli dalam ilmu ketata negaraan. Dikalangan masyarakat
Muna SUGI MANURU diberi gelar sebagai ‘
omputo mepasokino Adhati’ artinya Raja yang menetapkan Hukum
, adat, nilai-nilai dan falsafa dasar berbangsa dan bernegara. Gelar tersebut
diberikan sebab pada masa pemerintahan SUGI MANURU lah
dirumuskan dan ditetapkan tatanan, nilai-nilai dasr dan
sendi-sendi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di kerajaan Muna.
Tatanan
kehidupan bermasyarakat yang dirumuskan dan ditetapkan pada masa pemerintahan
Sugi Manuru. Nilai-nilai dan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara
tersebut dikaitkan dengan relevansi wilayah dalam hubungannya
dengan manusia, alam dan Tuhan.
Penetapan
hubungan wilayah dengan manusia tersebut dipengaruhi oleh ajaran dan
nilai-nilai islam. Itu artinya walaupun Sugi manuru belum memeluk islam, namun
nilai-nilai islam telah berpengaruh di kalangan istana kerajaan Muna.
Masuknya
pegaruh islam di Kerajaan Muna dalam sistem ketatanegaraan dikrajaan Muna pada
masa pemerintahan Sugi manuru setelah masuknya penyebar islam I di Muna yaitu
Syekh Abdul Wahid. Menurut beberapa catatan, Syekh Abdul Wahid adalah seorang
misionaris islam yang berasal dari Arab. Namun ada juga yang mengatakan bahwa
beliau adalah pedagang dari Gujarad.
Islam mulai
diajarkan secara luas oleh Syekh Abdul Wahid di Kerajaan Muna pada
masa-masa akhir pemerintahan Sugi manuru. Salah satu murid pertama Syekh Abdul
Wahid adalah La Kilaponto, Putera Raja Sugi Manuru yang kemudian menjadi Raja
Muna VII dan akhirnya menjadi Raja Buton VI.
Setelah Menjadi
Raja Buton, La Kilaponto kemudian memboyong gurunya tersebut di kerajaan Buton.
Hal inilah yang menyebabkan proses islamisasi di kerajaan muna menjadi terhenti
.Hal yang
berbeda terjadi di Kerajaan Buton. Seiring dengan peningkatan intensitas
pengajaran islam di kalangan masyarakat buton, maka proses islamisasi di
Kerajaan tersebut berjalan sangat pesat. Bahkan dalam waktu tiga tahun
agama Islam resmi menjadi agama kerajaan.
Bukti
diterimanya agama islam sebagai agama kerajaan adalah berubahnya bentuk
Kerajaan menjadi kesultanan dan Sultan pertamanya adalah La Kilaponto. Setelah
resmi menjadi Sultan, Lakilaponto Kemudian Bergelar Sultan Qaimuddin
Khalifatul Khamis.
Sebagai mana
halnya dengan pemerintahan tradisonal lainnya, di kerajaan Muna juga
menganggap seorang raja sebagai poros kekuaasaan dan sumber keteladanan.
Jadi apapun yang dilakukan, diyakini atapun yang dititahkan raja
maka semua warga kerajaan wajib mengikuti tanpa terlebih dahulu
menannyakan apalagi menilai baik-buruknya. Jadi karena Islamisasi fase pertama
ini belum mampu mengislamkan raja serta masih kuatnya keyakinan Orang Muna
dengan kepercayan leluhurnya yaitu animisme dan dinamisme maka misi Misionaris
Islam pertam yakni Syeh Abdul Wahid di Muna dapat dikatakan mengalami
kegagalan, walau tidak sepenuhnya sebab Raja Munasaat itu Sugi Manuru telah
banyak memiliki pehaman terhadap nilai-nilai islam.
Sebagai mana
yang dijelaskan terdahulu, Walaupun pada masa Pemerintaha SUGI MANURU Islam
baru diperkenalkan oleh Syekh Abdul Wahid di Kerajaan Muna serta SUGI
MANURU sendiri belum memeluk islam, namun sepertinya SUGI
MANURU telah memiliki pemahaman yang kuat terhadap nilai-nilai Islam.
Pemahaman Sugi
manuru terhadap nilai-nilai islam dapat dilihat saat membagi Kerajaan
dalam empat wilayah besar yang disebut dengan Ghoera yaitu Ghoerano Tongkuno,
Ghoerano Lawa, Ghoerano Katobu. Dan Ghoerano Kabawo
Pembagian
wilayah Kerajaan Muna menjadi empat Ghoera tersebut oleh Sugi manuru di
ibaratkan sebagai ;
1. Ghoerano
Tongkuno di ibaratkan asal api hurufnya alif.
2. Ghoerano
Lawa di ibaratkan asal angin hurufnya ha.
3. Ghoerano
Kabawo di ibaratakan asal air huruf nya mim.
4. Ghoerano
Katobu di ibaratkan asal tanah huruf nya dal.
Pengibaratan
tersebut bertitik tolak pada hakikat penciptaan manusia yang
memiliki sifat– sifat api, angin,air dan tanah.Keempat sifat
tersebut kemudian diuraikan sebagai berikut ;
1. Sifat api; adalah menggambarkan manusia yang
memiliki emosi. Sebagaimana Api, emosi ini kalau dikelola dengan baik
akan memberi manfaat bagi banyak orang, tapi kalau tidak terkontrol maka akan
menyebabkan kehancuran yang besar.
2. Sifat angin adalah
menggambarkan manusia yang memiliki ambisi. Ambisi yang dimiliki setiap
manusia itu bagaikan senjata. Kalau ambisi berada pada orang yang baik maka
ambisi itu akan diarahkan pada hal-hal yang positif dan menjadi motifasi
untuk mencapai kesuksesan dengan cara-cara yang benar. Tapi kalau berada
pada orang yang tidak baik maka akan diarahkan pada ha-hal yang negative bahkan
kadang menghalalkan segala cara untuk mencapai apa yang di cita-citakaan.
3. Sifat air
menggambarkan sifat manusia yang tenang selalu memberikan kesegaran dan
kesejukan serta menghilangkan dahaga. Namun demikian kalau pengelolaan
dan penggunaanya dilakukan dengan cara yang tidak baik dan tidak benar, maka
akan menjadi petaka. Air juga memiliki sifat selalu mengalir ditempat yang
lebih rendah, maksudnya manusia harus memiliki sifat rendah hati, tidak sombong
walau memiliki kekuatan yang besar.
Hal yang
paling pokok adalah sifat air yang selalu mengikuti bentuk wadahnya, ini
artinya manusia harus dapat beradaptasi dengan situasi dan kondisi dimana dia
berada.
4. Sifat Tanah diibaratkan
sebagai sifat manusia yang sabar dan tidak menuntut imbalan atas segalah
sesuatu yang dilakukan untuk kepentingan orang lain. Hal ini dapat dilihat dari
sifat tanah yang selalu sabar walalupun telah menumbuhkan tanaman sebagai
sumber kehidupan manusia, walaupun telah menyediakan tempat untuk berpijak
manusia tapi dia tidak pernah menuntut imbalan. Bahkan ketika diinjak dan
diberaki tanah tidak pernah marah.
Selain itu
empat huruf yang digunakan sebagai pengandaian empat wilayah dalam Kerajaan
Muna tersebut kalau dirangkai suatu kalimat ” Ahmad” Ahmad ini dalam sejarah islam
dan dalam Al-Qur’an disebut sebagai nama lain dari Muhammad SWA, nabi dan rasul
junjungan umat islam.
Begitu
bijaksananya , sehingga dalam melakukan pembagian wilayah pun SUGI MANURU
melakukan pengandaian dengan hakikat penciptaan manusia sebagaimana yang
dikandung oleh nilai-nilai islam.
Disebutkan
pula bahwa SUGI MANURU yang
menetapkan pembagian golongan di Kerajaan Muna. Adapun golongan itu adalah
Kaoumu, Walaka, Olindo Fitu Bangkaono,dan Wawono Liwu. Yang secara hakikat
dapat pula dikatakan bahwa susunan golongan-golongan itu di ibaratkan sebagaai
struktur raga manusia yaitu :
Ø O
kaomu, di ibaratkan kepala manusia huruf nya mim
awal.
Ø walaka
di ibaratkan badan manusia huruf nya Ha.
Ø O
lindo Fitu bengkauno di ibaratkan perut hurufnya mim akhir.
Ø Owawono
Liwu di ibaratkan kaki hurupnya Dal.
Inilah yang
dikatakan pengendali dan yang dikendali. Kaomu dan Walaka adalah mitra kerja
yang mengendali, Olindo Fitu Bangkauno serta Wawono Liwu adalah sumber daya
manusia dan sumber daya alam, bakalan yang akan di atur.
Nilai-nilai
yang diajarkan SUGI MANURU Inilah yang dikatakan sebagai rahasia wawasan negeri
dalam pengertian SOWITE ( untuk tanah air ). SOWITE ini kemudian
diuraikan agar mudah dalam implementasinya sebagai landasan
idiologi yang dikenal dengan falsafah hidup masyarakat Muna, yaitu “ Koemo
Bhada Sumanomo Liwu, Koemo Liwu Sumanomo Sara, Koemo Sara Semanomo Oadhati,
Koemo Oadhati Sumanomo Agama”, artinya ; Rela mengorbankan Jiwa dan
raga demi bangsa dan negara, Tegakkan Hukum walaupun bumi runtuh, kalaupun
hukum tidak berjalan, adat istiadat tetap harus dipertahankan, Kalaupun adat
istidat sudah tidak memberi arah, nilai-nilai, agama yang akan
dijadikan pegangan.
Penetapan empat
landasan idiologi sebagai falsafah hidup Masyarakat Muna tersebut sangat jelas
dipengaruhi oleh ajaran Islam. Hal ini ditandai dengan penghargaan agama
sebagai ajaran yang harus dipegang dan menjadi petunjuk apabila ajaran-ajaran
lainnya tidak berjalan dengan baik.
J. Couvreur
(1935;5) mengatakan bahwa Sugimanuru mempunyai empat belas orang putra terdiri
atas sebelas orang laki-laki dan tiga orang perempuan. Keempat belas
orang dimaksud adalah (1) Kakodo, (2) Manguntara, (3) La Kakolo, (4) La
Pana, (5) Tendridatu, (6) Kalipatolo, (7) Wa Sidakari, (8) La Kilaponto, (9) La
Posasu, (10) Rampeisomba, (11) Kiraimaguna, (12) Patolakamba, (13) Wa Golu,
(14) Wa Ode ogo.
Oleh karena itu
dalam Penentuan tingkatan golongan masyarakat pada masa pemerintahan SUGI
MANURU di klasifikasikan berdasarkan keturunannya. Pengklasifikasian
berdasarkan keturunan ini dimaksudkan agar kelak tidak terjadi konflik
perebutan kekuasaan diantara keturunannnya. Struktur tingkatan golongan
masyarakat itu adalah :
1. Golongan Kaomu.
Golongan ini
bersumber dari anak laki-laki Sugi Manuru yang memiliki kemampuan dan keahlian
dibidang pemerintahan. Kaomu adalah goloangan teratas yang berhak menduduki
jabatan Raja Muna dan Jabatan-Jabatan eksekutif lainnya yang sesui dengan hukum
adat ( Kuasa eksekutif ).
2. Golongan Walaka.
Golongan ini
bersumber dari anak Perempuan Sugi Manuru yaitu Wa ode pago yang kawin dengan
La Pokainse anak Mieno Wamelai. Walaka adalah golongan yang berhak dan memiliki
kuasa dalam mengangkat Raja Muna, memegang kekuasaan menetapkan hukum
hukum adaat dan mengawasi pelaksanaannya ( kuasa legislatif dan Yudikatif ).
3. Goloangan Wawono Liwu.
Goloangan ini
terbagi atas tiga tingkatan yaitu :
a.
Golongan Wawono Liwu
Ghoera atau Fitu Bengkauno, Golongan ini
bermula dari 7 orang anak laki-laki Sugi Manuru dari istri
selir. Golongan ini berhak untuk menjadi kepalah pemerintahan Ghoera (kuasa
Pemerintah daerah) yaitu;
1.
Ghoerano Tongkuno
2.
Ghoerano Kabawo
3.
Ghoerano Lawa
4.
Ghoerano Katobu
b.
Golongan Wawono Ghaoera Papara
Golongan ini
berarasal dariturunan dari ke 4 Kamokulano dahulu yaitu;
1. Kamokulano Tongkuno.
2. Kamokulano
Barangka,
3. Kamokulano
Lindo,
4. Kamokulano
Wapepi.
c. Golongan Poino Kontu Lakono Sau.
Golongan ini
adalah golongan Wawono Liwu yang terendah, ibarat sebuah batu dan sepotong kayu
didalam masyarakat Kerajaan Muna. Mereka ini turunan dari ke empat Mieno yaitu;
1. Mieno Kaura,
2. Mieno
Kasintala,
3. Meino Lembo,dan
4. Meino Ndoke.
Sugi Manuru juga
menetapkan mekanisme pengangkatan pemimpin, mulai dari tingkat Raja sampai pada
tingkat pemerintahan terendah yaitu Mieno. Menurut ajaran Sugi manuru Penentuan
siapa yang akan menjadi pemimpin dimasing-masing tingkatan dan golongan
ditentukan oleh Sara berdasarkan kapasitas masing-massing indifidu.
Pengangkatannya berdasarkan hasil rapat dewan adat yang anggotanya berasal dari
golongan Walaka.
Selain Menyusun
tingkatan golongan masyarakat, SUGI MANURU juga menetapkan struktur
pemerintahan kerajaan. Struktur pemerintahan kerajaan pada jaman SUGI MANURU
adalah ;
1. Raja
(Eksekutif), dari Golongan Kaomu
2. Bonto
( Legislatif ), dari golongan walaka
3. Mintarano
Bhitara ( Yudikatif ), dari golongan Walaka ( No 1- 3 adalah
pemerintah pusat )
4. Mowano
Ghoera ———— pemerintahan setingkat dibawah pemerintah pusat
5. Kamokula & Mieno ————- setingkat dibawah Ghoera
Semua perangkat
kerajaan termasuk raja disebut sebagai Sarano Wuna. Mereka
itu harus dapat merepresentasikan muna secara keseluruhan.Dewan Sara dipimpin
oleh Bonto dari golongan Kaomu. Sidang – sidang dewan Sara bertugas mengangkat
dan memberhentikan Raja serta menetapkan
arah haluan kebijakan Kerajaan.
3. Raja Muna VII – La Kilaponto gelar
mepokonduaghono Ghoera ( 1538-1541).
La kilaponto
Raja Muna VII ( 1538- 1541 M
) adalah putera Raja Muna VI Sugi
Manuru, dari isterinya Wa Tubapala anak dari Wa Randea
puteri Mokole Konawe ( Mahmud Hamundu- Makala pada Simosium Pernaskahan
Nusantara X, 2003 ). La Kilaponto memiliki 13 orang saudara (
J.Courveur 1935;5), namun dari satu ibu dia hanya memiliki dua saudara
yaitu La Posasu/ Kobangkuduno dan Wa Karamaguna/ Wa Ode Pogo ( silsilah
Raja-Raja Muna & Buton, Dok. KTVL ).
La Kilaponto
memilki nama kecil La Kila, kemudian oleh masyarakat Muna di tambahkan dengan
Ponto ( Sejenis bambu yang keras ) sehingga menjadi dikenal namanya La
Kilaponto. Pemberian nama itu karena sesuai dengan sikap dan pembawaanya
sebagi pemuda yang cerdas, tampan, kuat dan keras sikapnya ( Said D, 2007
; 143 ). La Ode Rifai Pedansa, seorang tokoh masyarakat Muna berpendapat lain
mengenai penambahan ‘ponto’pada nama La Kilaponto. Menurutnya penambahan kata
‘ponto’ karena sebeum menjadi Raja Muna, La Kilaponto ditugaskan memimpin
wilayah yang bernama ‘Ponto” yaitu wilayah yang saat ini dikenal dengan Gu, La
kudo dan Mawasangka sebagai Raja Muda (Wawancara; Mei 2011).
Ada beberapa
versi yang mengisahkan tentang tahun La kilaponto menjadi Raja di Kerajaan
Muna. La Kimi Batoa dalam Bukunya Sejarah Kerajaan Daerah Muna, mengatakan
bahwa La Kilaponto menjadi Raja Muna selama 3 tahun yaitu antara tahun
1538-1541 (La Kimi Batoa, 1995). Masa ini bersamaan dengan saat dia
menjadi raja di Kerajaan Buton sebelum kerajan itu menjadi Kesultanan ( 1541 )
dan La Kilaponto dinobatkan sebagai Sultan Pertama dengan gelar Sultan
Qaimuddin Khalifatul Khamis.
Sedangkan Said
D mengatakan bahwa La kiaponto menjadi raja di Kearajaan Muna pada tahun 1530 –
1538 ( Said D, 2007;144 ). Perkiraan tahun berkuasanya La Kilaponto
sebagai mana yang di katakan oleh Said D tersebut, boleh jadi merupakan masa
ketika dia menjadi Raja Muda di wilayah ‘Ponto’ sebgai mana dikatakan La Ode
rifai Pendansa. Asumsi ini diperkuat dengan hasil penelitian H.E.
Tamburaka yang dumuat dalam buku ‘ Sejarah Daerah Sulawesi Tenggara’ bahwa La
Kilaponto atau Haluoleo menjadi Raja Muna Sementara pada tahun 1530 – 1538.
A.
Manusia Fenomenal Yang Kharismatik
La Kilaponto adalah
manusia yang fenomenal yang kharismatik, ahlian dalam strategi
perang, piawai dalam berdiplomasi serta pakar dalam ilmu ketata
negaraan.. Hal itu dapat dilihat dimana dia pernah memimpin lima kerajaan
besar dalam waktu bersamaan, sebagai mana dijelaskan dalam dokumen
koleksi Belanda “ Adapun tatkala Murhum menjadi raja di
Negeri Buton ini, tatkala dikaruniai Murhum, maka menjadilah sekalian
Negeri, karena ia raja La Kilaponto membawahi negeri yang besar yaitu
Buton dan Wuna, jadi ikut sekalian negeri seperti kaledupa dialihkan, Mekonggo
dialihkan, dan kabaena di Alihkan. Maka sekalian negeri pun dialihkan oleh
Murhum” ( Koleksi Belanda, hal 1 ). Karena itulah LA
KILAPONTO dikalangan masyarakat muna di beri gelar
‘ mepokonduaghono Ghoera’ artinya orang yang menggabungkan
Negeri/Kampung
LA
KILAPONTO menjadi Raja pada kerajaan – kerajaan itu bukan karena
invasi, tetapi karena kharisma beliau atau penghargaan karena berhasil
melakukan sesuatu yang besar dinegeri tersebut. Hal ini dapat dilihat
setelah beliau menjadi Penguasa di negeri itu dia tidak
berusaha untuk menjadikan negeri itu sebagai koloni atau bagian dari
Kerajaan Muna, tetapi membiarkan tetap merdeka dan Berdaulat. Padahal bila
mau LA KILAPONTO dapat saja menggabung kerajaan-kerajaan
tersebut dibawah kerajaan Muna karena sebagai raja dia punya kekuasaan yang
besar sehingga dapat saja melakukan hal itu.
Dari semua
kerajaan yang pernah dipimpinnya, hanyalah di kerjaan Buton LA
KILAPONTO memerintah cukup lama yaitu 46 tahun ( 1538 – 1584
M ). Di kerajaan Muna LA KILAPONTO menjadi raja kurang lebih 3
tahun ( 1538 – 1541 M ), setelah itu dilanjutkan oleh adiknya LA POSASU
sebagai Raja Muna VIII. Sedangkan di kerajaan-kerajaan lainnya
tidak ada catatan sejarah yang mengungkapkan berapa lama LA KILAPONTO
menjadi Raja di kerajaan tersebut serta bagaiman proses penyerahan kekuasaan
pasca LA KILAPONTO.
B.
Pakar Tata Negara
Sejak Kecil
Raja Sugi Manuru telah melihat potensi yang dimiliki oleh LA
KILAPONTO. Olehnya dia diberi pendidikan khusus termasuk
mempelajari islam yang dibawah oleh Syek Abdul Wahid pada awal
pemerintahan Sugi Manuru (1527). Namun menurut J. Courveur La Kolaponto telah
menerima islam sejak tahun 1519 M atau 940 H…
Kepakaran di
bidang ketatanegaraan. Hal ini dapat dilihat ketika menjadi Raja/Sultan Buton,
La Kilaponto meletakan sendi-sendi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara di
kerajaan/kesultanan tersebut. Sendi-sendi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara yang ditanamkan La Kilaponto di Kerajaan/Kesultanan Buton merupakan
nilai-nilai dasar yang diajarkan oleh ayahandanya Sugi manuru Raja Muna VI..
MANURU yaitu ;
·
Pobini-biniti kuli, (
saling tengang rasa )
·
Poangka-angka
tau, ( Saling harga-menghargai )
·
Poma-masigho, ( Saling
sayang- menyayangi )
·
Poadha-adhati. (Saling
menghormati )
LA KILAPONTO
juga menyebar luaskan konstitusi Negara kerajaan Muna pada kerjaan-kerajaan
yang dipimpinnya Yaitu :
¨ Hansuru
–hansuru badha Sumano kono hansuru liwu ( Biarlah
badan binasa asal Negara tetap berdiri ).
¨ Hansuru-hansuru
Liwu Sumano kono hansuru Ahdati ( kalaupun Negara harus bubar adat
tetap harus dipertahankan ).
¨ Hansuru-hansuru
Adhati sumano Tangka Agama ( Kalupun adat tidak bisa lagi dipertahankan, agama
harus tetap ditegakkan ).
Falsafah dasar
dan Konstitusi kerajaan Muna yang telah di ajarkan oleh Ayahandanya Raja Muna
VI Sugi Manuru kemudian disebar luaskan pada kerajaan-kerajaan yang
pernah dipimpin oleh LA KILAPONTO. Tentu saja falsafa dasar
dan konstitusi tersebut diadaptasi dengan nilai-nilai yang dianut oleh
masyrakat setempat dalam hal ini termasuk nilai-nilai Islam sebelum dijadikan
sebagai Konstitusi Kerajaan.
Sikap
toleransi terhadap masuknya nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat local dan
nilai- nilai agama yang positif merupakan strategi untuk menghindari
konflik dan penolakan masyarakat terhadap ajaran itu. Karena jasanya tersebut,
La Kilaponto dianugrahi gelar Timba-timbanga oleh rakyat Buton
Konsitusi pada
Kerajaan / kesultanan Buton yang ditanmkan oleh La Kilaponto mulai
ditulis pada masa Sultan Buton IV DAYANU IKSANUDDIN (1597-
1631 M). Sebagai penganut islam yang taat Dayanu Ikhsanuddin
juga memasukan nilai-nilai Islam dalam konstitusi tersebut. Konstitusi
Kesultanan Buton yang ditulis oleh Dayanu Iksanuddin tersebut dikenal dengan Martabat
Tujuh.
Karena Martabat
Tujuh memuat tetntang tatan dasar kenegaraan Kesultanan Buton, oleh para pakar
martabat tujuh kemudian menganggapnya sebagai Konstitusi Kesultanan Buton.
Konstotusi yang bernama martabat tujuh tersebut diproklamirkan pada masa
Kesultanan Buton masih di bawah pimpinan SULTAN DAYANU IKHSANUDDIN.
DAYANU IKHSANUDDIN adalah cucu LA
KILAPONTO dari putrinya PARAMASUNI yang
bersuamikan LA SIRIDATU putera Raja Batauga.
Menurut A.E.
saidi dalam makalahnya pada Simposium Internasionel Pernaskahan
Nusantara IX di Baruga Keraton Buton 5 – 8 Agustus
2005, Martabat Tujuh di proklamirkan
oleh Sapati LA SINGGA pada tahun 1610 M di depan Masjid Agung
Keraton. Inti dari Konstitusi Martabat Tujuh yaitu ; 1)
Pomae-maeyaka; 2) Popiara-piara’ 3) Po maa-maasiaka. 4) Poangka-angkataka. Keempat
nilai dasar dari Konstitusi martabat Tujuh memiliki makna yang sama dengan apa
yang diajarkan oleh Raja Muna VI SUGI MANURU pada
tahun 1438 M. Demikian pula tatanan pemerintahan yang dianut kesultanan Buton
seperti yang termuat dalam Martabat Tujuh juga merupakan sisten dan tatanan
pemerintahan yang diterapkan oleh Kerajaan Muna sejak jaman SUGI MANURU
Raja Muna VI ( Baca; Sugi Manuru ) .
C.
Diplomat Ulung
Selain ahli di
bidang Tata Negara, LAKILAPONTO juga piawai dalam bidang
diplomasi . Kemampuan diplomasi LA KILAPONTO
dibuktikan dengan dapat mendamaikan konflik dua kerajaan besar di jazirah
Pulau Sulawesi bagian Tenggara yaitu kerajaan Konawe dan Mekongga.
Konflik kedua kerajaan tersebut telah berlangsung lama dan telah banyak menelan
korban nyawa dan harta.
Oleh LA
KILAPONTO konflik tersebut diselesaikan hanya dalam waktu delapan
hari, sehingga di kedua kerajaan tersebut LA KILAPONTO di beri
gelar “HALUOLEO” yang artinya delapan hari. Karena
sukses mendamaikan konflik tersebut, LA KILAPONTO dinikahkan
dengan Putri Raja Konawe yang bernama ANAWAY ANGGUHAIRAH
serta dinobatkan menjadi Mokole Konawe.
Kemampuan
diplomatik LA KILAPONTO juga ditunjukan saat
ditugaskan oleh ayahandanya Raja Sugi Manuru untuk menjalin kerja sama dengan
kerajaan-kerajaan tetangga seperti Todore, Ternate, Banggai dan Luwu. ( Lakimi;
Sejarah Muna, Jaya Press Raha).
Misi
diplomatik yang dilakukan LA KILAPONTO itu sangat sukses,
sebab beliau dapat meyakinkan kerajaan-kerajaan yang dikunjunginya untuk
menjalin kerja sama dengan kerajaan Muna. Bahkan Kerajaan Ternate berhasi
diyakinkan untuk bersekutu melawan pengaruh Kolonial Belanda. Bukti lain
keberhasilan misi diplomatik La Kilaponto tersebut adalah sejak saat itu sudah
tidak ada lagi gangguan keamanan dan kedaulatan Kerajaan Muna yang datang dari
kerajaan-kerajaan tersebut.
Sebagai mana
kerajaan-kerajaan kuno lainnya, LA KILAPONTO menjalankan
strategi diplomasinya melalui perkawinan. Dalam beberapa sejarah ditulis selama
hidupnya La Kilaponto melakukan perkawinan sebanyak 5 kali, berturut-turut
putri yang dikawininya adalah :
1. WA TAMOIDONGI
( Putri Raja Buton V LA MULAE)
2. WA ANAWAY ANGGUHAIRAH (
Putri Mokole Konawe )
3. Putri raja Jampea
4. Putri Raja selayar OPU MANJAWARI
5. WA SAMEKA
( Putri Sangia YI TETE )
Dari
masing-masing perkawinannya tersebut, LA KILAPONTO/SULTAN KAIMUDDIN
KHALIFATUL KHAMIS/SULTAN MURHUM memperoleh putra dan putri yaitu :
1.
Perkawinan dengan WA TAMPOIDONGI tidak
memperoleh anak
2.
perkawinan dengan ANAWAI ANGGUHAIRAH
memperoleh 3 orang puteri yaitu WA ODE POASIA, WA ODE LEPO-LEPO dan
WA ODE KONAWE.
3.
perkawinan dengan putri raja Jampae memperoleh 1 orang
putera yang bernama LA TUMPAMASI (Sangia Boleko). La Tumparasi
kemudin menjadi Sultan Buton II menggantikan ayahandanya dengan gelar Sultan
Qaimuddin II.
4.
Perkawinan dengan putri raja Selayar memperoleh 1 orang
putera yang bernama LA SANGAJI (Sangia Makengkuna). La
Sagaji kemudian menjadi Sultan III mengantikan kakaknya lain ibu La
Tumpamasi dengan gelar Sultan Qaimuddin III
5.
5.Perkawinannya dengan Wa Sameka memperoleh 4 orang
puteri yaitu Paramasuni (istri LA SIRIDATU putra Raja
Batauga), Wa sugirampu (istri LA GALUNGA cucu Raja Buton V La
Mulae), WABUNGANILA (istri LA KABAURA putra
raja Batauga) dan WABETA (istri LA SONGO raja
Kambe-kambero). Sultan Buton IV Dayanu Iksanuddin adalah cucu La
Kilaponto dari putrinya Paramasuni buah
perkawinannya dengan La Siridatu Putra Raja
Batauga.
D. AHLI STRATEGI PERANG
Kemampuan dalam
strategi perang La kilaponto dibuktikan saat menumpas pemberontak LA
BOLONTIO yang berasal dari Tobelo. LABOLONTIO
yang terkenal sakti dan sangat kejam dalam melakukan aksinya sehingga Kerajaan
Buton tidak mampu lagi menghadapinya. Raja Buton saat itu LA MULAE
dan segenap rakyatnya telah putus asa sehingga memaksa dia membuat
sayembara. Isi dari sayembara tersebut adalah “ barang siapa yang dapat
menumpas pemberontakan Labolontio akan dikawinkan dengan salah satu putri Raja
“ yang bernama WA TAMPOIDONGI. WA
TAMPOIDONGI terkenal sangat cantik dan menjadi rebutan
petinggi-petinggi Kerajaan Buton dan kerajaan-kerajaan tetangga.
Sayembara
yang dibuat oleh Raja Buton LA MULAE tersebut mengundang
minat satria-satria di kerajaan tetangga untuk ambil bagian. Mereka
sangat tertarik untuk mempersunting putri Raja yang kecantikannya sudah
terkenal di mana-mana. Raja-raja pada kerajaan tetangga yang mengikuti
sayembara tersebut adalah Raja Selayar Ompu Manjawari dan Raja Jampea dan
Raja Batauga La Maindo.
Sudah sekitar
satu tahun sayembara dibuka, para peserta sayembara telah mengeluarkan segala
kemampuannya, namun tidak ada satupun dari satria-satria yang
ikut dalam kompetisi tersebut yang dapat menumpas Labolontio. Bahkan Labolontio
dan pasukannya semakin merajalela dan telah menguasai beberapa wilayah Kerajaan
Buton seperti Palabusa dan Barangka .
Bukan
saja itu bahkan Labolontio sudah mengancam kerajaan-kerajaan tetangga
Buton termasuk Kerajaan Muina. Terdengar kabar bahwa La Bolontio dalam
waktu dekat akan menyerang mawasangka, salah satu wilayah yang dikenal dengaan
‘ Ponto ’ . ‘Ponto’ adalah wilayah kekuasaan dan tanggung jawab La
Kilaponto sebagai Raja Muda, sebelum menjadi Raja Muna.
Kabar semakin
mengganasnya Labolontio dan pasukannya ikut meresahkan LA KILAPONTO
yang baru saja dilantik menjadi Raja Muna VII. Olehnya itu LA KILAPONTO
meminta saran dari Ayahandanya SUGI MANURU dalam menyikapi
ancaman tersebut.
Setelah
mendengar masukan-masukan dari LA KILAPONTO dan beberapa
petinggi kerajaan lainnya, SUGI MANURU Raja Muna VI yang juga
ayaahannda dari LA KILAPONTO menyarankan pada LA
KILAPONTO untuk segera pergi ke Buton, menumpas LABOLONTIO
sekaligus menyelamatkan Negeri Buton dari kehancuran. Jadi keikutsertaan LAKILAPONTO
dalam menumpas LABOLONTIO bukan untuk mengikuti sayembara yang
dibuka oleh Raja LA MULAE tetapi melakukan misi Kerajaan Muna
untuk menyelamatkan Negeri Muna dari ancaman LABOLONTIO
sekaligus menyelamatkan Negeri Buton.
Sesampainya di
Buton dengan tanpa terlebih dahulu menghadap pada Raja LA MULAE,
LA KILAPONTO langsung menyusuri pantai, mencari LABOLONTIO,
orang yang telah membuat Raja Buton dan segenap rakyatnya kalang
kabut dan tidak berdaya.
Dalam
pertarungan di pasisir Kerajaan Buton, LABOLONTIO di
buat bertekuk lutut bahkan mati ditangan LA KILAPONTO.
Sebagai bukti
telah membunuh LABOLONTIO, LA KILAPONTO
membawa kepala LA BOLONTIO di hadapan Raja Buton LAMULAE.
Maksud LAKILAPONTO menghadap Raja LA MULAE adalah untuk
menyampaikan bahwa Kerajaan Buton saat ini telah aman
sebab pengacau keamanan telah berhasil di bunuhnya sekaligus berpamitan
untuk pulang ke Muna meneruskan tugasnya sebagai Raja Muna. LA
KILAPONTO tidak menuntut apapun dengan apa yang telah di lakukannya. LA
KILAPONTO berpikir misinya menumpas LABOLONTIO selain
membantu kerajaan Buton yang berada dalam ambang kehancuran, juga menjaga
keamanan dan kedaulatan Kerajaan Muna dari gangguan pihak luar.
Lain
dengan Raja Buton LA MULAE dan segenap rakyatnya, LA
KILAPONTO oleh mereka dianggap telah berjasa menyelamatkan
Kerajaan Buton dari gangguan keamanan. Untuk itu LABOLONTIO
berhak mendapatkan hadia seperti isi dari sayembara yang telah
dibuat Raja LA MULAE. Sebagai Raja, LAMULAE harus
tetap konsisten menjalankan apa yang telah diucapkan. Untuk itu pernikahan
antara LA KILAPONTO dan Putri Raja WA TAMPOIDONGI tetap
harus dilaksanakan.
Dengan
rasa berat dan penghargaan terhadap Raja Buton LAMULAE,
akhirnya LAKILAPONTO menerimah untuk dinikahkan dengan putri
raja seperti isi sayembara yang di buat Raja LAMULAE. Namun
demikian LA KILAPONTO tetap mengajukan syaraat bahwa setelah
pernikahan dilaksanakan dia tetap kembali ke Kerajaan Muna untuk menjalankan
tugasnya sebagai Raja Muna. Persyaratan itu diterimah dan pernikahan keduanya
pun dilaksanakan. Setelah prosesi pernikahan dilaksanakan LA KILAPONTO
langsung berpamitan untuk Kembali Ke Kerajaan Muna sedangkan isrinya tetap
tinggal di Kerajaan Buton bersama kedua orang tuanya.
Belum cukup
satu tahun menjalankan pemerintahanya sebagai Raja Muna setelah menumpas LABOLONTIO,
Raja Buton V LA MULAE meninggal dunia. Karena raja LA
MULAE tidak memiliki anak Laki-laki, maka petinggi-petinggi Kerajaan
Buton bersepakat untuk mengangkat LA KILAPONTO sebagai Raja
Buton VI menggantikan LA MULAE.
Kesepakatan
para petinggi Kerajaan Buton tersebut kemudian di sampaikan pada LA
KILAPONTO dengan cara mengutus beberapa utusan untuk datang ke
kerajaan Muna. Awalnya LA KILAPONTO merasa sangat berat
menerima kesepakatan yang telah dibuat oleh para petinggi Kerajaan Buton untuk
menjadi Raja di kerajaan Buton, karena saat itu LA KILAPONTO sedang
menjadi raja di kerajaan Muna dan Kerajaan Konawe serta baru saja memulai
melakukan penataan system pemerintahan di kedua Kerajaan tersebut .
Namun atas
saran Ayahandanya dan melalui pertimbangan yang matang, akhinya LA
KILAPONTO mau menerima untuk menjadi Raja di Kerajaan Buton. Dengan
diterimahnya menjadi Raja Buton, maka secara otomatis
pada saat itu LA KILAPONTO menjadi Raja di tiga kerajaan besar
di Sulawesi Tenggara yaitu Kerajaan Buton, Kerajaan Muna dan Kerajaan Konawe,
karena itulah oleh masyarakat Muna LA KILAPONTO mendapat gelar ‘Omputo
Mepokonduaghoono Ghoera ’ artinya orang yang
mengawinkan/menggabungkan Negeri/Kampung.
Pada sebuah
hikayat disebutkan, saat LA KILAPONTO menjadi Raja
di Kerajaan Muna, Buton dan Konawe, kerajaan-kerajaan lainya
yaitu Kerajaan kaledupa, Kerajaan Kabaena dan
Mekongga ikut menggabungkan diri dibawa kekuasaan LA KOLAPONTO,
sebagai mana kutipan berikut ‘Adapun tatkala Murhum
menjadi raja di Negeri Buton ini, tatkala dikaruniai Murhum, maka
menjadilah sekalian Negeri, karena ia raja La Kilaponto membawahi
negeri yang besar yaitu Buton dan Wuna, jadi ikut sekalian negeri seperti
kaledupa dialihkan, Mekongga dialihkan, dan kabaena di Alihkan. Maka
sekalian negeri pun dialihkan oleh Murhum” ( Koleksi Belanda, hal 1
).
Tiga Tahun LAKILAPOTO
menjadi raja Buton dan empat kerajaan lainya di Sulawesi Tenggara, ajaran
islam berkembang pesat di Kerajaan Buton. Pesatnya perkembangan agama islam
di kerajaan tersebut karena pada saat dilantik menjadi raja Buton, guru
agama beliau seorang Ulama dari Arab yang bernama SYEKH
ABDUL WAHID turut di boyong ke Kerajaan Buton untuk menyebarkan agama
islam di sana.
Setelah nilai-nilai islam telah tertanam dalam perilaku masyarakat botun, maka pada tahun 1541 La Kilaponto memproklamirkan Kerajaan menjadi Kesultanan dan mengangkat dirinya sebagai Sultan I dengan gelar Sultan Qaimuddin Khalifatul Khamis.
Menyusul
berubahnya Buton menjadi Kesultanan (948 H/ 1541 M ), LAKILAPONTO
kemudian menyerahkan jabatannya pada kerajaan-kerajaan
lainnya. Misalnya di Kerajaan Muna. Pada Kerajaan Muna, LAKILAAPONTO
menyerahkan jabatannya kepada adiknya LA POSASU untuk
menjadi Raja Muna VIII. sedangkan dikerajaan-kerajaan lainnya tidak ada data
yang pasti bagai mana proses penyerahannya.
Namun
yang pasti pada saat itu juga Kerajaan Konawe dan kerajaan-kerajaan
lainya yang pernah di pimpin LAKILAPONTO telah memiliki
raja sendiri-sendiri. Walaupun LAKILAPONTO pernah memimpin kerajaan-kerajaan
tersebut, namun setelah dia melepaskan jabatannya, LAKILAPONTO tetap
mengakui kerajaan-kerajaan tersebut sebagai Negara merdeka dan berdaulat.
Setelah
LAKILAPONTO Menjadi SULTAN di Kesultanan Buton dan
adiknya LA POSASU menjadi Raja Muna VIII, kedua bela
pihak mengadakan perjanjian. Isi dari perjanjian tersebut adalah wilayah
kerajaan Muna bagian Selatan yang terdiri dari Mawasangka dan GU
diserahkan ke Buton. Sebagai gantinya, Wialayah pesisir Barat Buton
bagian Utara yaitu Wakorumba dan Kulisusu diserahkan pada Muna. Termasuk
dalam perjanjian itu kesepakatan untuk saling membantu dan bekerja sama
bila kedua kerajaan menghadapi situasi pelik, termasuk ancaman dan intervensi
dari luar ( La kimi- Sejarah Muna, Jaya pres Raha).
Hubungan
persaudaraan di antara kerajaan- kerjajaan yang pernah dipimpin oleh LA
KILAPONTO khususnya Kerajaan Muna dan Kerajaan Buton terjalin hangat selama
kurang lebih 3,5 abad. Namun Setelah Kesultanan Buton mulai bekerja sama
dengan Kolonial Belanda pada akhir masa pemerintahan Sultan Buton Dayanu
Ikhsanuddin dan dalam kerangka politik pecah belah, pemerintah kolonial
Belanda,
Perseteruan
antara maka hubungan antara Kerajaan Muna dan Buton mengalami keratakan.
bersama Sultan Buton LAODE MUH. ASIKIN, secara sepihak membuat
perjanjian yang disebut Korte Verklaring pada 2
Agustus 1918 (Jules Couvreur , Sejarah dan Kebudayaan
Kerajaan Muna- Artha Wacana Press, Kupang, Nusa Tenggara Timur, 2001).
Perjanjian
sepihak tersebut tidak pernah diakui oleh Raja Muna. perlawanan terhadap
perjanjian Korte Verklaring ditunjukan
oleh raja Muna LA ODE DIKA gelar OMPUTO
KOMASIGINO yang tidak mematuhi perjanjian tersebut termasuk
membayar pajak kepada Sultan Buton seperti yang diatur dalam perjanjian Korte
Verklaring . Raja Muna LA ODE DIKA
juga tidak mau tunduk saat bertemu dengan Sultan Buton. Bahkan LA ODE
DIKA mengangkat telunjuknya seakan mengancam saat bertemu dengan
Sultan Buton di Istana Sultan Buton. Sikap Raja LA ODE DIKA
tersebut oleh Sultan Buton di adukan kepada penguasa colonial Belanda di Makassar.
Akibatnya LA ODE DIKA di pecat kemudian penguasa colonial
Belanda di makkasar menyatakan kerajaan Muna sepenuhhya dalam penawasan Belanda
sampai pemerintah Kolonial Belanda menunjuk LA ODE PANDU sebagai
Raja Muna pada tahun 1947.
LA
KILAPONTO / SULTAN MURHUM / SULTAN KAIMUDDIN KHALIFATUL KHAMIS Putra
Raja Muna SUGIMANURU Yang Agung mengakhiri masa
pemerintahannya di Kesultanan Buton karena wafat tahun 1584 setelah
memerintah lebih kurang 46 tahun ( sebagai raja Buton VI selama 3 tahun dan
sebagai Sultan I selama 43 tahun ), dan menjadi Raja Muna selama tiga
tahun ( (1538- 1541 M ),. Setelah LA KILAPONTO /
SULTAN MURHUMIN / SULTAN KAIMUDDIN KHALIFATUL KHAMIS meninggal dunia,
Sara Kesultanan Buton memilih LA TUMPAMASI (Sangi Boleka)
Putra La Kilaponto dari perkawinannya dengan Putri Raja JAMPEA ( Suku
Bajo ? ) sebagai sultan Buton II dan dilantik pada tahun itu juga.
4. Raja Muna X - Titakono ( 1600- 1625 )
La Titakono
adalah Raja Muna X sekaligus sebagai raja terakhir yang belum memeluk agama
islam. Kendati demikian pada masa pemerintahan La Titakono penyebar Islam kedua
yakni Firus Muammad masuk dimuna. Pada fase kedua masuknya penyebar agama islam
di muna juga belum berjalan secara efisien. Agama islam pada masa itu
berkembang sangat lamban. Hal ini berkaitan dengan Raja Muna belum memeluk
agama islam. Sebagai seorang pemimpin yang menjadi panutan seluruh warga,
maka masuknya seorang raja pada suatu aliran atau agama tertentu sangat
berperan terhadap penyebarluasan kepercarayaan atau agama tersebut.Hal ini juga
terjadi di Kerajaan Muna.
Walaupun Raja
Muna La Titakono belum memeluk islam. namun beliau sangaat toleran terhadap
pemeluk islam yang saat itu masih sangat minoritas serta menghargai nilai-nilai
islam.
Sebagai bukti
penghormatan beliau pada islams yaitu pada masa pemerintahannya masjid
pertama dibangun di Muna ( 1614 ). Pembangunan masjid itu diikuti oleh
pembagunan pusat pendidikan islam. Seiring dengan itu ajaran islam
sedikit demi sedikit mulai dipelajari masyarakat Muna. Seluruh proses
pembangunan masjid dan islamic center tersebut difasilitasi oleh Raja La
Titakono.
Bukti lain
sikap toleransi raja La Titakono terhadap islam adalahdiberikan kebebasan
pada salah seorang putranya yaitu La Ode Sa’aduddin menjadi murid Firus
Muhammad Penyebar islam kedua di Muna. Bahkan La Ode Sa’aduddin menjadi Raja
Mua pertama yang memeluk agama Islam.
Agama Islam
mengalami kemajuan yang sangat pesat setelah Putra La Titakono yakni La Ode
Sa’aduddin di nobatkan menjadi Raja Muna XI setelah La Titakono Mangkat.
Selain
membangun masjid, Raja Titakono membentuk lembaga baru dalam sturktur
pemerintahan kerajaan muna yaitu Bonto Bhalano.
Bonto Bhalano
adalah sebuah lembaga sejenis Majelis Permusyawaratan Rakyat yang bertugas
memilih dan mengangkat Raja Muna Pada masa Pemerintahan Raja Muna IX TITAKONO
struktur golongan masyarakat Muna juga ditambah dengan golongan wesimbali.
Golongan Wesimbali
adalah goloangan yang timbul karena perkawinan antara dua golongan yang
sebenar nya dilarang dalam hukum adat.
Pada zaman
dahulu wanita Kaomu dan Walaka pantang menikah dengan goloangan Lakono sau
poino kontu. Golongan Wesimbali ini terbagi lagi menjadi dua yaitu ;
·
Golongan Kaomu Wesimbali, yaitu turunan dari
wanita kaumu dengan laki-laki wawono liwu. Derajat dari Kaomu Wasembali
dijadikan setara dengan Golongan Walaka, tetapi tidak boleh menduduki jabatan
seperti golongan Walaka.
·
Golongan Walaka Wesimbali, yaitu keturunan dari
wanita golongan walaka dengan laki-laki dari golongan Wawono Liwu. Walaka
Wasembali di sejajarkan dengan derajatnya Anangkolaki (fitu bengkauno) tetapi
jug tidak dapat mendudukuki jabatan seperi golongan Angkolaki.
Raja Muna
Titakono juga mengadakan perubahan pada struktur pemerintahan.
Dalam Rapat Agung Kerajaan di hadiri oleh Raja, 4 Mino, 4 kamokula diangkat
Pejabat Bantobalono. Banto Balano yang pertama adalah La Marati,
anak dari Wa Ode Pogo hasil perkawinanya dengan La Pokainse. Sebgai Bonto
Balano.
5.
Raja La Ode Sa’adudin ( 1625-1626 )
La Ode
Sa’aduddin adalah Raja Muna XI dan merupakan
pertama yang memeluk islam sekaligus raja Muna pertama yang memakai penambahan
La Ode pada awal namannya.
Penambahan La
Ode ( bagi laki-laki ) dan Wa ode ( bagi perempuan) pada awal nama
seorang yang berdarah Kaomu (strata sosial yang berhak menduduki jabatan
Raja ) ditetapkan oleh La Titakono Raja Muna X bersama La Marati ( cucu
Sugi Manuru dari anaknya Wa Ode Pogo buah pernikahannya dengan La
Pokainse}.
Pemerintahan La
Ode Saa’diddin sangat singkat yaitu hanya satu tahun. Walaupun demikian selama
satu tahun masa pemerintahan, La Ode Saa’duddin berhasil melakukan hal besar
taitu melakukan penataan dalam strktur pemerintahan dan menyebarluaskan ajaran
islam dalam kalangan masyarakat Kerajaan Muna.
Setelah La Ode
SaaduSddin naik tahta dia melakukan reformasi pemerintahan di kerajaan
muna. untuk mendukung pmerintahannya la Ode Sa’aaduddin membentuk dua
jabatan baru dalam sistem pemerintahan Kerajaan Muna yaitu kapitalao dan
Kapita. Kapitalao diberi tugas menjaga keamanan pantai Kerajaan muna dari
serangan musuh termasuk bajak laut yang kembali marak disekitar perairan
kerajaan muna. Karena Kerajaan muna dikeliligi oleh lautan dengan wilayah yang
begitu luas maka diangkat dua orang Kapita Lao yaitu Kapitalao
Matagholeo Timur ) dan Kapita Lao Kansoopa ( Barat ).
Untuk mengisi
jabatan kapatalao dipilih dari kino. Namun demikian tidak semua Kino berhak
untuk menjadi Kapitalao dan Kapita. Diantara 26 kino yang ada di kerajaan Muna
hanya Kino Babato yang dapat menjadi Kapita atau Kapitalao, mereka itu adalah :
A.
Babato Aluno yaitu :
·
Kino Tobea
·
Kino Labora
·
Kino Lakologau
·
Kino Mantobua
·
Kino Lagadi
·
Kino Watumela
·
Kino Lasehao
·
Kino Kasaka.
B.
Kino Barata yaitu Kino-Kino yang
bertugas menajaga pantai kerajaan, yang terdiri dari;
ü Kino
Wasolangka Þ
ü Kino
Lohia Þ
ü Kino
Lahontohe Þ
ü
Kino Marobea.Þ
Dengan demikian maka Dewan Kerajaan
terdiri dari;
1. Raja 7.
Fatolindono 4 orang
2. Bonto Balano
3. Mintarano Bhitara
4. Kapita Lau
2 orang
5. Kapita
1 orang
6. Koghoerano
4 orang
Walaupun Muna
bukanlah kerajaan Islam, namun sejak masa pemerintahan La Ode Saadudin hukum
islam berlaku dikerajaan Muna misalnya hukuman gantung bagi yang
melanggar norma adat dan hukuman cambuk bagi yang melanggar norma
susilah. Pelaksanaan hukuman islam terebut berlaku pada seluruh warga kerajaan
dalam hal ini termasuk Raja. Sebagai bukti penerapan hukum islam tersebut dapat
dilihat ketika mitarano bhitara ( kuasa yudikatif menjatuhkan hukuman gantung
pada La Ode Umara Raja Muna Ke 20 karena dianggap telah melakukan pelanggaran
terhadap norma adat.
Hukuman cambuk
sampai mati seperti yang diajarkan dalam hukum Islam juga pernah dijatuhkan
pada La Ode Sumaili Raja Muna ke 23 Yang dianggap telah melakukan pelanggaran
norma susilah ketika menentang perkawinan Wa Ode Kadingke Dengan seorang
saudagar dari bugis yang bernama Daeng Marewa. Penentangan terhadap perkawinan
tersebut mendapat perlawanan dari Wa Ode Kadingke sehingga
terjadi perang saudara.
Setelah Wa Ode
Kadingke memenangkan pertempuran kemudian mengangkat Puteranya La Ode Saete
menjadi Raja. Sedangkan La Ode Sumaili dijatuhi hukuman ambuk Sampai mati.
Pada masa
pemerintahanLa Ode Saa’duddin pula Belanda mulai mencoba menacapkan kekuasaan
di Kerajaan Muna. Gelagat tidak baik belanda tersebut telah dibaca oleh Raja La
Ode Saa’duddin, sehingga begitu Belanda mencoba menginervesi pemerintahaan,
Raja La Ode Saa’duddin tidak menerimanya dan menyatakan perang terhadap
Pemerintah Kolonial Belanda yang telah lama menjalin kerja sama dengan
Kesultanan Buton.
6. Raja La Ode Ngkadiri gelar Sangia
Kaindea ( 1626-1667)
Raja Muna XII
adalah La Ode Ngkadiri. Beliau adalah anak dari La Ode Saa’duddin raja Muna XI.
La Ode Ngkadiri memeritah dikerajan selama 21 tahun, dibagi dalam dua
periode dan disela dengan pemerintaha permaisurinya Wa Ode Wakelu selama tiga
tahun.
Periode
pemerintahan La Ode Ngkadiri ditandai dengan inseden penangkapan dirinya oleh
Kolonial Belanda dalam sebuah buah kapal yang bernama MV. De flamig pada
tahun 1652 dan diasinkan keternate selama tiga tahun. Kapal itu cukup mega
sebab diatasnya dilengapi dengan taman yang cukup luas. Karena penngkapan
diatas kapal tersebut sehingga setelah beliau mangkat sarano wuna
menganugrahkan gelar Sangia Kaindea pada beliau.
Peristiwa
penangkapan diatas kapal MV. De Flaming tersebut terjadi karena Pemeritah
Imperialis Belanda telah kewalahan mengahadapi Raja La de Ngkadiri dan pasukan
yang terus mengobarkan semangat perang terhadap Belanda. Beberapa kali Belanda
mengirimkan ekspedisi militer ke Kerajaan Muna namun selalu mengalami Kegagalan
padahal dalam ekspedisi itu pasukan Belanda di bantu oleh Tentara Kesultaan
Buton yang menjadi sekutu abadinya.
Sikap
perlawanan Raja La Ode Ngkjadiri terhadap Kolonial Belanda ditunjukan sejak
awal kedatangan Belanda pertama kali yang dipimpin oleh Piether Both di
Kesultanan Buton pada tahun 1631. Ketika Rombongan Pieter Both tersebut akan
masuk ke Kerajaan Muna mereka mendapat penolakan dari Raja La Ode Ngkadiri.
Penolakan Raja
La Ode Ngkadiri terhadap Piether Both tersebut membuat pemerintah Kolonial
Belanda berang, namun untuk melawan sendiri pasukan Kerajaan Muna,
Belanda mengalami kesulitan. Olehnya itu dijalankanlah Politik kotor Belanda
untuk memecah bela antara dua kerajaan ( Kerajaan Muna dan Buton ) yang telah
lama menjalin hunbungan yang sangat erat yang dikenal dengan politik Devide Et
Impera.
Maka
dicari-carilah benih-benih perpecahan antara dua kerajaan bersaudara tersebut.
Kebetulan sebelum menjadi Raja Muna La Ode Ngkadiri pernah
gagal menikahi Wa Ode Sopo Puteri Sapati Baaluwu yang dipelihara oleh Spelma,
padahal keduanya telah dijodohkan. La Ode Ngkadiri lebih memilih Wa Ode Wakelu
puteri Sapati Kapolangku untuk dijadikan isteri (
Drs. La Oba, 2005;43 ).
Kegagalan
pernikahan antara Raja La Ode Ngkadiri dengan Wa Ode Sopo anak angkat Spelman
dijadika alasan bagi Belanda untuk mengadu domba Kesultanan Buton agar mau
memerangi Keraajaan Muna yang telah menjalin persaudaraan sejak ribuan tahun
yang lalu.
Upaya adu domba
Belanda tersebut berhasil, sebab Buton mau bersekutu dengan Belanda untuk
menyerang Kerajaan Muna. sehingga terjadi perang yang cukup lama ( 1631 – 1652
) antara Kerajaan Muna dengan Belanda yang dibantu oleh Kesultanan Buton.
Kendatipun
Pasukan Belanda telah dibantu oleh Pasukan Kesultanan Buton namun mereka belum
juga mampu mengalahkan Pasukan Kerajaan Muna yang dipimpin oleh Raja La Ode
Ngkadiri. Olehnya itu Belanda menggunakan strategi lain yaitu dengan mengajak
untuk melakukan perundingan. Padahal maksud dari perundingan tersebut adalah
guna menangkap Raja La Ode Ngkadiri
Untuk
memuluskan rencananya itu Belanda mengajak Sultan Ternate ( Sultan Mandayasa
) kerabat dekat lainnya Kerajaan Muna ikut dalam perundingan tersebut.
Setelah semuanya telah diatur dengan rapi, maka disepakati tempat perundingan
diatas sebuah kapal MV. De Flaming dan lokasi yang dipilih adalah ditengah
lautan di selat Buton tepatnya di depan Lohia.
Pada saat
perundingan tersebutlah kemudian La Ode Ngkadiri dinyatakan ditangkap Oleh
Belanda dan diasingka ke Ternate selama tiga tahun. Bersamaan dengan
penangkapan itu Belanda kemudian mengangkat La Ode Muh. Idrus sebagai Wali Raja
di Kerajaan Muna dan dilantik diatas kapal itu juga.
Selain terjadi
pergolakan melwan Kolonial Belanda, pada masa pemerintahan La Ode
Ngkadiri juga masuk misionaris Islam gelombang Ketiga yaitu Syarif Muhammad (
1643 ). Syarif Muhammad melanjutkan misi penyebar islam terdahulu yaitu
mengajarkan ajaran islam pada masyarakat Muna.
7.
Raja Muna
XIV La Ode Muh. Idris Gelar Sorano Kaindea. (1668-1671).
La Ode Muh.
Idris adalah raja yang dikirim oleh Belanda dari Kesultanan Buton setelah
berhasil menjatuhkan La Ode Ngkadiri Raja Muna XIV. La Ode Muh. Idrus
dilantik menjadi raja Muna oleh Pemerintah Kolonial Belanda diatas kapal yang
sama dimana Raja Muna XIII La Ode Ngkadiri di gulingkan. Olehnya itu oleh
masyarakat Muna dia digelar dengan Sorano kaindea yang kira-kira diartikan
sebagai orang yang berkoalisi dengan Kolonial.
Walaupun La Ode
Muh. Idris telah dilantik oleh Pemerintah Kolonial Belanda sebagai Raja Muna,
namun masyarakat Muna dan Sarano Wuna tidak mengakuinnya. Olehnya itu,Wa Ode
Wakelu memproklamirkan dirinya sebagai raja Muna menggantikan Suaminya la Ode
Ngkadiri. Sikap Wa Ode Wakelu dalam mengambil alih kekuasaan tersebut mendapat
dukungan dari Sarano Wuna dan segenap Masyarakat Muna.
Kuatnya
dukungan terhadap Wa Ode Wakelu tersebut membuat Pemerintah Konolonil Belanda
dan Kesultanaan Buton tidak dapat membendungnnya sehingga selama tiga tahun
masa pemerintahan La Ode Muh. Idris di Kerajaan Muna terjadi dualisme
kepemimpinan yaitu La Ode Muh. Idris sebagai Utusan kolonial belanda dan
Kesultanan Buton SERTA Wa Ode Wakelu yang mendapat legitimasi dari Sarano
Wuna dan Rakyat Muna. Bahkan pada tahun 1671 Sarano Wuna berhasil mengembalikan
La Ode Ngkadiri sebagai raja Muna.
8.
Raja Wa Ode Wakelu ( Permaisuri raja -La Ode
Ngkadiri ( 1667-1668).
Wa Ode Wakelu
adalah permaisuri Raja muna XII La Ode Ngkadiri. Wa Ode Wakelu dilantik menjadi
Raja Muna oleh Sarano Wuna karena terjadi kekosongan kekuasaan sebagai akibat
dari diasingkannya suaminya yang saat itu sedang menjadi raja Muna La Ode
Ngkadiri. Pelantikan Wa Ode Wa Kelu sebagai raja Muna selain mengisi kekosongan
kekuasaan juga sebagai wujud perlawanan terhadap penguasa kolonial belanda
karena bersamaan dengan di gulingkannya La Ode Ngkadiri diatas sebuah kapal,
turut dilantik pula La Ode Muhammad Idris sebagai Raja Muna menggantikan La Ode
Ngkadiri. yang telah dengan sewenang-wenang menjatuhkan Raja Muna yang sedang
berkuasa.
Perjuangan Wa
Ode Wakelu yang didukung oleh sarano wuna dan segenap masyarakat Kerajaan Muna
berhasil mengembalikan tahta Kerajaan muna pada yang berhak.hal itu
terjadi setelah tiga tahun menjadi raja Muna. Pemerintah kolonial Belanda yang
didukung oleh Kesultanan Buton tidak mampu melawan gelombang perlawanan semesta
rakyat muna dibawah kepemimpinan Wa Ode Wa Kelu, sehingga mereka menerima
keputusan Sarano wuna untuk melantik kembali La ode Ngkadiri Sebagai raja muna.
Penerimaan
Tokoh dan masyarakat Muna terhadap kepemimpinan Wa Ode Wakelu sebagai raja Muna
selain telah berhasil menunjukan sikap perlawanan terhadap penjajaahan belanda,
juga merupakan wujud implementasi kesetaraan gender dalam sistem pemerintahan
tradisional kerajaan Muna.
9.
Raja Muna
XVI – La Ode Husaini gelar Omputo Sangia ( 1716-1767 )
Pada masa
Pemerintahan Raja La Ode Huseni ( omputo sangia ) terjadi reformasi pada
struktur pemerintahan dan struktur masyarakat. Reformasi yang dilakukan oleh La
ode husaini tersebut bertuajuannya agar setiap golongan mempunyai andil dan
fungsi dalam roda pemerinttahan. Selain itu dimaksudkan agar roda
pemerintahan dapat berjalan secara efektif.
Perangkat Pejabat
Kerajan Muna pada masa Raja La Ode Husaini adalah :
Dari golongan Kaomu
berjumlah 20 orang yaitu;
Raja Muna ( Kepla negera
)Þ
Dua orang kapita lau
( Panglima Angkatan Laut )Þ
Bobata 8 orang (Þ
Barata
4 orang ( Kepala Daerah Otonom )Þ
Kino Agama 1 orang (
Kepala Urusan Agama/ menteri Agama )Þ
Imamu 1 orang ( Imam
)Þ
Hatibi 2 orang. (
Khatib )\Þ
Sedangkan Pejabat Kerajaan
dari golongan Walaka berjumlah 10 orang yaitu;
Banto balano 1 orang
( Perdana Menteri )Þ
Mintarano bhitara 1
orang ( Mahkama Agung )Þ
Koghoerano 4 orang (
Kepala Pemerintahan Wilayah setingkat kecamatan )Þ
Mowano Lindo empat
Orang ( Kepala Pemerintahan Kampung )Þ
Perangkat Pejabat
dalam Kerajaan khusunya golongan Lindo dan Fitu Bangkauno berjumlah 7
orang. Perangkat kerja Raja Muna khususnya Wawono Liwu berjumlah 3
orang. Mitra kerja raja muna yang mengatur dan di atur disebut manusia awal.
Di masa
pemerintahan Raja Muna La ode Huseni, dalam tatanan adat istiadat masyarakat
Muna yang menyangkut soal akad nikah di tetapkan mahar menurut golongan
masing-masing sebagai berikut;
Þ Untuk
maharnya goloangan Kaomu 20 boka.
Þ Mahar
golongan Walaka 10 boka 10 suku.
Þ Maharnya
Lindo dan Fitu Bengkauno 7 boka 2 suku;
Þ Maharnya
Wawono Liwu 3 boka 2 suku
Inilah hubungan
antara golongan yang sukar dipisakan dan dihilangkan karena mempunyai hikmah
yang mengadung makna menjurus pada poadha-adhati, poangka-angkatao, popia-piara
dan pomoolo-moologho, yang menjadi landasan idiologi SOWITE.
Karena jasanya
dalam menyempurnakan struktur Kerajaan, masyarakat dan adat tersebut,
dikalangan masyarakat Muna La Ode Husaini di kenal sebagai “ Nembali
Kolakino Wuna Nofotoka Bhesarano. Poentauno Alamu Popano, Malaikati Popano,Bhe
Badhano Manusia, Bhewite”. Yang artinya kira-kita La Ode Huseni
dinobatkan menjadi Raja Muna lengkap dengan skturtur pemerintahan serta
perangkat-perangkat jabatan yang semua bernuansa religius atau ke agamaan.
Yakni agama Islam.
Pada tahun 1910
pemerintah Kolonial Belanda berhasil menguasai Kerajaan Muna. Akibatnya tatanan
kehidupan social ekonomi kemasyarakatan Muna mengalami kesenjangan. Namun
demikian Semangat “ Koemo Bhada Sumamo Liwu, Koemo Liwu
Sumamo Sara, Koemo Sara Semanumo Adhati, Koemo Adhati Sumanomo Agama” terus
berkobar dalam jiwa setiap masyarakat Muna. Hal ini dapat dilihat
dari terus dikobarkannya semangat perlawanan oleh seluruh
masyarakat sampai Indonesia merdeka.
Bukti lain
dari besarnya api semangat yang dimiliki masyarakat Muna adalah dimana
hingga saat ini tatanan adat istiadat menurut golongan masing-masing masih
tetap terpelihara di Masyarakat Muna walaupun sebahagian masyarakatnya tergolong
modern dan berpendidikan tinggi. Bahkan walaupun mereka menjadi pejabat tinggi
di pemerintahan tetapi semangat memelihara tatanan adat istiadat dalam jiwa
mereka tidak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan.
10.
Raja
Muna XX – La Ode Umara I gelar Omputo ne Gege ( 1767 – 1780 )
La Ode Umara I
, Raja Muna XX adalah raja yang dihukum gantung oleh sarano Wuna karena telah
melakukan sebuah kesalahan yang besar. Keputusan untuk menjatuhkan hukuman
gantung tersebut merupakan vonis peradilan yang dinamakan mintarano
bhitara ( yang memangku kekuasaan peradilan- MA? ).
Tidak
diceritakan apa yang menjadi kesalahan Raja sehingga mendapatkan vonis
tersebut. Hal ini berkaitan dengan adab masyarakat Muna yang tabuh untuk
menceritakan aib saudaranya apa lagi itu seorang raja. Sidang majelis yang
menyidangkan Raja La Ode Umara berlangsung tertutup dan semua orang yang
terlibat dalam persidangan tersebut disumpah untuk tidak menyebarkan apa yang
dilihat dan didengar dalam persidangan. Diperkirakan kesalahan yang dilakukan
raja La Ode Umara yang menyebabkan dia mendapat hukuman gantung tersebut adalah
menyangkut kesusilaan.
11. Raja Muna XXIII - La Ode Sumaili Gelar Omputo ne
Sombo ( 1800 – 1816 )
Pada masa
pemerintahan La Ode Sumaili terjadi pemberotakan yang dilakukan oleh Wa Ode
Kadingke Cucu dari Sangia La Tugho. Pemberotakan itu dipicu oleh perlawanan
terhadap sistem adat dalam hal kawin-mawin.
Wa Ode Kadingke
menolak denda adat yang begitu besar yang dibebankan pada suaminya Daeng Marewa
dari Suku Bugis. Menurut adat saat itu, apabila ada perempuan keturunan yang
berdara Kaomu ( Keturunan Raja ) akan menikah dengan orang yang bukan suku Wuna
maka laki-laki tersebut akan dikenakan denda adat berupa membayar mahar sebesar
400 Boka.
Menurut
pandangan Wa Ode Kadingke yang berkeyakinan keislamannya cukup tinggi denda
tersebut bertentangan dengan hukum islam sebab menurut hukum islam mengenai
besaran mahar itu ditentukan oleh wanita yang akan menikah dan tidak membebani
pihak laki-laki.
Pemberontakan
itu semakin meluas, karena Waode Kadingke sangat mahir dalam strategi
perang. La Ode Sumaili tidak mampu meredam pemberontakan tersebut,bahkan
akibat pemberontakan itu Wa Ode Kadingke bersama suaminya Daeng Marewa
mendirikan Kesultanan Tiworo di bagian barat Pulau Muna.
Ketidak
mampuan La Ode Sumaili menumpas pemberotakan tersebut oleh sarano wuna
dianggap sebagai suatu kesalahan besar yang dilakukan oleh Raja La Ode Sumaili,
olehnya itu La Ode Sumaili harus mendapat hukuman yang setimpal. Dalam sebuah
Rapat dewan sara diputuskan La Ode Sumaili untuk dihukum rajam samapi mati.
Itulah sebabnya La Ode Sumaili digelar Omputo nesombo artinya
Raja yang dihukum gantung.
12. Raja Muna XXIV - LA Ode Saete gelar Sorano
Masigi ( 1816-1830 )
La Ode Saete
adalah Putera dari Wa Ode Kadingke dengan Daeng Marewa panglima perang
yang memimpin pemberontakan pada masa pemerintahan La Ode Sumaili. Setelah
Waode Kadingke berhasil mengalahkan La Ode Sumaili, maka Sarano Wuna
mengangkat La Ode Sumaili Puteranya sebagai Raja Muna XXIV menggantikan La
Ode Sumaili yang telah dikalahkannya.
Pada waktu yang
bersamaan, Kolonial belanda menunjuk la Ode Wita dari Kesultanan Buton Sebagai
Raja Muna sehingga pada waktu itu terjadi dualisme kekuasaan di Muna.
Alasan Penunjukan La Ode Wita sebagai Raja Muna oleh Koalisi Buton –
Belanda tersebut karena Wa Ode Kadingke dianggap telah melanggar kesepakatan
yang telah dibuat antara pihak Wa Ode Kadinge dengan Koalisi Buton –
Belanda pada saat Wa Ode Kadingke meminta bantuan Belanda dan Buton
untuk melawan Raja La Ode Sumaili.
Namun
Sarano Wuna berpendapat lain, menurut Sarano Wuna kesepakatan yang telah dibuat
oleh para pihak tersebut tidak dapat dikatakan sebagai kesepakatan antara
Pemerintahan karena selain waktu itu Wa Ode Kadingke bukan seorang raja juga
kesepakatan tersebut tidak mendapat persetujuan Sarano Wuna. Untuk itu Sarano
Wuna berkesimpulan sendiri yaitu dapat saja mengesampingkan kesepakatan itu dan
berhak mengangkat Raja berdaarkan hasil permusyawaratan Sarano Wuna.
Kendati Sarano
Wuna tidak mengakui penunjukan La Ode Wita sebagai Raja Muna, Namun Kesultanan
Buton tetap memaksakan keinginannya itu. Dibawah pengawalan tentara Kolonial
Belanda dan Kesultanan Buton, La Ode Wita diantar ke Wuna untuk menjalankan
kekuasaannya sebagai Wali Raja.
Intervensi.
Kesultanan Buton tersebut tentu saja mendapat penolakan dari Rakyat Kerajaan
Muna dan Sarano Wuna Akibatnya terjadi beberapa kali perang bersenjata antara
kedua Kerajaan.Selama masa pemerintahan LA Ode Saete tercatat lebih dari lima
kali terjadi perang terbuka antara Kerajaan Muna dengan Kolaisi Buton-Belanda.
Karenanya sejak
awal pemerintahan La Ode Saete, Belanda dan sekutunya Buton memerangi
Kerajaan Muna sebagai akibat dari penolakan Sarano Wuna dan Rakyat Muna
terhadap pengangkatan La Ode Wita sebagai Raja Muna yang di tunjuk oleh Belada,
maka selama masa pemerintahannya tidak ada perubahan sigifikan yang
dilakukannya.
Menghadapi dua
kekuatan besar tersebut, La Ode Saete tidak gentar. Dia terus menggalang
kekuatan serta menyusun strategi dalam menghadapi perang tersebut dengan
menyeruhkan perang semesta.
Strategi yang
pertama dipilih oleh La Ode Saete untuk menghadapi perang tersebut adalah
meindahkan pusat pemerintahan dekat dengan masjid Muna di Kota Lama Muna.
Setelah itu Raja La Ode Saete juga menyususn strategi perang dalam
melakukan konfrontasi dengan pasukan Koalisi Buton – Belanda. Strategi yang
dilakukan oleh La Ode Saete tersebut ternyata sangat jitu, sehingga Belanda
tidak dapat menguasai Kerajaan Muna.
Karena La
Ode Saete memindahkan Pusat Pemerintahan Kerajaan Muna dekat dengan Masjid,
maka setelah mangkat La Ode Saete dianugrahi gelar ‘ Omputo Sorano
Masigi’ oleh Sarano Wuna yang artinya raja yang mendekati masjid.
Dalam perang
antara kerajaan Muna yang dipimpin oleh Raja La Ode Saete dengan pasukan
Koalisi Buton – Belanda, beberapa kali Pasukan Koalisi dapat dihancurkan oleh
pasukan kerajaan Muna.
Tak mampu
menundukan Kerajaan Muna, akhirnya La Ode Wita Raja yang dilantik oleh Belanda
akhirnya ditarik kembali Ke Kesultanan Buton. Sampai akhir masa
pemerintahan La Ode Saete( 1830 ) perang antara Kerajaan Muna dengan pasukan
koalisi Buton-Belanda terus berlanjut. La Ode Saete mengakhiri masa
pemerintahan karena mangkat.
13. Raja Muna XXV - La Ode Bulae gelar Sangia Laghada
(1830-1864 )
La Ode Bulae
adalah Putera Raja Muna XXV La Ode Saete. Pada saat diangkat menjadi Raja Muna,
La Ode Bulae baru berusia 12 tahun. Pengangkatan la ode Bulae sebagai Raja Muna
berkenaan dengan mangkatnya ayahanda beliau La Ode Saete. Karena pada saat mangkat
Raja Muna XXV La Ode saete hanya memiliki satu anak laki-laki yang baru berusia
12 tahun yaitu laode bulae, maka Saraano Wuna bersepakat mengangkatnya sebagai
Raja Muna XXVI penggantikan ayahandanya.
Pengangkatan La
Ode Bulae yang baru berusia 12 tahu tesrebut menjadi dilema karena pada
saat penobatannya sebagai Raja La Ode Bulae masih terlalu muda dan
dianggap belum cakap mengendalikan pemerintahan. Namun pada saat yang
bersamaan Kerajaan Muna membutuhkan seorang Pemimpin karena pada saat itu Muna
sedang berkonfrontasi dengan Belanda serta sekutunya Buton. Sedangkan untuk
melakukan prosedur pengangkatan raja seperti yang telah diatur yaitu melalui
pemilihan yang dilakukan oleh sarano sangat tidak mungkin karena pasukan
koalisi Buton –Benlanda terus mengganggu.
Dalam situasi
yang pelik tersebutlah, maka SaranoWuna mengambil keputusan cepat dengan
mengangkat La Ode Bulae Putera Raja La Ode Saete sebagai Raja Muna XXV.
Namu karena Raja La Ode Bulae masih sangat belia dan diangap belm cakap
menjalankan pemerintahan, maka Sarano Wuna nmenunjuk La Aka ( Bonto balano )
untuk menjalankan pemerintahan, sedangkan La Ode Bulae tetap sebagai kepala
negara.
Lain dengan
Belanda, moment mangkanya Raja La Ode Saete dan raja penggantinya yang masih
sangat muda dimafaatkan untuk menguasai pemerintahan kerajaan Muna dengan
memaklamatkan secara sepihak bahwa segala urusan pemerintahan Kerajaan Muna
berada dalam kendali Pemerintahan Kolonial Belanda.
Raja La Ode
Bulae yang masih begitu muda tidak mampu melawan maklumat tersebut, sehingga
untuk beberapa saat segala urusan administrasi pemerintahan dijalankan oleh
Wali Raja dari Kesultanan Buton yang ditunjuk oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Setelah Dewasa,
La Ode Bulae mejalankan pemerintahan melajutkan kebijakan Ayahandanya.
La Ode Saete menyeruhkan untuk melakukan konfrontasi dengan Kolonial Belanda
dan Sekutunya Buton. La Ode Bulae menyeruhkan perang semesta terhadap Kolonial
Belanda dan Buton sehingga terjadi berang besar antara Kerajaan Muna dengan
Belanda dan sekutunya Buton.
Dalam sebuah
perang, Belanda dan sekutunya Buton berhasil menangkap La ode Bulae dan
membawahnya kepersidangan pengadilan di Makassar. Dalam periudangan pengadilan
tersebut, La Ode bulae dinyatakan bersalah dan dibuang di Pulau Nusa Kambangan,
kemudian diasingkan ke Bengkulu.
14. Raja Muna XXX - La Ode Ngkaili ( 1870-1907)
La Ode Ngkalili
adalah raja Muna Pada masa Pemerintahan La Ode Ngkaili Pusat pemerintahan
Kerajaan Muna di pindahkan dari Kota Muna ke Raha oleh penguasa Kolonial
Belanda. Pemindahan pusat pemerintahan tersebut dibawah tekanan
militer Kolonial Belanda setelah pasukan Kerajaan Muna mengalami kekalahan
dalam sebuah pertempuran melawan pasukan koalisi Belanda- Buton. Bersamaan
dengan pemindahan ibu kota kerajaan, pemerintah Kolonial Belanda mengutus
seorang raja dari Kesultanan Buton yaitu la Ode Maktubu untuk
menggulingkan Raja La Ode Ngkaili yang sedang berkuasa dan diangkat oleh
Sarano Wuna.
15. Raja Muna XXXI - La Ode Ahmad Maktubu/ periode
pertama (1907 –- 1914)
Setelah pasukan
koalisi Belanda –Buton memenangkan pertempuran pada tahun 1906 dan berhasil
menggulingkan Raja Muna XXX La Ode Ngkaili, penguasa Kolonial Belanda di
Makassar mengutus seorang dari Kesultanan Buton yakni La Ode Maktubu untuk
menjadi Raja di Kerajaan Wuna sebagai Raja Muna XXXI. La Ode Maktubu adalah
Putera Sultan Buton La Ode Salihi buah perkawinannya dengan putri raja
Muna La Ode Bulae yang bernama Wa Ode Ogo.
Walaupun La Ode
Ahmad Maktubu masih memiliki hubungan darah dengan Raja-Raja Muna, namun
intervensi Pemerintahan Belanda dan Pengkoptasian Kesultanan Buton terhadap
Kerajaan Muna tidak diterima oleh segenap masyarakat Kerajaan Muna sehingga
terjadi penolakan terhadap pengangkatan La OdeAhmad Maktubu tersebut.
Para Petinggi
kerajaan Muna yang didukung oleh seluruh masyarakat Muna melakukan perlawanan
dan menyeruhkan perang terbuka terhadap intervensi pemerintahan Kolonial
tersebut. Salah satu dari wujud perlawanan itu adalah Sarano Wuna segera
menggelar rapat dan bersepakat untuk mengakat La Ode Umara sebagai Raja
Muna XXXI menggantikan Raja La Ode Ngkaili yang telah digulingkan oleh koalisi
Belanda- Buton, serta tidak mengakui La Ode Maktubu Sebagai Raja Muna.
Besarnya
dukungan rakyat terhadap keputusan Sarano Wuna yang tidak mengakui La Ode
Ahmad Maktubu sebagai raja Muna, memaksa La Ode Ahmad
Maktubu meninggalkan Muna dan kembali ke Buton.
Sekembalinya di Buton, Laode Ahmad Maktubu mengadukan perinstiwa tersebut pada
sekutunya Belanda.
Pengaduan
Kesultanan Buton atas sikap Pemerintahan Kerajaan Muna mengusir utusan
Kesultanan Buton, ditanggapi serius oleh pemerintah Kolonial Belanda sehingga
dikirim pasukan militer untuk memerangi kerajaan Muna.
Pada sebuah
pertempuran di sekitar Lohia ( Selat Buton ) tahun 1907, pasukan sekutu
Belanda – Buton berhasil mengalahkan prajurit kerajaan Muna dan
menggulingkan pemerintahan La Ode Umara yang diangkat oleh sarano Wuna. Setelah
berhasil menggulingkan Pemerintahan La Ode Umara, Belanda kembali
menobatkan La Ode Ahmad Maktubu sebagai raja Muna sampai tahun 1914.
16. Raja Muna XXXIV – La Ode Pulu (1914-1918)
Pada masa
pemerintahan La Ode Pulu, intervensi politik Kolonial Belanda di Kerajaan Muna
semakin kuat. Di akhir masa pemerintahan La Ode Pulu ( 1918 ) Pemerintah
Kolonial Belanda dan Kesultanan Buton secara sepihak melakukan perjanjian yang
dikenal dengan Korte Verklaring pada 2
Agustus 1918. Belanda dalam perjanjian itu diwakili oleh Residen Bougman
sedangkan Kesultanan Buton di Wakili oleh Sultan Buton La Ode Muhammad
Asyikin. Isi perjanjian tersebut adalah Belanda hanya mengakui ada
dua pemerintahan setingkat swapraja di Sulawesi tenggara yaitu Swapraja
Laiwoi dan Swapraja Buton. Dengan demikian menurut perjanjian
tersebut secara otomatis Muna menjadi bagian dari Kesultanan Buton/
Underafdeling.
Sebagai Raja
yang berdaulat dan diangkat oleh Sarano Wuna, La Ode Pulu tidak mengakui
perjanjian Korte Varklering tersebut sehingga beliau memimpin rakyat Muna untuk
melakukan perlawanan terhadap Belanda dan Buton.
Karena kalah
dalam persenjataan dan jumlah personil pasukan maka La Ode Pulu dan pasukannya
dapat dikalahkan oleh Pasukan Koalisi Belanda-Buton. akhirnya La Ode Pulu dapat
ditangkap dan di asingkan di Nusa Kambangan. Selama dua Tahun pasca
pemerinyahan La Ode Pulu, Kerjaan Muna berada dalam Kekuasaan Kolonial Belanda
sampai dewan Adat ( Sarano Wuna mengadakan rapat dan mengangkat La Ode
Afiuddin sebagai Raja.
17. Raja Muna XXXVI – La Ode Dika gelar Omputo
Komasigino ( 1930- 1938 )
Pada tahun
1930, Sarano Wuna kembali mengadakan Rapat untuk mengangkat Raja Muna. Pada
rapat yang digelar selama 7 hari tersebut, Sarano Wuna menyepakati untuk
mengangkat seorang pejabat kampung yaitu Kino Labasa yang bernana La Ode Dika
sebagai Raja Muna menggantikan La Ode Rere yang digulingkan oleh Kolonial
Belanda.
Pada masa
pemerintahan La Ode dika dilakukan pemugaran masjid agung di Kota Muna menjadi
semi permanen. Sebagian dari material pembuatan masjid tersebut
dibantu oleh kontrolir Belanda , Jules Couvreur yang
bertugas di Muna saat itu.
Karena selama
menjadi Raja Muna ( 8 Tahun ) La Ode Dika sangat fokus terhadap pembangunan
masjid, maka beliau digear Komasigino artinya yang
memiliki masjid.Selama bertugas di Muna Juleus Couvreur juga giat
menelusuri sejarah dan mempelajari adat istiadat masyarakat Muna.
Penelusurannya terhadap sejarah dan adat istiadat tersebut dituangkan dalam
sebuah buku “Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna “
yang diterbitkan Artha Wacana Press, Kupang, Nusa Tenggara Timur, tahun 2001.
Sebagai
mana raja muna yang lain, La Ode Dika juga tidak mau tunduk dengan Kolonial
Belanda dan sekutunya Buton. La Ode Dika juga tidak mengakui isi perjanjian
Korte Verklaring sebab perjanjian itu dianggap ilegal.
Sikap perlawanan La Ode Dika tersebut di tunjukan saat berkunjung di istana
kesultanan Buton. Di hadapan Sultan Buton, La Ode Dika tidak mau memberi hormat
pada Sultan, tapi malah justeru mengancungkan telunjuk seakan memberi ancaman
pada Sultan Buton.
Apa yang
yang dilakukan La Ode Dika tersebut oleh Sultan Buton dilaporkan pada Penguasa
Kolonial Belanda di Makassar. Akibatnya La Ode Dika dipecat dari jabatannya
sebagai Raja Muna.
Menurut La Ode
Ali Hanafi salah seorang Putera La Ode Dika dalam Buku bigrafi “La
Ode Dika Omputo Komasigino” yang ditulisnya mengatakan bahwa penobatan
La Ode Dika sebagai raja Muna tidak melewati proses sebagai mana lazimnya
penentuan kandidat raja . La Ode Dika sebagai mana tertuang dalam Biografi
tersebut adalah satu-satunya raja yang dinobatkan menjadi Raja Muna yang tidak
terlebih dahulu menjabat Kino Ghoera tetapi hanya menjabat sebagai kepala
Kampung. Jabatan terakhir La Ode Dika sebelum menjadi Raja Muna adalah Kepala
Kampung Labasa.
18. Raja Muna XXXVII – La Ode Pandu ( 1947-1956)
Setelah terjadi
kekosongan kekuasaan di kerajaan Muna selama Sembilan tahun ( 1938– 1947
), pemerintah Belanda di Makassar mengangkat La Ode Pandu sebagai pejabat
Raja Muna pada tahun 1947 dan dilantik pada tahun itu juga di depan Masjid Muna
di Kota lama Muna. Pelantikan Laode Pandu dihadiri oleh utusan pemerintah
belanda. La Ode Pandu mengahiri masa pemerintahannya setelah meninggal akibat
ditembak gerombolan DI/TII di Posunsuno Kecamatan Parigi saat melakukan
kunjungan di Wasolangka.
Peristiwa
penembakan tersebut terjadi saat Raja La Ode Pandu akan melakukan kunjungan ke
Wasolangka. Kunjungan itu berkaitan terjadinya paceklik di wilayah tersebut
akibat gagal panen. Dalam perjalanan menuju Wasolangka tersebutlah kendaraan
yang ditumpangi Raja Muna La Ode Pandu dihadang para pemberontak DII/TII. Ikut
menjadi korban dalam peristiwa itu adalaah sopir beliau dan pengawalnya.
Sepeninggal La
Ode Pandu tidak ada lagi proses pengangkatan Raja. Demikian pula dengan dewan
sara bubar dengan sendiri. Olehnya itu Kerajaan Muna juga ikut bubar.
Para pejuang
Muna memfokuskan diri dalam perjuangan pembentukan Propinsi Sulawesi Tenggara
dan Kabupaten Muna.Gerakaan perjuagan ini berkaitan dengan kooptasi Kesultanan
Buton terhadap Kerajaan Muna, sehingga begitu ada wacana pemisahan Kabupaten
Sulawesi Tenggara dari Propinsi Sulawesi Selatan tenggara dan akan membentuk
propinsi sendiri, Muna tidak masuk dalam salah satu Kabupaten yang akan menjadi
Propinsi Sulawesi tenggara.
Melihat fakta
tersebut Tokoh-tokoh Muna, baik yang ada di Muna ataupun d Makassar, yang tua
ataupun yang muda bersatu secara sinergis memperjuangkan pembentukan Propinsi
Sulawesi tenggara sekaligus pembentukan kabupaten Muna.
BAB IV
SEJARAH
PEMBENTUKAN
KABUPATEN
MUNA
Perjuangan Pembentukan Kabupaten Muna seiring dengan
perjuangan pembentukan propinsi Sulawesi tengara. Dalam perjuangan ini
dilakukan secara sinergis antara tokoh muda dan tokoh tua baik yang ada di muna
ataupun yang ada diperantauan, baik perorangan maupun organisasi.
Tokoh Muda seperti Idrus Efendi, Halim Tobulu, La Ode
Enda dan La Ode Taeda Ahmad dikenal sangat gigih memperjuangkan
pembentukan Kabupaten Muna. dan Propinsi Sulawesi Tenggara.
Dengan oraganisasi para militer yang dibentuknya
seperti Batalyon SADAR ( Sarekat Djasa Rahasia) dan Barisan 20 mereka
terus menggalang dukungan guna perwujudan pembentukan kabupaten Muna dan
Propinsi Sulawesi Tenggara.
Bataliyon SADAR dan Barisan 20 pada awalnya dibentuk untuk
melakukan perlawanan terhadap pasukan sekutu ( NICA ) yang diboncengi Belanda
yang mencoba kembali untuk melakukan penjajaahan terhadap Indonesia yang telah
memproklamirkan kemerdekaannya pada Tanggal 17 Agustus 1945. Dengan Jiwa
patriotism yang tinggi Tokoh-Tokoh Muna tersebut melakukan perlawanan melalui
gerakan bawah tanah dan perang terbuka. Tujuannya adalah mengusir
colonial tersebut dari bumi Indonesia dalam hal ini termasuk di Muna.
A.
Fase
I (Pertama), Pemerintahan Swapraja
Pemerintahan Muna pada fase ini berstatus Swapraja dengan
raja yang terakhir Laode Pandu yang dilantik oleh pemangku adat menjadi Raja
Muna tanggal 24 Februari 1947 di Kota Wuna. Pada fase ini tidak dapat
dilepaskan dengan perjuangan mempertahankan proklamasi kemerdekaan Republik
Indonesia. Para pejuang Muna dengan dipelopori tokoh-tokoh Muna
melakukannya dengan cara-cara yang lebih cerdik. Para tokoh dan
rakyat pejuang daerah Muna baik perorangan maupun organisasi perjuangan antara
lain Batalyon Sadar (Serikat Djasa Rahasia), Barisan 20 dan lain-lain. Mereka
dipimpin oleh para tokoh dianataranya, Laode Muh Idrus Efendy dengan nama
samaran Sitti Goladria, Laode Enda Anwar dengan nama samaran Soneangka, Laode
Taeda Ahmad dan Halim Toboeloe. S
B.
Fase
II (Kedua), Pemerintahan Kewedanan
Pada fase ini ditandai dengan dibubarkan Daerah Afdeling
Buton dan Laiwoi berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Tenggara
Nomor 18 Tahun 1951 tanggal 20 Oktober 1951. Ini didasrakan Peraturan
Pemerintah (Permen) Nomor 34 Tahun 1952 tentang pembentukan 7 (tujuh) Daerah
Administratif Sulawesi Tenggara, pemerintahan Muna beralih status menjadi
Kewedanan bersama-sama dengan Kewedanan Buton, Kendari, dan Kolaka.
Masing-masing Kewedanan dipimpin oleh seorang KPN (Kepala Pemerintahan Negeri).
Dan dalam sejarahnya Kewedanan Muna dipimpin, oleh :
1. Abdul Razak,
2.
Ngitung,
3. Andi Pawilloi,
4. H Lethe,
5. H Suphu Yusuf,
6. Andi Jamuddin, dan,
7. F Latana.
C.
Fase III (Ketiga), Perjuangan Pembentukan Kabupaten Muna
Bupati Sulawesi Tenggara yang kelima adalah Drs Laode
Manarfa, tanggal 26 Juni S/D 31 Juli 1954 mengadakan sidang DPRD-SGR Sulawesi
Tenggara di Raha, dengan menghasilkan ketetapan-ketetapan antara lain,
Kabupaten Sulawesi Tenggara meliputi Kewedanan Kendari, Kolaka, dan Boea
Pinang. Hasil keputusan tersebut harus mendapat persetujuan Pemerintah Pusat,
sehingga untuk kepentingan perjuangan tersebut, anggota DPRD-SGR Sulawesi
Tenggara berangkat ke Jakarta. Delegasi Muna diwakili oleh Laode Ado dan Supphu
Yusuf.
Hasil perjuangan tersebut disetujui oleh Menteri Dalam
Negeri tanggal 3 Januari 1955. Berdasarkan ketetapan Menteri Dalam Negeri
tentang pembentukan dan pemekaran kabupaten Sulawesi Tenggara menjadi dua
Kewedanan, maka terjadilah polemik dan protes dari para tokoh masyarakat dan
pemuda baik di Muna maupun di Makassar. Karena tujuan akhir terbentuknya
Kewedanan Muna belum terwujud. Protes dan unjuk rasa dilakukan oleh para pemuda
Muna baik yang ada di Muna maupun yang ada di Makassar. Unjuk rasa tesebut
selalu ditujukan kepada Laode Ado sebagai delegasi Muna yang menghadap kepada
Menteri Dalam Negeri.
Berdasarkan kenyataan tersebut, Raja Muna, Laode Pandu
mengadakan rapat pada hari Senin, tanggal 12 September 1955 di Raha yang
dihadiri tiga Kepala Distrik, yaitu Kepala Distrik Katobu, Kepala Distrik
Kabawo, Kepala Distrik Tongkuno, dan Kepala Distrik Lawa tidak hadir. Selain
itu turut pula hadir para Kepala Kampung, Ketua-ketua Partai/Organisasi, Pemuka
Masyarakat, dan Pihak Kepolisian. Agenda rapat yakni mendengarkan delegasi
DPRD-SGR SULTRA pada bulan Januari 1955, membicarakan tentang status
daerah-daerah otonom dan status swapraja. Dan keputusannya antara lain, Muna
diperjuangkan untuk menjadi daerah Swatantra dengan otonomi penuh. Untuk
mencapai tujuan tersebut, maka hasil rapat memutuskan memberikan mandat kepada
Laode Rasjid dan Laode Ado untuk melaksanakan tugas menyusun program dan menetapkan
langkah perjuangan untuk terbentuknya daerah Swatantra Muna, dan membentuk
daerah persiapan pembentukan Kabupaten Muna.
Pemberi mandat untuk melaksanakan tugas-tugas dimaksud
ditanda tangani oleh sebanyak 102 orang. Selanjutnya, pada tanggal 5 Agustus 1956,
para tokoh masyarakat Muna di Makassar yang tergabung dalam PRIM (Persatuan
Rakyat Indonesia Muna), membentuk panitia pembentukan kabupaten Muna yang
ditanda tangani oleh Laode Walanda sebagai Ketua dan Laode Hatali sebagai
sekretaris yang ditujukan kepada MENDAGRI di Jakarta dan Gubernur Sulawesi
Selatan di Makassar dan 13 alamat lainnya
Tanggal 2 September 1956 dibentuk Panitia Dewan Penuntut
Kabupaten Muna di Raha dengan Ketua dan Sektretarisnya masing-masing Laode Hibi
dan Laode Tuga dan disetujui oleh Raja Muna. Gelombang penuntutan
pembentukan daerah setingkat Kabupaten juga muncul dari generasi muda
Muna yang ada di Makassar. Pada tanggal 8 Februari 1958 terbentuk
panitiaa penuntutan percepatan pembentukan Kabupaten Muna Muna dengan Ketua La
Ode Walanda dan sekretaris Ando Arifin. Panitia ini kemudian mengutus
delegasinya untuk mengahadap MENDAGRI di Jakarta. Delegasi ini dipimpin oleh La
Ode Muh. Idrus Efendi.
Tanggal 20 Maret 1958 Pemerintah Swapraja Buton mengeluarkan
Surat Pernyataan yang ditanda tangani Sultan Buton Laode Falihi, yang intinya
menyetujui terbentuknya Kabupaten Muna. Mengenai batas-batas akan ditetapkan
pada perundingan-perundingan yang akan datang.
Sebagai realisasi pernyataan Sultan Buton tersebut maka
diadakan rapat bertempat di Pendopo Sri Sultan Buton, yang hadir pada rapat
tersebut ialah, Drs Laode Manarfa, Kepala Daerah Sulawesi Tenggara, Laode
Falihi, Sultan Buton, Laode Pandu, Raja Muna, Laode A Salam dan Laode Hude
masing-masing Kepala Distrik yang diperbantukan pada Kantor Swapraja Buton,
sebagai yang mewakili Buton. Hadir juga Laode Muh Shalihin, Kepala Distrik
Katobu dan Laode Rianse sebagai Distrik Lawa, mewakili Muna.
Wujud dari pertemuan diatas yang disertai
pernyataan-pernyatan Panitia dari tiap tingkat pejabat pemerintah, maka pada
tanggal 6 Desember 1958 diutuslah empat orang Delegasi Muna untuk menghadap
pemerintah pusat yakni Laode Muh Idrus Efendi, La Sipala, Laode Muh Badia Rere
dan Laode Ado. Adapun penyandang dana keberangkatan Delegasi adalah Ham Ahing,
Darwis Tungguno dan Wahid Kuntarati
Hasil perjuangan tersebut oleh Mendagri menetapkan, Pulau
Sulawesi dibagi 4 (empat) propinsi yaitu Sulawesi utara, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Pemerintah Pusat mengajukan para
delegasi agar dipenuhi syarat-syarat berdirinya propinsi Sulawesi Selatan
Tenggara, antara lain Sulawesi Selatan dibagi 4 (empat) Kabupaten, yaitu KPN
Kolaka, KPN Kendari, KPN Buton, dan KPN Muna.
Pada tanggal 20 hingga 22 Juli 1959 diadakan rapat raksasa
yang dihadiri utusan Buton, Muna, Kendari, Kolaka masing-masing 15 orang, lima
orang dari staf Kepala Daerah, empat KPN, dan empat Swapraja. Musyawarah itu
dipimpin langsung Laode Manarfa dan dihadiri pula oleh unsur TNI, Abdul Kahar
(Kuasa Perang), H Abdul Halik (Buton), Abdul Rahim Daeng Muntu (Muna), H L
Lethe (Kendari), Abdul Wahab (Kolaka).
D.
Fase IV (Empat), Terbentuknya Kabupaten Muna
Setelah melalui perjuangan yang panjang oleh para tokoh
pejuang Muna, dan dilakukan tanpa pamrih dalam menghadapi berbagai tantangan,
maka berdasarkan berbagai pertimbangan yang logis dan pertimbangan strategis,
oleh pemerintah pusat menindaklanjuti yang ditandai dengan lahirnya
Undang-undang Nomor 29 tahun 1959 tentang pembentukan daerah-daerah tingkat II
di Sulawesi, termasuk didalamnya Kabupaten Muna dengan ibukotanya Raha.
Pada awal pengusulan Kabupaten Muna terdiri dari empat
Ghoerah (distrik, red) yaitu distrik Katobu, Distrik Lawa, Distrik Kabawo, dan
Distrik Tongkuno. Dari empat distrik itu belum memenuhi kriteria untuk membentuk
suatu kabupaten, maka diadakan pendekatan dengan beberapa tokoh pada saat itu
yaitu tokoh Masyarakat Kulisusu, tokoh Masyarakat Wakorumba, dan tokoh
Masyarakat Tiworo Kepulauan, yang pada saat itu ketiga distrik tersebut adalah
distrik Kulisusu diwakili oleh Laode Ganiru dan Laode Ago, Distrik Wakorumba
diwakili oleh Laode Hami dan Laode Haju, Distrik Tiworo diwakili oleh La
Baranti.
Berdasarkan kesepakatan yang utuh dan bulat dari tokoh –
tokoh tersebut untuk bergabung dalam pemerintahan Kabupaten Muna, maka doktrin
untuk terbentuknya Kabupaten Muna sudah tidak ada masalah lagi.
Dengan terbentuknya Kabupaten Muna, secara administratif dan
yuridis pada tanggal 2 Maret 1960, maka para Bupati yang menjabat sebagai
Bupati Muna, adalah,:
1. LAODE ABDUL
KUDUS 02 Maret 1960 S/D 03 –
Maret 1961,
2. LETTU INF. M THOLIB 21 Juni 1961
S/D 13 Juli 1965,
3. LAODE RASYID 11 November
1965 S/D 03 Desember 1970,
4. RS LA UTE 13 Desember
1970 S/D 22 April 1974,
5. DRS LAODE KAIMOEDDIN 22 April
1974 S/D 10 Maret 1981,
6. DRS LAODE SAAFI AMANE 10 Maret 1981 S/D
10 Maret 1986
7. DRS MAOLA DAUD 1986
S/D 1997,
8. KOL ART H M SALEH LASATA 3
Oktober 1997 S/D 1999
9. KOL INF H M DJAMALUDDIN BEDDU
1998 S/D 2000
10.
RIDWAN BAE DAN Drs SYARIF ARIFIN S (Bupati dan wakil bupati) periode 2000-2005,
11. RIDWAN BAE DAN Drs H LA
BUNGA BAKA PERIODE TAHUN 2005 – 2010
12. Dr. LM. BAHARUDDIN,
M.KES DAN DRS. MALIK DITU, M.Si 2010 2015
Jabatan Ketua DPRD Kabupaten
Muna adalah,
1. PELTU BABASA, 6. Hj WA ODE
ZAENAB HIBI.
2. KAPTEN MAHMUD A, 7. H. UKING DJASA, SH
3. KOL CHB M YASIN USMAN,
4. KOL. CHK M A RACHMAN
SH,
5. Drs LAODE MARADALA,
Di samping para pejabat Bupati
Definitif sebagaimana tersebut diatas, maka untuk mengisi kekosongan dalam
proses pemilihan Bupati, maka Gubernur Sulawesi Tenggara menunjuk beberapa
pelaksana Bupati agar tidak terjadi kefakuman dalam bidang pemerintahan,
pembangunan, dan pembinaan masyarakat. Adapun pelaksana Bupati adalah,
1. La Tana,
2. Laode Saafi Amane,
3. Ahmad Djamaluddin SH,
4. Laode Moh Saleh SH,
5. Drs H Badrun Raona.
Pejabat SEKWILDA sejak terbentuknya
Kabupaten Muna adalah,:
1. Drs Laode Arifin,
2. Drs Laode Saifudin Misbah,
3. Drs Muh Kasim Andi,
4. Drs LM Shalihin Sabora,
5. Drs Laode Majid Olo,
6. Drs Laode Nsaha,
7. Drs Muh Yusuf,
8. Drs H Badrun Raona,
9. Drs P Haridin,
10. Drs H Laode Kilo.
11. Zakaruddin, SE
12. DRS. H La Ode Alibasa
13. Dra La Ora, M.Pd
Daftar
Pustaka
A.E. Moh. Saidi,- Naskah Sebagai Sumber Kekayaan Dunia, Sebuah deskripsi dari
Aspek Historis ; Makalah pada Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara di
Baruga Keraton Buton 5-8 Agustus 2005
La Kimi batoa, - Sejarah Muna– Jaya Press raha 1995
Mahmud hamundu, Prof, Sultan Murhum Tokoh Pemersatu
Kerajaan Tradisional Di Sulawesi Tenggara ; Makalah pada Simposium
Internasional IX Pernaskahan Nusantara di baruga Keraton Buton. 2005
Abd. Mulku Zahari, -Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni, jilid I,II dan II I
Jakarta; balai Piustaka. 1980.
La Ode Ida,1996. -“Perjumpaan Islam dengan Budaya Buton” Dalam Ruh
Islam Dalam Budaya Bangsa; Yayasan Festifal Istiqlal.
Andi Zainal Abidin, 1968. Mitos Asal Mula Kerajaan Buton ; Stensilan, baubau
La Ode Abd. Munafi, dan Andi Tendri, tardisi Perantauan Orang
Buton ( Suatu Kajian Strukturalalisme). Laporan Penelitian Fakultas
SOSPOL Unidayan baubau. 2002.
La Niampe, Undang-undang Kerajaan buton “Analisa isi naskah”; Makalah
Pada Simposium Internasional II Manassa di Depok 26 Oktober 1998.
La Niampe, Mengungkap Sejarah Masa lampau Hubungan Buton– Belanda “
Studi berdasarkan Naskah Buton” ; Makalah pada Simposium Internasional III
Manassa Jakarta 20-23 ) Oktober 2000
Abd. Rasyid, Cerita Rakyat Buton dan Muna Di Sulawesi Tenggara ;
Depertemen pendidikan Dan kebudayaan RI, Jakarta. 1998.
Muhammad Abdullah, Naskah keagamaan dan Relevansinya
Dengan Proses islamisasi Buton Abad XIV Sampai Abad XIX; makalah pada Simposium
Internasional Pernaskahan. Nusantara, di baruga Keraton Buton. 2005.
La Ode madu,. Sejarah masuknya Islam di Buton dan Perkembangannya;
Depdikb.ud, Baubaua. 1980
Jules Couvreur, Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna Diterjemahkan Oleh DR. Rene Van De Berg ; Artha
Wacana Press, Kupang, Nusa Tenggara Timur, ,2001.
——————
Sejarah Pembentukan kabupaten Muna; Wikipedia 30 mei 2009.
Said D, La Kilaponto-Murhum –
Haluoleo Gelar Qaimuddin Khalifatul Khamis, Profil Tokoh Pejuang Kemanusiaan.
2007.
Abd. Rasyid, Cerita Rakyat Buton dan Muna Di Sulawesi Tenggara ;
Depertemen pendidikan Dan kebudayaan RI, Jakarta. 1998.
Muhammad Abdullah, Naskah keagamaan dan Relevansinya Dengan Proses islamisasi
Buton Abad XIV Sampai Abad XIX; makalah pad Simposium Internasional Pernaskahan
Nusantara, di baruga Keraton Buton. 2005.
SAID.D ,- Transformasi Nilai-Nilai Pemerintaham Kesultanan Buton,
Suatu Telaah Sejarah. Makalah pada Simposium Internasional Pernaskahan
Nusantara- Baruga Keraton Buton, 5-6 Agustus 2005
La Oba,DRS- Muna Dalam Lintsan Sejarah – Prasejara- Era Reformasi,
Sinyo MP Bandung 2005
————-Toronto University ( Web).- Dictionery Of Muna Kings
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar – Edisi
Keempat – Mitra Niaga Rajawali Pers Jakarta, 1990
Schoorl,Pim, Masyaraka, Sejarah dan Budaya Buton ; Djembatan Jakarta,
2003
0 comments:
Post a Comment