This is default featured slide 1 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured slide 2 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured slide 3 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured slide 4 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured slide 5 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
Saturday, July 6, 2013
SARUNG TENUN MUNA MABOLU
1:04 AM
  
  No comments
Sarung Tenun Asal Desa mabolu, Kec. lohia, Kab. Muna
BAB  I
PENDAHULUAN
A.      Latar belakang
Kesenian merupakan salah satu unsur  universal dalam kebudayaan 
manusia, yang berfungsi untuk memberikan ketenangan jiwa pada manusia. 
Kesenian itu sendiri   terbagi atas dua rumpun besar yaitu seni rupa 
(kesenian yang dinikmati dengan mata) dan seni suara (kesenian yang 
dinikmati manusia dengan telinga). Keduanya adalah suatu hasil karya 
manusia yang diciptakan untuk dinikmati dan memenuhi kebutuhan manusia 
akan keindahan rasa setetika. Dengan demikian kesenian muncul dan 
berkembang karena dibutuhkan oleh manusia, yang ditunjang oleh 
pengetahuan masyarakat yang bersangkutan.
Salah satu bentuk kesenian yang masuk rumpun seni rupa adalah seni 
kerajinan tenun yang merupakan wujud kebudayaan dari hasil karya 
manusia. Kerajinan tenun pada berbagai suku bangsa di Indonesia cukup 
beragam, ada yang menonjolkan sarung seperti di Muna, tenun ikat lungsin
 di Toraja dan tenun ikat di Sumba, dan berbagai bentuk tenunan yang 
merupakan aset kebudayaan bangsa Indonesia.
Tenun ikat pada masyarakat Sumba, dipahami sebagai suatu karya 
simbolis yang berdimensi teknologi dan kesenian. Simbolis diartikan 
sebagai pemberian dan penangkapan makna sebagai orientasi manusia. Makna
 tersebut lebih merupakan rangkaian ungkapan rasa seperti harapan, 
keserasian, kepedihan, ironi, dan kecerian yang ditopang gagasan 
tertentu. Rasa gagasan menunggu perwujudannya yang sekaligus merupakan 
pemantapan nilai-nilai (Mealalatoa dan Sri Murni, 1977:52).
Sejarah kebudayaan manusia menunjukkan bahwa kepandaian bertenun 
merupakan aktivitas budaya manusia yang sudah dimulai dari zaman 
prasejarah, yang ditandai dengan adanya kemampuan manusia membuat 
pakaian dari serat kayu. Kerajinan tenun yang menyangkut aktivitas dan 
hasil kerajinan berupa bahan kain yang dibuat dari benang serat kayu, 
kapas, sutra, dan lain-lain (Mealalatoa dan Sri Murni, 1977:52).
Pengetahuan bertenun telah lama dikenal di daerah Muna. Pengetahuan
 bertenun ini dimiliki secara merata diseluruh daerah Muna. Namun 
sekarang ini, pengetahuan bertenun ini mulai memudar dan ditinggal 
pendukungnya. Sedangkan yang masih aktif menenun tinggal beberapa desa. 
Salah satunya adalah masyarakat di Desa Masalili Kecamatan Kontunaga 
Kabupaten Muna. Kepandaian menenun di Desa Masalili yang diperoleh 
secara turun temurun sejak zaman dahulu, sampai sekarang masih 
diwariskan dari generasi ke generasi.
Sarung tenun pada masyarakat Muna khusunya di Desa Masalili 
Kecamatan Kontunaga Kabupaten Muna, memiliki corak dan warna dasar yang 
berbeda-beda. Sarung tenun pada masayarakat Muna walaupun berbeda warna 
dasar namun mempunyai jalur corak yang sama yaitu jalaur-jalur yang pada
 umumnya memanjang horizontal.
Sarung tenun pada masyarakat Muna atau biasa dikenal dengan nama sarung Muna (bheta wuna).
 Sarung tenun ini dijadikan sebagai simbol status di dalam kehidupan 
masyarakat. Sarung tenun pada masyarakat Muna di Desa Masalili, memiliki
 berbagai macam corak nama dan fungsinya yang berbeda. Setiap perbedaan 
corak dan nama sarung tersebut mempunyai makna dan  fungsi yang berbeda 
pula. Menurut studi awal yang dilakukan oleh peneliti didapatkan bahwa 
pada masyarakat Muna terdapat stratifikasi atau tingkatan masyarakat 
yaitu golongan kaomu (golongan bangsawan), golongan walaka (golongan adat), golongan sara
 (pemuka adat). Pada setiap tingkatan itu ada corak dan makna sarung 
tenun untuk stratifikasinya. Demikian juga individu-individu dalam 
setiap stratifikasi ada perbedaan corak dan makna sarung yang digunakan 
misalnya warna dan corak untuk anak gadis, anak laki-laki, untuk orang 
tua, untuk janda, atau duda berbeda. Berdasarkan fenomena di atas 
sehingga calon peneliti tertarik untuk meneliti mengenai “Corak dan 
Makna Sarung Tenun pada Masyarakat Muna di Desa Masalili Kecamatan 
Kontunaga Kabupaten Muna”.
B. Rumusan Masalah
            Sarung tenun merupakan salah satu hasil karya 
manusia yang memiliki nilai penting bagi masyarakat, hal ini disebabkan 
karena sarung sebagai karya seni yang bernilai estetika juga memiliki 
fungsi penting dalam kehidupan bermasyarakat. Secara umum sarung tenun 
orang Muna sudah dikenal dan digunakan oleh berbagai kalangan untuk 
menunjukkan identitas kelompok atau berdasarkan stratifikasi. Untuk 
mengetahui mengapa sarung tenun Muna dapat bertahan dikalangan 
masyarakat, maka perlu dilakukan penelitian secara mendalam mengenai 
proses pembuatan, fungsi sarung tenun bagi masyarakat Muna. Berdasarkan 
fenomena tersebut maka masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai 
berikut:
1.      Bagaimana proses pembuatan sarung tenun Muna di desa Masalili Kecamatan Kontunaga Kabupaten Muna.
2.      Bagaimana fungsi sarung tenun Muna dalam kehidupan 
sehari-hari masyarakat  di Desa Masilili Kecamatan Kontunaga Kabupaten 
Muna.
3.      Bagaimana cara orang Muna di Desa Masalili Kecamatan 
Kontunaga Kabupaten Muna  mempertahankan tradisi menenun di kalangan 
perempuan
C. Tujuan Penelitian
            Penelitian ini difokuskan pada masalah sarung 
tenun Muna di Desa Masalili Kecamatan Kontunaga Kabupaten Muna. Tujuan 
khusus yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1.      Untuk mengetahui dan mendeskripsikan  proses pembuatan 
sarung tenun Muna di desa Masalili Kecamatan Kontunaga Kabupaten Muna.
2.      Untuk mengetahui fungsi sarung tenun Muna dalam kehidupan 
sehari-hari masyarakat di Desa Masilili Kecamatan Kontunaga Kabupaten 
Muna.
3.      Untuk mengetahui bagaimana cara orang Muna di Desa Masalili
 Kecamatan Kontunaga Kabupaten Muna  mempertahankan tradisi menenun di 
kalangan perempua.
D. Manfaat Penelitian
            Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk memberikan informasi tentang cara pembuatan, fungsi, 
dan cara orang Muna mempertahankan  sarung tenun bagi pelestarian seni 
tenun Muna sebagai satu unsur kebudayaan yang bernilai tinggi.
2.      Sebagai bahan informasi bagi pemerintah setempat agar senantiasa melestarikan nilai-nilai budaya masyarakat.
3.      Memberi informasi kepada pembaca tentang bagaimana cara 
pembuatan sarung tenun Muna di Desa Masalili Kecamatan Kontunaga 
kabupaten Muna.
BAB  II
TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian tentang sarung tenun yang merupakan bagian dari rumpun 
seni rupa telah banyak dilakukan pakar antropologi, misalnya Suhardini 
dan Sulaiman Jusuf (1984), Sri Murni dan M. Jusuf Melalatoa (1997) serta
 Fisher (1979). Di Sulawesi Tenggara, penelitian tentang sarung tenun 
masih kurang. Oleh karena itu, calon peneliti akan meneliti tentang 
“Corak dan Makna Sarung Tenun pada Masyarakat Muna di Desa Masalili 
Kecamatan Kontunaga Kabupaten Muna, maka pada tinjauan pustaka ini akan 
membahas hasil-hasil penelitian tentang sarung tenun yang terkait dengan
 corak dan makna yang terkandung dalam sebuah kain sarung.
Tenun merupakan salah satu perlengkapan hidup manusia yang telah 
dikenal sejak zaman prasejarah yang diperoleh dari perkembangan pakaian 
penutup badan setelah rumput-rumput dan kulit kayu. Dewasa ini mempunyai
 fungsi dalam berbagai aspek sosial, ekonomi, religi, etika dan 
lain-lain (Kartiwa dalam Difinubun, 2001:9).
Tuti Soeharto pada Majalah Dharma Wanita No. 98 Oktober 1994 dalam 
Silalahi (1995:98), menjelaskan kespesifikan batik tulis Banyumas, 
antara lain motif, warna dasar dan sabagainya. Batik merupakan hasil 
karya seni diatas kain ciptaan asli nenek moyang kita yang bernilai 
tinggi. Batik memiliki suatu keunikan. Pengungkapan keunikan batik 
selalu mengandung kerepotan tersendiri, karena diperlukan alasan yang 
sangat luas. Baik dari segi pembuatan bahan pola, pewarnaan, penggunaan 
dan daerah asal.
Di Indonesia sendiri kepandaian bertenun rupanya sudah dikenal 
sejak beberapa abad sebelum masehi. Kepandaian ini merupakan kelanjutan 
pengalaman dan pengetahuan membuat barang-barang anyaman daun-daunan dan
 serat-serat kayu yang digunakan sebagai wadah busana. Pengetahuan baru 
dari luar, yang terkait dari tenun itu, cepat diterima dan berkembang. 
Perkembangan itu menyangkut mutu bahan, keindahan tata warna, dan 
motif-motif hiasan. Motif-motif hiasan Indonesia mendapat pengaruh dari 
Cina, India, Arab, dan lain-lain (Melalatoa, 1991:242). Barangkali 
itulah sebebnya Fisher (1979) menyatakan bahwa seni tenun yang paling 
kaya dan canggih yang pernah ada di dunia dihasilkan di Indonesia.
Sebagai salah satu produk kebudayaan, tenunan dapat menjadi salah 
saran untuk pembangunan. Hal ini dimungkinkan karena karya tenun dapat /
 mempunyai aspk ekonomi, yang dapat member nilai tambah kepada penenun. 
Seperti yang dikemukakan oleh Nat J. Colletta dan Umar Kayam dalam Atiru
 (1992:4) bahwa “kebudayaan asli dapat dan harus dijadikan sebagai media
 atau alat untuk pembangunan”. Hal ini karena tiga alasan yakni
1)      Unsur-unsur budaya mempunyai legitimasi tradisional dimata orang-orang yang menjadi sasaran prongram pembangunan.
2)      Unsur-unsur budaya secara symbol merupakan bentuk komunikasi paling berharga dari produk stempat.
3)      Unsur-unsur budaya mempunyai aneka ragam fungsi (baik yang 
terwujud maupun yang terpendam) yang sering dinyatakan sebagai sarana 
yang paling berguna untuk perubahan dibanding dengan yang tampak 
dipermukaan jika hanya dilihat dalam kaitan dengan fungsinya yang 
terwujud saja.
Hasil tenun seolah sudah menjadi salah satu cirri budaya Indonesia 
yang dapat dibanggakan karena mutunya yang tinggi. Dalam pameran 
kerajinan Internasional  (Internastional) and National Craft Conference 
and Exhibition yang diikuti 12 negara di Jakarta tahun 1985. Tenun ikat 
sumba dinilai dan disahkan sebagai tenun terbaik serta diberi 
penghargaan tertinggi. Tenun-ikat sendiri adalah kain tenun yang cara 
pembuat motifnya menggunakan tenun ikat. Tenun ikat sebagai bagian 
teknik menenun sudah di kenal di Eropa sejak abad ke-19, lewat 
Hindia-Belanda, sehingga kata ikat terdapat dalam kamus bahasa Belanda 
maupun Inggris dengan pengertian seperti tersebut di atas. Tenun ikat 
lungsin dikenal sejak zaman kebudayaan Dongso dan di Indonesia tersebar 
di berbagai daerah (Wibawanto dalam Melalatoa dan Srimurni, 1997 : 53).
Di luar ekspresi jiwa manusia akan keindahan, kesenian dari suatu 
masyarakat memang bermaksud menjawab dan menginterpretasikan prmasalahan
 kehidupan sosialnya, mengisi kebutuhan atau mencapai tujuan bersama, 
seperti kemakmuran, persatuan, kemuliaan, kebahagiaan, dan rasa aman 
yang berhubungan dengan yang gaib (supernatural), dan lain-lain. 
Semuanya itu tertuang dalam betuk kesenian atau kesenian tradisional, 
misalnya seni tari, seni lukis, seni rias, seni sastra, music dan 
lain-lain (melalatoa, 1989 : 26). Sementara itu Levi-Strauss 
mengemukakan, bahwa kesenian dapat, menjadi satuan-satuan integrasi 
menyeluruh secara organik di mana gaya-gaya, kaidah-kaidah estetik, 
organisasi sosial, dan agama secara struktural saling berkaitan. Dalam 
hubungan sosial itulah penampilan gaya dan organisasi sosial saling 
berkaitan.
 Sistem kesenian merupakan salah satu perwujudan budaya manusia 
akan rasa seni dan keindahan. Pada berbagai suku bangsa di Indonesia 
dikenal berbagai ragam secara tradisional.
(1)   Seni gerabah atau tembikar pada orang Jawa.
(2)   Seni pahat atau seni ukir pada orang Bali, Jawa dang orang Asmat.
(3)   Seni tenun pada orang Bugis, Minangkabau dan Timor.
Begitu banyak ragam seni tradisional dan seni budaya yang dimiliki 
oleh setiap suku bangsa Indonesia. Sistem kesenian tradisional erat 
sekali hubungannya dengan unsur budaya lain, terutama unsur religi atau 
keagamaan.
(1)   Seni tenun “ulos” pada orang Batak erat sekali hubungannya 
dengan berbagai upacara adat, seperti pada upacara perkawinan atau 
kematian.
(2)   Seni pahat dalam bentuk dalam bentuk seni patung pada orang Dayak dan Asmat melambangkan Totemisme.
(3)   Seni pertunjukan wayang kulit yang menggelar cerita atau 
“lakon” Murwokolo, sering dipertunjukan dalam upacara adat “ngeruwat” 
pada orang Jawa.
Menurut ilmu antropologi, “kebudayaan” adalah : keseluruhan 
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan 
masyarakat yang dijadikan milik diri mnusia dengan belajar 
(Koentjaraningrat, 1990:180). Kebudayaan juga dapat dilihat sebagai 
berfungsi untuk mengorganisasi simbol-simbol (simbol adalah setiap 
benda, tindakan dan peristiwa yang mempunyai arti yang terwujud dalam 
tingkah laku manusia).
Koentjaraningrat (1974:19) dalam bukunya kebudayaan, mentalitas dan
 pembangunan, bahwa kebudayaan manusia mempunyai tiga dimensi, pertama, 
kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan-gagasan, 
nilai-nilai norma-norma, peraturan dan sebagainya. Eksistensi kebudayaan
 ini pada alam pikiran warga masyarakat, namun dapat pula berupa 
tulisan-tulisan serta karangan-karangan. Kedua, kebudayaan sebagai suatu
 kompleks aktivitas yang sudah dipola dalam masyarakat. Wujud kebudayaan
 ini berupa system sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Ketiga, 
kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Ia bisa berupa 
kebudayaan nyata, tampak fisiknya karena merupakan hasil karya 
masyarakat yang bersangkutan.
Dari wujud kebudayaan itu jelas bahwa wujud pertama dan kedua 
merupakan hasil dari akal dan budi manusia, sedangkan yang ketiga adalah
 karya manusia. Kemudian Koentjarangrat menganalisis budaya manusia yang
 terdiri dari unsur-unsur universal itu, merupakan isi dari semua 
kebudayaan di dunia ini yakni : (a) sistem religi dan upacara keagamaan;
 (b) system organisasi dan kemasyarakatan; (c) system pengetahuan; (d) 
system bahasa; (e) system kesenian (f) system mata pencaharian hidup; 
dan (g) system teknologi serta peralatan.
Konsepsi Alfred dan Clyde Kluckhohn dalam Herusatoto (2001:9) 
tentang kebudayaan cenderung menganggap gagasan-gagasan, symbol-simbol 
dan nilai-nilai sebagai inti kebudayaan. Begitu erat hubungan antara 
manusia dengan kebudayaan, sampai ia disebut makhluk budaya. Kebudayaan 
sendiri terdiri atas gagasan-gagasan, symbol-simbol, dan nilai-nilai 
sebagai hasil karya dari tindakan manusia.
Michael Landmann dalam Herusatoto (2001:9) menyatakan bahwa, setiap
 karya manusia niscaya mempunyai tujuan. Setiap benda alam sekitar yang 
disentuh dan dibudidayakan manusia mengandung suatu nilai. Nilai yang 
diperoleh manusia bermacam-macam, misalnya nilai sosial, ekonomis, 
keindahan, kegunaan dan lain sebagainya. Dengan demikian, berkarya 
berarti menciptakan nilai. Dengan kata lain, setiap hasil karya manusia 
menyimpan bentuk dan isi kemanusiaan. Oleh karena setiap benda budaya 
menunjukkan maksud, nilai, serta gagasan-gagasan penciptannya.
Salah satu wujud budaya manusia ialah alam seni. Alam seni ini 
terdiri atas beberapa unsur yaitu seni rupa, seni sastra, seni tari, 
seni music, dan seni drama. Alam seni merupakan salah satu dari 
aktivitas kelakuan berpola dari manusia yang dalam pengungkapannya penuh
 dengan tindakan-tindakan simbolis. Melalui alam seni ini, rasa budaya 
manusia yang tidak dapat diungkapkan dalam pergaulan sehari-hari, 
dicurahkan dalam bentuk symbol.
Turner (1990:18) mendefinisikan symbol sebagai sesuatu yang 
doanggap dengan persetujuan bersama, sebagai sesuatu yang memberikan 
sifat alamiah atau mewakili atau meningkatkan kembali dengan memiliki 
kualitas yang sama atau dengan membanyangkan dalam kenyataan atau 
pikiran. Perubahan seseorang dalam status dan peran baru dapat dilihat 
didalam ritus. Pertama, tahap pemisahan dari keadaan masyarakat 
sehari-hari; kedua, tahap luminal (tahap transisi) dan ketiga, tahap 
pengintegrasian kembali. Melalui simbol-simbol orang dapat mengungkapkan
 dan mengalalmi sesuatu yang transenden (Turner, 1990:67-68).
Tenun ikat pada masyarakat Sumba, dipahami sebagai suatu karya 
simbolis yang berdimensi teknologi dan kesenian. Simbolis diartikan 
sebagai pemberian dan penangkapan makna sebagai kehadiran otentik 
manusia. Gagasan yang menjadi suatu wawasan karya seni mencangkup 
bermacam makna yang terbaca dalam berbagai bentuk seni. Makna tersebut 
lebih merupakan rangkaian ungkapan rasa seperti harapan, keserasian, 
keresahan, kepedihan, ironi, semangat dan keceriaan yang ditopang 
gagasan tertentu. Rasa gagasan menunggu perwujudannya yang sekaligus 
merupakan pemantapan nilai-nilai (Melalatoa dan Sri Murni, 1997:52).
Tenun, selain sebagai busana, pertenunan itu terkait dengan aspek 
estetis, upacara adat; religi, dan symbol status dalam kehidupan 
masyrakat. Jenis kain dan motif hiasan tertentu dipakai oleh orang-orang
 dari lapisan tertentu atau yang memegang peranan tertentu. Hasil 
pertenunan terkait dengan berbagai latar belakang budaya dan lingkungan 
tadi melahirkan aneka ragam tenun-ikat, tenun songket, dan batik 
(Melalatoa, 1991:242-243).
Terkait dengan symbol status dalam kehidupan masyarakat, pada 
masyarakat Sumba, status tinggi rendah ini akan tampak dalam kehidupan 
sehari-hari dan dalam upacara, serta tampak dalam hak dan kewajibannya. 
Untuk memperjelas status itu digunakan sejumlah benda dan hewan baik 
dalam acara adat, upacara kematian, atau dalam kehidupan sehari-hari. 
Kebudayaan Sumba membagi beberapa benda (banda) mencangkup mas, perak, hewan kuda, dan kerbau; dan bersifat feminism (ngau) adalh kain (hinggi), sarung (lau), manic-manik (mutisalak), dan gading (Melalatoa dan Sri Murni, 1997).
Pada masyrakat Sumba, bagi wanita dari kalangan bangsawan atau 
raja-raja yang menghadiri pesta perkawinan akan mengenakan Lau Utu amahu
 (sarung jahitan yang memakai uang emas/perak), atau Lau Utu hada 
(sarung jahitan yang diberi muti berkarang), atau Lau Utu kau (sarung 
jahitan dengan hiasan siput). (Melalatoa dan Sri Murni, 1997:51).
Pada masyarakat Tolaki, desain pada sarung khususnya sawu ulu 
(sarung berkepala) terdiri atas dua garis besar yang diantarai oleh tiga
 garis sehingga tampak menjadi lima garis. Lima garis vertical yang 
berpotongan dengan garis lima horizontal adalah symbol yang 
menggambarkan bobot tubuh manusia yang dibatasi dengan sisi kanan-kiri 
dan atas-bawah yang diselubungi oleh empat penjuru ruang: Timur-Barat 
dan Uatara-Selatan. Dalam hubungan ini ada ungkpan orang Tolaki yang 
berbunyi : Sawundo Wotolundo (sarung kita adalah bobot tubuh kita). (Tarimana, 1989:248-249).
Kain yang terbuat dari benang (kapas dan sutera) yang pada umumnya 
berfungsi sebagai pakaian atau busana, tetapi sebuah kain sarung dapat 
menunjukkan symbol status dalam kehidupan masayarakat. Sarung tenun yang
 dijadikan simbol status di dalam kehidupan masyarakat, bukan saja pada 
masyarakat Sumba tetapi, pada masyarakat Muna sarung tenun dijadikan 
sebagai symbol satatus didalam kehidupan masayarakat Muna sarung tenun 
dijadikan symbol status didalam kehidupan masyarakat dilihat dari jenis 
sarung yang dipakai.
BAB  III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini akan dilakukan di Desa Masalili yang merupakan salah
 satu desa di Kecamatan Kontunaga Kabupaten Muna. Penentuan lokasi ini 
didasarkan dengan pertimbangan bahwa di desa ini penduduknya sebagian 
besar masih mempertahan tradisi menenun sarung Muna. Oleh karena itu 
penelitian ini difokuskan pada bagaimana Cara pembuatan sarung tenun 
Muna dan bagaimana corak dan makna sarung tenun masyarakat Muna di Desa 
Masalili sebagai warisan budaya  yang bersumber leluhur mereka. Teknik 
pengumpulan data yang akan digunakan adalah teknik participation observation atau pengamatan terlibat  dan indepth interview atau
 wawancara mendalam. Teknik pengamatan terlibat digunakan untuk melihat 
bagaimana keterlibatan anggota keluarga dalam berbagai aktivitas 
menenun, mulai menentukan warna/corak, bahan, pelaksanaan menenun sampai
 pada bagaimana cara memasarkan. Sedangkan teknik wawancara mendalam 
digunakan menjaring data  mengenai Adapun data yang digali lewat 
wawacara adalah mengenai lingkungan alam (ketersediaan bahan baku 
tenun), demografi (kelompok-kelompok yang menenun, siapa-siapa yang 
menenun, dimana melakukan aktivitas menenun), asal sejarah sarung tenun,
 pengetahuan masyarakat tentang mnenun, sarung tenun sebagai mata 
pencaharian hidup, bagaimana corak, makna serta jenis-jenis dari sarung 
tenun, dan bagaimana proses pembuatan sarung tenun (bahan-bahan dan 
alat-alat yang digunakan pada saat melakukan aktivitas menenun), berapa 
lama membuat sarung tenun, bagaimana motif sarung yang digunakan 
perempuan dan laki-laki serta motif sarung apa yang diminati.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif-deskriptif,  yaitu 
suatu bentuk penelitian yang berusaha menghasilkan data deskriptif, 
gambaran yang sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta di 
lapangan, dengan menggunakan etnografi sebagai metode utama dalam 
pengumpulan data. Untuk itu, informan akan dipilih secara purposive sampling dengan
 pertimbangan dianggap mengetahui dan bersedia memberikan informasi yang
 berkaitan dengan masalah penelitian, yang terdiri dari informan kunci 
dan informan biasa. Informan kunci adalah kepala desa, karena selain 
dapat menunjukkan informasi tentang orang-orang yang akan dijadikan 
informan biasa, yang bersangkutan juga memiliki usaha sarung tenun Muna. Sedangkan informan biasa yang akan dipilih adalah para keluarga penenun yang ada di desa ini. 
Data akan dianalisis secara deskriptif kualitatif, yaitu dengan 
menggambarkan hasil penelitian secara deskripsi untuk menjawab 
permasalahan yang diteliti. Analisis dilaksanakan dengan menyusun 
data-data yang diperoleh, kemudian diinterprestasikan dengan mengacu 
pada keterkaitan antara berbagai konsep dan kenyataan yang ada di 
lapangan. Data yang dikumpulkan dari pengamatan dan wawancara 
selanjutnya dikelompokkan menurut bagian-bagiannya. Hal ini mengacu 
kepada Endraswara (2003), bahwa dengan melakukan analisa data secara 
terus menerus, maka peneliti akan memperoleh penalaran yang utuh 
mengenai hasil penelitian yang dicapai dari permasalahan yang diteliti. 
BAB  IV
GAMBARAN UMUM DESA BOLO
KECAMATAN LOHIAKABUPATEN MUNA 
A. Lokasi dan Letak Desa
            Penelitian ini dilaksanakan di Desa Masalili 
Kecamatan Kontunaga Kabupaten Muna lebih kurang delapan kilometer dari 
Kota Raha, ibu kota Kabupaten Muna. Dari Kota Raha agar bisa sampai ke 
Desa Masalili terdapat dua jalur yang dapat dilalui yaitu melalui jalur 
Jompi langsung kearah Desa Masalili dan jalur lainnya yaitu melalui 
jalan propinsi Raha – Bau-Bau. Setelah menempuh sekitar delapan 
kilometer, akan ada lorong yang langsung menuju ke Desa Masalili. 
Meskipun wilayahnya yang berada cukup jauh dari jalan propinsi namun 
Desa Masalili bukanlah Desa yang tertinggal karena jalannya cukup baik 
untuk dilalui. Desa Masalili terdiri atas dua dusun yaitu Dusun 
Ladontani dan Dusun Kamali. Bentuk wilayahnya berbukit-bukit dengan 
tanahnya yang merah serta alamnya yang masih  alami. Secara keseluruhan 
jumlah penduduk Desa Masalili adalah 1217 jiwa. Jumlah penduduk tersebut
 termasuk diantaranya adalah anak-anak, orang dewasa dan orang lanjut 
usia.
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Masalili dengan pertimbangan 
bahwa Desa Masalili merupakan desa yang sebagain besar masyarakatnya 
merupakan pengrajin sarung tenun adat muna. Bahkan hampir seluruh 
perempuan yang berada di Desa Masalilli berprofesi sebagai penenun 
sarung adat muna. Hal ini berdasarkan dari pengamatan yang dilakukan 
oleh peneliti bahwa dapat dikatakan setiap rumah warga mempunyai alat 
meng-hani dan menenun. Berdasarkan informasi yang diperoleh bahwa Desa 
Masalili merupakan tempat pertama kali dilakukannya pembuatan sarung 
tenun  adat muna di Kabupaten Muna.
Setelah pemuda atau wanitanya kawin dengan orang dari luar desa, 
barulah kemudian pembuatan sarung tenun adat muna ini menyebar ke 
wilayah-wilayah yang lainnya. Pernyataan tersebut didukung dengan adanya
 alat manual yang digunakan untuk membuat atau memintal benang dari 
kapas yang masih sangat sederhana dan masih tersedia di rumah-rumah 
warga setempat. Alat tersebut digunakan pada zaman dahulu sebelum 
tersedianya benang-benang hasil produksi pabrik di daerah tersebut. 
Bukti lain juga adalah masih adanya hasil tenunan sarung yang bahan 
dasarnya kapas yang kemudian dipintal dijadikan benang oleh masyarakat 
setempat dan ditenun sehingga menjadi selembar sarung tenun. Berdasarkan
 hal inilah masyarakat setempat menyatakan bahwa Desa Masalili merupakan
 desa yang pertama kali dan sebagai tempat asal mula pembuatan sarung 
tenun di Kabupaten Muna.
B. Sumberdaya Alam yang mendukung Usaha tenun sarung Muna
C. Mata pencaharian Masyarakat Desa Masalili
            Masyarakat Desa Masalili merupakan masyarakat 
yang tingkat ekonominya masih sangat sederhana dengan profesi yang 
beraneka ragam. Sebagian besar masyarakat Desa Masalili merupakan 
pengrajin sarung tenun adat muna, khususnya para wanita. Mereka menenun 
sarung adat muna, secara berkelanjutan sesuai dengan ada atau tidaknya 
pesanan, namun ada pula yang menjualnya ke pasar atau kepada para 
pengumpul atau penada. Selain sebagai penenun kaum perempuan juga 
sebagai petani. Tanaman  yang mereka tanam bermacam-macam, mulai dari 
jambu mete, tanaman sayur-sayuran dan tanaman yang dapat dijadikan 
sebagai makanan pokok seperti jagung dan padi. Hasil dari pertanian dan 
perkebunan tersebut sebagian mereka pakai untuk dikonsumsi sendiri dan 
sebagian lagi mereka jual di pasar-pasar terdekat. Pada saat berbuah 
jambu mete, selain sebagai penenun dalam aktifitas kesehariannya, mereka
 juga mengolah jambu mete tersebut sehingga harganya lebih mahal dari 
sebelumnya.
Wilayah Desa Masalili tidak terlalu jauh dari ibu kota Kabupaten 
Muna sehingga sebagian masyarakatnya ada yang berprofesi sebagai Pegawai
 Negeri Sipil (PNS) yang bertugas di Kota Raha.  Sebagian lagi ada yang 
berprofesi sebagai tukang kayu. Kayu yang mereka olah dijadikan berbagai
 macam perabot seperti kursi dan meja, ranjang dan berbagai macam 
perabot yang lain. Perabot-perabot tersebut kemudian mereka jual dan 
kepada masyarakat setempat maupun orang dari luar desa. Selain itu, para
 tukang kayu ini juga biasanya menerima pesanan dari para pembeli yang 
kemudian mereka kerjakan berdasarkan pesanan tersebut. Salah satu yang 
biasanya di pesan untuk dibuatkan oleh masyarakat setempat kepada para 
tukang kayu ini adalah alat-alat meng-hani/ kasoro dan peralatan 
penenunan. Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti, 
harga satu set alat meng-hani/kasoro dan alat menenun adalah sekitar 
tujuh ratus lima puluh ribu rupiah sampai delapan ratus ribu rupiah. 
Pada dasarnya, peralatan yang digunakan untuk meng-hani dan menenun 
adalah bahan-bahan yang sudah tersedia di alam namun bagi orang yang 
tidak mau repot, mereka biasanya langsung memesan kepada para tukang 
kayu. Waktu yang dibutuhkanpun untuk membuat peralatan tersebut pun 
tudaklah terlalu lama, hanya sekitar satu minggu pesanannya sudah bisa 
diambil.
Ada pula yang mempunyai profesi sebagai pedagang. Mereka menjual 
berbagai macam barang dagangan, mulai dari sembako sampai dengan kain 
sarung tenun. Mereka menjual barang dagangannya ke pasar-pasar terdekat,
 bahkan ada yang sampai ke Pasar Laino di Kota Raha. Namun ada pula yang
 hanya membuka warung di rumahnya masing-masing dengan barang dagangan 
berupa makanan cemilan sampai dengan bahan pokok. Menurut beberapa 
informan, meskipun banyak profesi yang mereka geluti saat ini, namun 
pembuatan sarung tenun adat muna tetap terus mereka lakuakan pula. Hal 
ini melakukan karena sarung tenun adat muna merupakan adat-istiadat yang
 sudah turun-temurun mereka geluti atau mereka lakukan sejak dahulu.
BAB  V
SARUNG TENUN MUNA DI  DESA BOLO
A.  Proses pembuatan sarung tenun Muna
Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh peneliti rata-rata 
masyarakat yang berprofesi sebagai penenum sarung mulai belajar membuat 
sarung tenun sejak umur 12-14 tahun. Demikian pula dari hasil pengamatan
 yang dilakukan oleh peneliti di Desa Masalili sudah banyak anak-anak 
yang telah pintar membuat sarung meskipun masih pada tahap-tahap yang 
masih sangat awal seperti meng-hani/ kasori. Rata-rata anak-anak ini 
masih duduk pada sekolah dasar yang ketika pulang dari sekolah mereka 
membantu orang tua mereka melakukan pembuatan sarung tenun. Sedangkan 
proses menenun mulai dilakukan sejak umur 17 tahun atau telah menginjak 
pada sekolah menengah pertama. Adanya perbedaan umur tersebut dalam 
mempelajari pembuatan sarung tenun karena didasarkan pada tingginya 
badan atau pertumbuhan si anak tersebut.
Dalam melakukan proses penenunan, kaki penenun harus sampai pada 
kayu atau balok yang disebut dengan kafetadaha. Jika kaki si penenun 
tidak sampai pada alat tersebut, maka proses penenunan tidak akan dapat 
dilakukan karena untuk melakukan penenunan benang hasil dari meng-huni/ 
kasoro yang telah dipindahkan pada alat penenunan harus kencang. 
Sedangkan alasan utama mengapa kaki si penenun harus sampai pada balok 
atau papan kafetadaha tersebut yaitu agar benangnya kencang. Hal inilah 
yang menjadi alasan mengapa anak-anak belum bisa melakukan proses 
menenun.
Proses belajar meng-hani/ kasoro dan menenun hanya dilakukan dengan
 cara melihat dan langsung mempraktekkan. Sudah menjadi kebiasaan dan 
adat dalam masyarakat Desa Masalili bahwa seorang perempuan harus bisa 
menenun sarung karena pada setiap acara adat yang akan dilakukan atau 
dilaksanakannya nanti tidak terlepas dari pakaian adat yang salah 
satunya yaitu sarung tenun adat muna. Proses beajar meng-hani/ kasoro 
dan menenun ini telah berlangsung turun-temurun dari zaman dahulu. Pada 
kenyataannya, bukan hanya wanita atau perempuannya saja yang pandai 
dalam meng-hani atau menenun sarung namun laki-laki atau prianya juga 
sebenarnya bisa meng-hani dan menenun tetapi pada masyarakat Desa 
Masalili sudah terpola dalam pikirannya bahwa meng-hani/ kasoro dan 
menenun merupakan pekerjaan wanita atau perempuan sehingga laki-laki 
atau prianya merasa tidak layak melakukan pekerjaan tersebut atau mereka
 merasa malu apabila dilihat oleh orang lain.
Proses Pembuatan Sarung Tenun Muna Desa Masalili Kecamatan Kontunaga Kabupaten Muna.
Proses pembuatan sarung tenun adat muna ada dua bagian yaitu :
1. Proses meng-hani/ kasoro
            Proses meng-hani/kasoro adalah suatu proses awal yang 
dilakukan dalam pembuatan sarung tenun adat muna dengan cara menyusun 
setiap helai lembaran benang pada alat yang telah disiapkan sebelumnya 
dan dengan cara-cara tertentu pula. Bahan dasar utama yang digunakan 
dalam pembuatan sarung muna yaitu benang biasa dan benang mamilon atau 
benang nilon dengan warna yang berbeda sesuai dengan warna sarung yang 
akan dibuat. Benang biasa yaitu benang yang biasa digunakan oleh 
masyarakat pada umumnya untuk menjahit, sedangkan benang mamilon atau 
benang nilon yaitu benang yang khusus digunakan untuk membuat sarung 
tenun adat dengan ciri mengkilap. Alat-alat yang digunakan dalam proses 
meng-hani/ kasoro ini adalah sebagai berikut:
Ø
Langku yaitu dua batang kayu balok atau bambu dengan ukuran sedang 
yang dibaringkan sejajar dengan jarak sekitar 1 meter dan panjangnya 
sekitar 2 meter.
  | 
Ø  Jhangka yaitu bambu yang dibentuk seperti sisir yang bagian atas
 dan bawahnya dihimpiykan dengan dua batang bambu kecil dengan panjang 
sekitar 1,4 meter. Jhangka ditempatkan pada bagian tengah langku dan 
diikat pada kedua batang langku tersebut.
  | 
Ø  Kae yaitu sebatang bambu yang berukuran sedang dengan panjang 
sekitar 1,4 meter yang diikatkan pada kedua ujung langku dan berfungsi 
untuk mengencangkan benang.
  | 
Ø  Ati yaitu sebatang kayu yang dibentuk sedemikian rupa dengan 
bagian tengahnya mengecil dengan panjang sekitar 1,4 meter yang dipasang
 pada ujung langku dan berfungsi untuk mengencangkan benang.
  | 
Ø  Kaju yaitu sebatang bambu kecil dengan panjang sekitar 1,4 meter
 yang dipasang pada langku dan berfungsi membatasi benang bagian atas 
dan bagian bawa agar tidak bercampur.
  | 
Ø Parambhibhita yaitu ssebatang bambu kecil yang panjangnya lebih 
kurang 1 meter dan digunakan sebagai tempat untuk memisahkan benang 
bagian atas dan bagian bawah serta sebagai tempat menggulungkan benang 
nilon.
  | 
Ø  Bhibhita yaitu seutas benang nilon yang digulungkan pada 
parambhibhita sekaligus juga berfungsi sebagai pemisah antara benang 
yang satu dengan benang yang lainnya.
  | 
Ø  Kaghua yaitu berupa tempat sabun colek lengkap dengan penutupnya
 yang kemudian diisikan dengan segulung benang dan pada bagian atas 
penutupnya dilubangi sebagai tempat keluarnya benang. Dahulu sebelum ada
 pengetahuan untuk menggunakan tempat sabun colek, masyarakat setmpat 
menggunakan tempurung kepala. Tempurung kelapa yang digunakan ahanya 
sebelah saja. Kemudian tempurung kelapa tersebut dilubangi pada kedua 
belah sisinya dan pada gulungan benang dumasukkan sebatang kayu yang 
diperkirakan bisa masuk di dalam lubang segulung benang tersebut. 
Selanjutnya kayu yang sudah dimasukkan ke dalam gulungan benang 
tersebut, kedua ujungnya dimasukkan pada kedua belah sisi lubang 
tempurung kelapa sehingga benang tersebut bisa berputar dengan 
sendirinya apabila ditarik.
  | 
Ø  Kangkai yaitu selembar tulang tipis yang biasanya diambil dari 
tulang rusuk sapi yang panjangnya lebih kurang sekitar 50 cm dengan 
bagian ujungnya berbentuk seperti mata pancing yang berfungsi sebagai 
pengait benang melalui sela-sela jhangka. Kangkai ini juga bisa terbuat 
dari kayu, namun kayu teresebut harus dihaluskan karena jika kayu 
tersebut kasar bisa saja benang-benang yang akan dibuat menjadi sarung 
ketika dalam proses meng-hani/ kasoro maupun proses menenun terkait atau
 tersangkut pada kayu tersebut sehingga benang bisa saja putus.
  | 
Perlu diketahui bahwa proses meng-hani/ kasoro harus dilakukan oleh
 dua orang baik itu anak-anak maupun untuk orang dewasa. Dalam melakukan
 proses meng-hani/ kasoro harus dengan sangat hati-hati dan dengan 
ketelitian yang sangat tinggi karena setiap lembaran benang harus 
ditempatkan pada posisinya msing-masing. Selain itu, proses meng-hani/ 
kasoro juga harus dilakukan dengan penuh kesabaran dan kecermatan karena
 seutas demi seutas benang harus disusun dan dirapikan sehingga tidak 
ada yang saling bertindisan sehingga menyebabkan benang tersebut kusut. 
Setelah mengetahui alat-alat yang akan digunakan dalam proses meng-hani/
 kasoro, maka selanjutnya langkah-langkah yang dilakukan dalam proses 
meng-hani/ kasosro adalah sebagai berikut: Meng-hani/ kasoro harus 
dilakukan oleh dua orang sehingga dua orang yang akan meng-hani/ kasoro 
ini harus menempati posisinya msing-masing yaitu satu orang berada 
disebelah kanan dan yang satu lagi berada di sebelah kiri. Mereka berada
 di tengah-tengah antara dua batang langku dan yang memisahkan mereka 
atau yang menjadi pembatas diantara kedua orang yang akan melakukan 
proses meng-hani ini adalah sebuah jhangka. Selain itu, kaju, 
parambhibhita dan bhibhita juga terletak diantara kedua orang yang akan 
melakukan proses meng-hani. Kaju berada pada bagian sebelah langku 
sedangkan parambhibhita dan bhibhita berada pada sebelah lainnya dari 
langku sehingga masing-masing kedua orang yang melakukan proses 
meng-hani mempunyai pekerjaan yang hampir sama karena mereka sama-sama 
harus mempunyai tingkat ketelitian yang baik untuk dapat menghasilkan 
sarung yang berkualitas.
Langkah selanjutnya yaitu memasukkan benang ke dalam kaghua. Warna 
benang yang di masukkan ke dalam kaghua harus disesuaikan dengan warna 
sarung yang akan dibuat. Dalam hal ini seseorang yang melakukan proses 
meng-hani/ kasoro harus dapat memperkirakan dan mengetahui seberapa 
lebar dalam satu warna benang yang digunakan sehingga warna yang 
terdapat pada sarung tenun adat muna sesuai dengan warna yang 
sesungghunya. Sarung tenun adat muna mempunyai warna dasar yang beraneka
 ragam, namun pada umumnya hanya berupa garis-garis lurus yang 
melingkari sarung tenun tersebut. Kemudian ada pula yang disebut dengan 
bunga yaitu corak dari sebuah sarung tenun selain dari garis-garis yang 
terdapat pada sarung tersebut. Warna benang yang digunakan dalam proses 
meng-hani/ kasoro harus dimasukkan satu persatu ke dalam kaghua sehingga
 apabila telah selesai warna benang yang satu, maka benang yang terdapat
 dalam kaghua harus diganti. Kemudian  apabila dirasa telah cukup untuk 
satu satu warna benang, maka warna benang yang lain akan menggantikan 
warna benang yang ada dalam kaghua tersebut.
Kemudian langkah-langkah yang dilakukan dalam proses menghani/ 
kasoro setelah alat yang akan digunakan sudah disiapkan dan telah 
dirangkai menjadi satu rangkaian utuh dan benang telah berada dalam 
kaghua, serta dua orang yang akan melakukan proses meng-hani/ kasoro 
telah berada pada tempatnya masing-masing yaitu benang yang terdapat 
pada kaghua ditarik keluar yang bermula dari bagian ujung yaitu pada kae
 bagian atas dan dibawa melewati bagian bawah daripada parambhibhita dan
 bhibhita. Kemudian ditarik lagi benangnya dan dibelokkan ke atas, dan 
langsung menuju ke kae bagian atas kembali. Selanjutnya yaitu benang 
yang terdapat dalam kaghua tadi yang sudah sampai pada kae ditarik lagi 
kemudian melewati bagian atas parambhibhita dan diselingkan dengan 
bhibhita agar benang yang satu dengan benang yang lainnya tidak saling 
bercampur dan tidak tindih-menindih.
Selanjutnya dengan menggunakan kangkai, teman yang berada pada 
bagian sebelahnya menarik benang melalui sela-sela jhangka dan dikaitkan
 atau dimasukkan pada kaju. Kemudian, teman yang berada pada bagian 
sebelah kiri melakukan seperti yang pertama tadi yaitu benang ditarik 
lagi dari ujung kae bagian atas sampai teman sebelah kanjanya lagi 
menarik benang tersebut menggunakan kangkai melalui jhangka melewati 
kaju serta langsung ditarik ke ujung hingga sampai pada ati. Setelah itu
 benang ditarik lagi melalui bagian atas ati dan benang dibelokkan ke 
bawah menuju ke kaju. Pada kaju, benang selanjutnya dimasukkan ke kaju. 
Proses ini berulang terus-menerus hingga mencukupi lebar selembar sarung
 tenun adat.
Permasalahan yang biasanya dialami oleh mereka yang melakukan 
proses meng-hani/ kasoro yaitu apabila kualitas benang yang digunakan 
tidak baik atau kurang baik. Dalam hal ini bisa saja benang yang mereka 
beli dipasar atau pada toko-toko yang menjual benang tersebut telah lama
 atau terkena air. Hal-hal seperti di atas bisa saja mengurangi kualitas
 benang yang akan digunakan untuk membuat sarung tenun adat sehingga 
pada saat menggunakan benang tersebut akan mudah putus. Hal ini pula 
yang merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas daripada 
sarung yang akan dihasilkan. Semakin baik kualitas benang yang 
digunakan, maka semakin baik pula kualitas sarung tenun adat yang 
dihasilkan. Faktor lain yang juga turut menentukan kualitas sarung yang 
digunakan yaitu dari si penenun. Dalam hal ini faktor kehati-hatian dan 
kesabaran serta keuletan dari penenun juga merupakan faktor yang sangat 
menentukan kualitas sarung yang akan dihasilkan. Semakin terampil si 
penenun tersebut dalam membuat sarung tenun, maka semakin baik pula 
kualitas sarung yang akan dihasilkannya.
Setelah proses meng-hani/ kasoro selesai, maka selanjutnya untuk 
mengahasilkan selembar sarung dilanjutkan lagi dengan proses menenun. 
Proses menenun inilah merupakan proses yang sangat menentukan sarung apa
 yang akan dibuat atau dihasilkan. Pada proses menenun ini, akan 
ditentukan apakah sarung yang akan dibuat memiliki bunga atau corak atau
 mungkin saja hanya merupakan sarung polos tanpa bunga atau corak. Pada 
masyarakat Desa Masalili yang mereka maksud dengan sarung polos yaitu 
sarung yang tidak mempunyai bunga atau corak bukan dilihat dari warnanya
 sebagaimana yang diketahui masyarakat lain yang beranggapan bahwa 
sarung polos merupakan sarung yang sama warnanya dari atas ke bawah.
Pada proses meng-hani/ kasoro tadi telah dikatakan bahwa proses 
tersebut bisa dilakukan oleh anak-anak maupun dewasa. Namun pada proses 
menenun, memerlukan keahlian khusus terutama dalam pembuatan bunga atau 
coraknya. Sehingga anak-anak biasanya belum bisa melakukan proses 
menenun. Corak yang akan dibuat telah ada sebelumnya dalam pikiran 
penenun sehingga prosesnya akan berjalan terus-menerus tanpa ada 
selembar atau sehelai benang yang terlupakan untuk disisipkan. Hal lain 
yang juga menjadi hambatan sehingga anak-anak belum dapat melakukan 
proses menenun yaitu terkait dengan tinggi badan. Karena dalam melakukan
 proses menenun ada salah satu alat yang digunakan dalam proses tersebut
 yang harus sesuai dengan tinggi orang dewasa. Hal ini bila tidak 
dilakukan, maka proses menenun bisa saja menjadi terhambat.
2. Proses Menenun
            Proses menenun adalah suatu proses lanjutan setelah 
melakukan poses meng-hani/ kasoro yang merupakan penentu apakah sarung 
yang dihasilkan akan memiliki bunga atau corak atau hanya sarung polos 
biasa saja. Proses menenun harus dilakukan oleh orang-orang yang telah 
mahir karena dalam proses ini kualitas sarung akan ditentukan sehingga 
perlu pula keahlian khusus dalam pengerjaannya. Biasanya orang-orang 
yang melakukan proses menenun ini merupakan orang-orang yang telah 
berumur yang dalam hal ini ia telah lama menekuni pembuatan sarung tenun
 adat ini. Seseorang yang melakukan proses menenun harus telah 
mengetahui atau telah memiliki bayangan dalam pikirannya sarung apa 
yanga akan dibuat dan modelnya seperti apa sehingga prosesnya akan 
berjalan terus-menerus tanpa putus.
            Telah diketahui bahwa proses meng-hani/ kasoro harus 
dilakuakn oleh dua orang, namun pada proses menenun yang terjadi malah 
sebaliknya. Proses menenun tidak boleh dilakukan oleh dua orang akan 
tetapi hanya dapat dilakukan oleh satu orang saja. 
Langkah-langkah yang dilakukan dalam proses menenun yaitu 
menyiapkan peralatan yang akan digunakan dalam proses penenunan seperti:
Ø  Katai yaitu dua lembar papan yang panjangnya sekitar 1,6 meter 
dan lebarnya sekitar 15-20 cm. Papan ini diletakkan pada dinding dan 
berfungsi sebagai tiang atau penyangga.
Ø  Selanjutnya adalah memindahkan bagian-bagian alat dari proses 
menghani/ kasoro kepada prpses menenun. Alat-alat yang dipindahkan 
tersebut adalah sebagai berikut:
ü  Kae yang semula berada pada proses meng-hani/ kasoro yaitu 
terletak pada ujung langku sebelah kanan, kenudian dipindahkan pada 
proses menenun yang dipasang pada ujung katai bagian atas. Ati tidak 
mengalami perubahan fungsi yaitu sebagai alat yang digunakan 
mengencangkan benang.
ü  Ati yang semula berada pada proses meng-hani/ kasoro yaitu 
terletak pada ujung dua batang langku sebelah kiri, kemudian dipindahkan
 pada alat menenun yang dipasangkan dengan sebatang kayu berhimpitan 
agar benang yang sudah tersusun tidak bergeser lagi. Dalam hal ini, ati 
mengalami perubahan fungsi yang semula ketika berada pada proses 
menghani hanya berfungsi sebagai pengencang benang agar tidak longgar 
atau kendur, setelah berada pada proses menenun ati berfungsi sebagai 
alat yang menjepit atau alat yang dapat merapikan benang sehingga benang
 tidak bergeser lagi.
ü  Demikian pula kaju, bhibhita dan parambhibhita dipindahkan dari 
proses meng-hani/ kasoro ke proses menenun yang diletakkan diatas kaki 
si penenun, namun letak asalnya tidak berubah atau tidak bergeser.
Ø  Kafetadaha yaitu sebatang kayu yang dijadikan tempat 
menginjakkan kaki agar si penenun dapat menarik benang-benang yang sudah
 terpasang pada alatnya sehingga lebih kencang.
  | 
Ø  Lobu yaitu sebatang bambu yang berukuran sedang dengan panjang 
lebih kurang 25-30 cm dan pada salah satu ujungnya dipotong sehingga 
berlubang dan ujung lainnya tertutup. Selanjutnya ada sebatang kayu 
kecil yang digulungkan dengan segulung benang. Semakin banyak fariasi 
bunga atau corak dan fariasi warna yang akandibuat pada selembar sarung,
 maka akan semakin banyak pula gulungan benang pada kayu kecil tersebut 
yang digunakan. Hal ini dimaksudkan karena setiap gulungan benang 
sebatang kayu kecil tersebut digulungkan dengan warna benang yang 
berbeda dan masing-masing gulungan mempunyai fungsi tersendiri sesuai 
dengan fariasi bunga atau corak dan fariasi warna yang akan dibuat pada 
selembar sarung.
  | 
Ø  Katokano bunga yaitu bambu kecil yang berada di atas benang 
tenunan dengan beberapa utas benang nilon yang membatasi kumpulan benang
 tenunan.katokano bunga sebenarnya merupakan bahasa muna yang apabila 
diartikan ke dalam bahasa Indonesia yaitu “perlengkapan bunga”, sehingga
 fungsinya yaitu sebagai alat yang digunakan untuk membentuk bunga atau 
corak pada sarung tenun. Lebih banyak fariasi bunga atau corak yang akan
 dibuat pada selembar sarung tenun, maka akan semakin banyak pula jumlah
 dari katokano bunga tersebut.
  | 
Ø  Kadanda yaitu sebatang kayu yang berada diatas benang tenunan 
dan berfungsi untuk menindi benang agar tidak terhambur. Kadanda ini 
tidak terlalu banyak difungsikan tetapi merupakan juga salah satu yang 
harus tetap ada dalam proses penenunan.
  | 
Ø  Bhalida yaitu sebatang kayu tipis yang panjangnya sekitar 1,4 
meter dan berfungsi merapatkan benang-benang yang telah disusun 
sebelumnya selembar demi selembar benang. Cara kerja dari alat bhalida 
ini yaitu dengan cara memukul-mukul jhangka sehingga jhangka yang sudah 
berisikan benang tergeser merapatkan benang yang telah dimasukkan 
sebelumnya dengan menggunakan lobu.
  | 
Ø  Kabuntuluha yaitu sebatang kayu tebal yang digunakan untuk 
menahan atau menopang agar bhalida pada saat penggunaannya tidak 
langsung kelantai karena apabila bhalida tidak tertopang maka akan 
menyulitkan si penenun ketika memasukkannya kembali di sela-sela benang.
  | 
Ø  Tetere yaitu selembar papan yang agak tebal yang dipasang pada 
katai bagian bawah sehingga pada saat melakukan penenunan benang akan 
berbentuk huruf L.
  | 
Ø  Talikundo yaitu kayu yang diukir atau yang dibentuk sedemikian 
rupa agar sipenenun lebih nyaman dalam melakukan penenunan. Talikundo 
ini berfungsi sebagai alat untuk mengencangkan benang yang dipasang di 
belakang si penenun dengan tali yang diikat antar talikundo dengan ati 
yang berada didepannya.
  | 
Setelah selesai menyiapkan dan memindahkan alat dari proses 
meng-hani/ kasoro kepada proses menenun, maka selanjutnya yaitu 
langkah-langkah yang dilakukan dalam proses menenun yaitu diawali dengan
 si penenun mengambil posisi pada alat penenunan dengan duduk 
terlentang. Kaki dari si penenun harus dipanjangkan atau diluruskan 
hingga sampai pada kafetadaha. Selanjutnya dengan menggunakan lobu, 
seutas demi seutas benang dimasukkan ke dalam sela-sela benang hasil 
dari proses meng-hani/ kasoro melalui kaju dan kadanda serta 
parambhibhita dan bhibhita yang kemudian untuk merapatkannya 
digunakanlah bhalida untuk memukul-mukul jhangka sehingga benang 
tersebut benar-benar rapat. Setelah beberapa lama, maka kain yang 
dihasilkan akan bertambah panjang, sehingga untuk tidak menyulitkan 
penenun, ati harus dibuka dan benang hasil dari proses meng-hani/ kasoro
 ditarik lagi dan kemudian dijepit kembali dengan munggunakan ati agar 
benang yang sudah ditarik tersebut tidak bergeser lagi. Demikianlah 
secara terus menerus prosesnya akan berlangsung.
Membuat bunga atau corak pada selembar sarung tenun memerlukan 
keahlian khusus karena pengerjaannya cukup sulit. Beda corak atau bunga 
yang akan dibuat, maka beda pula cara yang akan dilakukan dalam 
pembuatannya. Biasanya orang-orang yang membuat bunga atau corak ini 
merupakan penenun yang telah berusia lanjut atau penenun yang 
benar-benar menekuni usaha penenunan sarung ini karena selain 
pembuatannya yang memakan waktu yang cukup lama juga tingkat 
kesulitannya yang sangat tinggi. Dari hasil pengamatan peneliti di 
lapangan, rata-rata yang membuat sarung tenun dengan bunganya atau 
dengan coraknya berumur diatas 35 tahun. Sedangkan penenun yang berumur 
di bawah 35 tahun biasanya hanya mampu menenun sarung polos yang tanpa 
corak atau bunga atau mereka hanya bisa menenun sarung yang menggunakan 
benang mamilon sebagai hiasan untuk lebih memperindah sarung hasil 
buatannya.
Setelah selesai, maka benang hasil proses meng-hani/ kasoro pasti 
akan ada yang tersisa pada ujungnya sehingga benang ini akan digunting 
dan jadila selembar kain. Kemudian kain yang telah jadi tersebut untuk 
menjadikannya selembar sarung, maka terlebih dahulu harus diukur 
disesuaikan dengan panjang selembar sarung dan dijahit sehingga jadilah 
selembar sarung tenun adat muna.
Waktu yang dibutuhkan dalam proses meng-hani/ kasoro yaitu kurang 
lebih 3 jam untuk selembar sarung. Saat ini benang yang digunakan tidak 
ada lagi yang dibuat sendiri oleh si penenun, tetapi sudah merupakan 
benang hasil produksi pabrik. Benang tersebut dibeli di pasar atau di 
toko-toko yang menjual benang tersebut. Sedangkan proses menenun 
dibutuhkan waktu sekitar satu minggu untuk menyelesaikan selembar 
sarung. Namun waktu yang dibutuhkan untuk penyelesaian proses menenun 
ini relatif. Hal ini dikarenakan tergantung pada pada keuletan dari si 
penenun tersebut. Selain itu, waktu penyelesaiannya juga tergantung dari
 ketekunan penenun dan banyak atau tidaknya corak atau bunga yang akan 
dibuat pada selembar sarung tenun ini. Pada benang biasa pembelian 
dilakukan per dos yang berisi 12 gulung dalam satu dos dengan harga 13 
hingga 14 rubu rupiah per dosnya. Sedangkan untuk benang mamilin atau 
benang nilon, pembelian dilakukan per gulung dengan harga 16 ribu rupiah
 per gulungnya.
Dalam pembuatan selembar sarung, dibutuhkan benang sebanyak 3 dos 
atau ditambah lagi dengan benang mamilon apabila pembuatan sarung tenun 
tersebut juga menggunakan benang mamilon. Biaya yang digunakan untuk 
membuat selembar sarung tenun secara keseluruhan yaitu sebesar 42 ribu 
rupiah hingga 70 ribu rupiah yang disesuaikan dengan jenis sarung yang 
akan dibuat. Semakin banyak benang mamilon yang digunakan, maka akan 
semakin banyak pula biaya yang akan dikeluarkan karena harga benang 
mamilon yang cukup mahal. Hal ini karena ada sarung tenun yang hanya 
menggunakan benang biasa saja namun ada pula yang menggunakan benang 
mamilon sehingga biayanya lebih mahal.
Sarung tenun yang telah jadi selain untuk dipakai sendiri, juga 
untuk dijual ke pasar-pasar atau kepada para pembeli yang langsung 
datang ke tempat penenunan sarung warga. Selain itu juga sebagian warga 
menjual sarung hasil tenunannya kepada para pengumpul atau penada yang 
juga merupakan warga di daerah tersebut. Saat ini menurut salah seorang 
informan menyatakan bahwa masyarakat setempat masih menjalin kerjasama 
dengan Dekranas Propinsi namun tidak terlalu intens lagi. 
Kegiatan-kegiatan yang pernah dilakukan yaitu seperti pelatihan 
pembuatan zat pewarna dan pameran sarung tenun adat muna yang 
diselenggarakan oleh Dekranas propinsi kerjasama dengan pengumpul dan 
masyarakat setmpat. Pada beberpa jenis sarung yang telah lama yang 
dibuat oleh masyarakat Desa Masalili yang sampai saat ini masih 
dilestarikan. Berikut adalah tabel nama sarung dan harga jualnya:
| 
 
NO 
 | 
 
JENIS SARUNG TENUN 
 | 
 
HARGA SARUNG TENUN 
 | 
| 
 
1 
2 
3 
4 
5 
6 
7 
8 
9 
10 
11 
12 
13 
14 
15 
16 
 | 
 
Bhotu + Salenda 
Samasili+ Salenda 
Bharalu 
Jhalima 
Gunung-Gunung 
Kambeano Bhanggai 
Lejha 
Kaparanggigi 
Bhia-Bhia 
Paghino Toghe 
Katamba Gawu 
Manggo-Manggopa 
Kapododo 
Lante-Lante 
Koburino 
Finding Konini 
 | 
 
Rp 300.000,- 
Rp 300.000,- 
Rp 175.000,- 
Rp 175.000,- 
Rp 250.000,- 
Rp 175.000,- 
Rp 150.000,- 
Rp 200.000,- 
Rp 150.000,- 
Rp 175.000,- 
Rp 175.000,- 
Rp 175.000,- 
- 
- 
- 
- 
 | 
Dari semua jenis sarung tenun diatas, terdapat delapan jenis sarung tenun adat yang telah dipatenkan yaitu sebagai berikut:
1.      Bhotu                                            5.  Lejha
2.      Samasili                                         6.  Findang Konini
3.      Bharalu                                          7.  Kaso-Kasopa
4.      Manggo-Manggopa                       8.  Bhia-Bhia
Berdasarkan tingkat kesulitan pembuatan sarung tenun, berikut ini 
berturut-turut dari yang sulit ke yang mudah pembuatannya yaitu bhotu, 
samasili, bharalu, gunung-gunung, jhalima, kambeano bhanggai, lejha, 
kaparanggigi, bhia-bhia, paghino toghe, katamba gawu dan 
manggo-manggopa. Tingkat kesulitan pembuatan sarung tenun tersebut 
diukur dari seberapa banyak bunga atau corak yang terdapat pada jenis 
sarung tenun. Demikian pula dengan fariasi warna yang digunakan. Semakin
 banyak fariasi bunga atau corak yang terdapat pada jenis sarung 
tersebut, semakin tinggi pula tingkat kesulitannya. Satu jenis sarung 
bisa saja diubah warna dan coraknya namun pola yang telah ada pada 
sarung tenun tersebut tidak dapat diubah karena akan menyebabkan 
terjadinyapengubahan bentuk pada jenis sarung yang telah ada.
Sarung Bhotu (bheta bhotu) yaitu sarung yang khusus digunakan oleh 
para golongan Kaomu sebagai salah satu pakaian yang wajib digunakan 
dalam resepsi-resepsi atau acara-acara adat. Hal ini juga sebagai salah 
satu cara menunjukkan identitas mereka di masyarakat sebagai seorang 
bangsawan karena gelar seorang bangsawan dalam masyarakat sangat 
dihormati dan dihargai. Ciri-ciri khas yang terdapat pada sarung tenun 
bhotu yaitu warnanya yang keemasan dengan warna dasar biru tua dan 
bagian atasnya terdapat garis berwarna keemasan. Selain itu, sarung 
tenun bhotu juga memiliki corak atau bunga yang berwarna keemasan dengan
 garis-garisnya yang vertical.
  | 
Demikian pula sarung tenun Samasili (bheta samasili) yang juga 
merupakan sarung yang digunakan oleh golongan Kaomu dalam acara-acara 
atau resepsi-resepsi adat yang memiliki ciri-ciri garis mendatar 
berwarna keemasan dengan warna dasar biru tua. Kemudian ciri lain yang 
dimiliki oleh sarung Samasili yaitu garis-garis vertikal yang berwarna 
biru tua. Warna keemasan yang tegak ke atas berpotongan dengan warna 
biru tua yang mendatar dengan bagian belakang atau kepalanya yang 
memiliki garis-garis kecil vertikal yang berwarna biru tua pula.
  | 
Sarung Bharalu (bheta bharalu) yaitu sarung yang khusus digunakan 
atau dipakai oleh para golongan Sara. Ciri-ciri yang terdapat pada 
sarung tenun Bharalu yaitu pada bagian atasnya terdapat garis yang 
berwarna silver kemudian pada bagian bawahnya terdapat warna hitam. 
Selanjutnya yaitu pada bagian bawah setelah warna hitam terdapat lagi 
warna merah maron dan pada bagian tengahnya terdapat warna 
kehitam-hitaman yang dihiasi dengan garis-garis kecil berwarna keemasan.
 Selanjutnya pada bagian bawahnya lagi berturut-turut sebagaimana warna 
yang ada di atas tadi. Sedangkan sarung tenun Manggo-Manggopa (bheta 
mango-manggopa) yang juga merupakan sarung tenun adat muna yang 
digunakan atau dipakai oleh para golongan Sara memiliki ciri-ciri warna 
yang cerah dengan permukaannya memiliki garis-garis melingkar. Sarung 
ini cukup mudah dalam proses pembuatannya kerena hanya merupakan 
garis-garis melingkar yang ada pada sarung tersebut.
  | 
Sarung tenun Kaso-Kasopa (bheta kaso-kasopa) yaitu sarung tenun 
yang digunakan atau dipakai khusus oleh golongan Walaka. Ciri-ciri yang 
terdapat pada sarung Kaso-Kasopa ini yaitu pada bagian atasnya ada garis
 warna silver melingkat yang agak tebal dan kemudian diikuti pada bagian
 bawah warna silver tersebut dengan warna biru tua. Selanjutnya secara 
selang seling sampai kebawah setelah warna biru tua diikuti dengan garis
 kecil melingkar berwarna silver.
  | 
Kemudian sarung tenun Lejha (bheta lejha) juga merupakan sarung 
yang khusus digunakan oleh golongan Walaka dalam urusan-urusan yang 
terkait dengan adat-istiadat. Ciri-ciri yang terdapat pada sarung tenun 
Lejha yaitu benang yang digunakan secara keseluruhan hanya merupakan 
benang biasa dengan berbagai macam warna yang berbeda tanpa menggunakan 
benang mamilon atau benang nilon. Pada bagian atasnya terdapat warna 
biru tua yang diikuti bagian bawahnya terdapat garis-garis kecil 
melingkar yang berwarna kuning, merah maron, dan warna putih. 
Selanjutanya terdapat lagi warna biru tua pada bagian bawahnya yag 
diikuti dengan merah, putih dan kuning. Demikian secara selang seling 
warna biru tua dengan garis-garis kecil yang berwarna kuning, merah 
maron dan putih sampai ke bawah.
  | 
Sarung tenun yang juga menjadi pakaian khusus oleh para golongan 
Walaka yaitu sarung tenun Bhia-Bhia (bheta bhia-bhia). Sebagaimana 
ciri-ciri yang terdapat pada sarung tenun Lejha, pada sarung tenun 
Bhia-Bhia juga tidak menggunakan benang mamilon atau benang nilon namun 
bahan dasarnya hanya menggunakan benang biasa dengan fariasi warna yang 
berbeda-beda. Ciri-ciri utama yang terdapat pada sarung tenun Bhia-Bhia 
ini yaitu berupa garis-garis melingkar dengan ukuran kecil dari atas 
sampai ke bawah dan yang menjadi pembeda antara garis yang satu dengan 
garis yang lainnya hanya pada warnanya saja. Warna yang terdapat pada 
sarung tenun Bhia-Bhia ini yaitu berupa warna hitam, kuning, hijau dan 
merah maron. Warna-warna tersebut secara selang-seling dari atas sampai 
ke bawa.
  | 
Selanjutanya yang menjadi sarung khusus golongan Walaka yaitu 
sarung tenun Findang Konini (bheta findang konini). Ciri-ciri utama yang
 terdapat pada sarung tenun Findang Koniniini yaitu pada bagian atas 
sarungnya terdapat garis yang agak tebal berwarna silver dan keemasan 
saling tindih-menindih. Sedangkan pada bagian bawahnya setelah warna 
silver dan keemasan tersebut terdapat bentuk kotak-kotak kecil persegi 
empat berwarna hitam yang bagian pinggir dari kotak-kotak kecil persegi 
empat tersebut dihiasi dengan warna keemasan. Kemudian setelah itu, 
tedapat garis melingkar yang berwarna merah muda atau merah jambu. Pola 
di atas secara berturut-turut tersusun sampai ke bawah dan pada bagian 
sarung tenun Findang Konini ini terdapat lagi warna silver dan keemasan.
 Pola-pola seperti di atas dalam pembuatan sarung tenun adat akan 
membutuhkan keahlian khusus dari penenunnya.
  | 
Sebagai catatan yang berkaitan dengan corak atau bunga dan warna 
sarung tenun yang dibuat di Desa Masalili bahwa warna sarung bisa saja 
berubah atau berganti warna namun pola yang telah ada tidak dapat 
diubah. Pola tersebut merupakan ciri khusus atau pembeda antara jenis 
sarung yang satu dengan jenis sarung yang lain sehingga pola ini tidak 
akan dapat diubah lagi.
Sarung tenun adat muna dipakai pada saat ada acara-acara atau 
resepsi-resepsi adat seperti pelamaran dan pernikahan. Jenis corak 
sarung yang dugunakan tergantung pada stratifkasi sosial orang yang 
memakainya dalam masyarakat. Biasanya para penenun ketika ada yang akan 
membeli hasil sarung tenunan mereka, terlebih dahulu para penenun 
bertanya kepada para pembeli tentang stratifikasinya, tentunya dengan 
bahasa yang sangat sopan agar pembelinya tidak merasa tersinggung. Hal 
ini dilakukan agar pada saat pemakaian sarung tenun adat muna tersebut 
tidak terjadi kesalahan pemakainya sehingga dalam masyarakat akan ada 
cemoohan. Namun saat ini, stratifikasi sosial bagi sebagian masyarakat 
yang lain sudah mulai memudar seiring dengan perkembangan wilayah 
tersebut. Orang-orang membeli sarung tenun adat muna tidak lagi melihat 
stratifikasi sosialnya, tetapi mereka membeli atau memakai sesuai dengan
 selera dan yang mereka inginkan terutama orang-orang yang berasal dari 
daerah lain.
Pada masyarakat muna, terdapat stratifikasi sosial yang 
berlaku dalam masyarakat. Stratifikasi sosial tersebut terbagi menjadi 
tiga tingkatan. Tingkatan yang pertama disebut dengan Golongan Kaomu . 
Golongan Kaomu merupakan golongan bangsawan yang berhak untuk 
menjadi raja dalam struktur sosial atau stratifikasi sosial masyarakat 
pada kerajaan Muna. Golongan ini di tandai dengan kata ‘La Ode’ bagi 
laki-laki atau ‘Wa Ode’ bagi perempuan pada awal namanya.
Tingkatan yang kedua disebut dengan Golongan Sara. Golongan Sara adalah orang-orang yang duduk dalam pemerintahan kerajaan yaitu seperti lembaga
 yang berhak menetapkan hukum, mengangkat dan memberhentikan Raja pada 
sistem pemerintahan Kerajaan Muna. Golongan ini tidak mempunyai 
ciri-ciri tertentu pada namanya namun yang membedakan dengan golongan di
 bawahnya hanya pada struktur jabatan yang dipegangnya.
Kemudian tingkatan yang ketiga yaitu golongan Walaka. Golongan Walaka merupakan golongan
 yang berhak menjabat pada jabatan legislatif, yudikatif dan 
pemerintahan di bawah Raja pada struktur sosial kerajaan Muna. 
Stratifikasi sosial masyarakat muna tersebut kemudian tergambar atau 
terlihat pada jenis sarung tenun adat yang digunakan atau yang dipakai 
oleh masing-masing golongan. Berdasarkan stratifikasi sosial pemakainya,
 maka berikut ini tabel jenis sarung tenun adat muna berdasarkan 
stratifikasi sosial pemakainya:
| 
 
NO. 
 | 
 
STRATIFIKASI SOSIAL 
 | 
 
JENIS SARUNG YANG DIPAKAI 
 | 
| 
 
1 
 | 
 
Kaomu 
 | 
  | 
  | 
||
| 
 
2 
 | 
 
Sara 
 | 
  | 
  | 
||
| 
 
3 
 | 
 
Walaka 
 | 
  | 
  | 
||
  | 
||
  | 
            Kemudian ada pula jenis sarung tenun adat muna yang biasa digunakan oleh kaum perempuan yang masih muda yaitu:
- Kaso-Kasopa
 - Bhia-Bhia
 
Jenis sarung tenun ini lebih disukai oleh kaum perempuan muda 
karena warnanya yang cerah dan sangat sederhana coraknya yaitu hanya 
berbentuk garis-garis tanpa ada bunga. Selain menggunakan benang biasa 
yang lebih cerah warnanya, jenis sarung tenun ini juga menggunakan 
benang mamilon sebagai salah satu bahan pembuatannya sehingga lebih 
menambah kecemerlangan warnanya.
Selain terdapat pembagian jenis sarung tenun berdasarkan 
stratifikasi sosialnya, ada pula cara pemakaiannya yang juga berdasarkan
 stratifikasi masyarakat muna yaitu:
1.      Golongan Kaomu, cara pemakaian sarungnya yaitu kain 
sarungnya berada diatas lutut. Dalam masyarakat muna semakin keatas 
pemakaian sarungnya disebutkan semakin dalam pemakaiannya. Sebaliknya 
semakin ke bawah pemakaian sarungnya disebutkan semakin dangkal 
pemakaiannya.
2.      Pada golongan Sara, cara pemakaian sarungnya yaitu kain 
sarungnya berada di bawah lutut. Panjang kain sarung yang berada di 
bawah lutut tersebut lebih kurang 2 cm.
3.      Kemudian pada golongan Walaka, cara pemakaian sarungnya 
yaitu kain sarungnya berada di bawah lutut lebih dangkal lagi. Panjang 
kain sarung yang berada di bawah lututnya yaitu lebih kurang 40 cm atau 
satu jengkal tangan.
Pemakaian kain sarung tenun adat saat ini sudah tidak lagi sesuai 
dengan ketentuan stratifikasi sosial masyarakatnya karena kurangnya 
pengetahuan generasi masa kini terhadap adat-istiadat yang telah 
terlupakan. Pada saat ini, hanya sebagian orang-orang tua atau 
tetua-tetua adat yang masih memegang teguh adat tersebut sehingga tidak 
jarang pula ditemukan para tetua adat ketika pergi ke acara-acara atau 
resepsi-resepsi adat tertentu masih memegang kuat adat-istiadat cara 
pemakaian sarung tenun adat tersebut.
Pada masyarakat Desa Masalili ada kepercayaan yang terkait dengan 
cara pembuatan sarung tenun adat muna. Cara pembuatan sarung tenun adat 
muna yang dimaksud yaitu pada sambungan jahitannya. Ada ukuran tertentu 
yang harus disesuaikan dengan ukuran tubuh pemakainya. Sehingga pada 
saat memakai sarung tenun tersebut, diusahakan tidak terlihat sambungan 
jahitannya serta kepala sarungnya juga harus benar-benar berada di 
belakang pemakainya. Kepercayaan yang dimaksud yaitu apabila sambungan 
jahitan pada sarung tenun tersebut terlihat pada saat pemakaiannya dan 
bepergian untuk resepsi-resepsi atau acara-acara adat, maka dipercaya 
atau diyakini bahwa akan ada hambatan-hambatan dalam pelaksanaan acara 
atau resepsi adat tersebut. Hal ini juga terkait dengan penghargaan 
kepada orang lain yang akan melaksanakan resepsi adat tersebut. Dimana 
ketika seseorang yang mempunyai urusan adat dengan orang lain maka orang
 yang mempunyai urusan adat tersebut harus sebaiknya datang dengan 
berpakaian adat karena hal itu akan menunjukkan rasa hormat atau 
penghargaan kepada orang lain yang menjadi tempat berurusan adatnya 
tersebut.
Sudah sering terjadi seseorang tidak diterima urusan adatnya bahkan
 disuruh pulang untuk mengganti pakaiannya dengan pakaian adat muna. Hal
 ini terjadi karena ketika mereka datang ke rumah seseorang dengan 
keperluan adatnya, mereka tidak memakai pakaian adat sehingga mereka 
harus harus pulang untuk mengganti pakaian mereka dengan pakaian adat 
muna. Salah satu contoh kasus yang pernah terjadi Berdasarkan informasi 
dari salah seorang warga di Desa Masalili yaitu pernah ada seorang pria 
yang akan menikah. Maka, keluarga si pria ini pun pergilah ke rumah 
orang tua dari si gadis yang akan dilamarnya tersebut. Sesampainya di 
rumah orang tua gadis tersebut, maka merekapun bersalam dan langsung 
disambut oleh si tuan rumah. Setelah beberapa lama bercerita, maka 
keluarga dari si pria ini mulai menyampaikan maksud kedatangan mereka. 
Setelah mendengar maksud dari kedatangan keluarga si pria tersebut, maka
 orang tua si gadis langsung menyampaikan permohonan maafnya agar dalam 
urusan adat, maka sebaiknya menggunakan tata cara adat  dan berpakaian 
adat. Maka pada saat itu, lamaran keluarga pria tadi belum diterima 
sehingga mereka harus pulang terlebih dahulu untuk mengganti pakaian 
mereka dengan pakaian adat muna. Berdasarka contoh kasus tersebut, maka 
tampak bahwa pakaian adat muna yang salah satunya adalah sarung tenun 
adat muna sangat memiliki makna yang mendalam bagi suku muna itu 
sendiri.
B.  Fungsi sarung tenun Muna dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
C.  Cara orang Muna mempertahankan tradisi menenun di kalangan perempuan Muna
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran-saran
DAFTAR PUSTAKA
Atiru, Nur Rachma
            1992    Mekanisme Pembuatan Sarung Buton dan Masalah-Masalahnya, 
Di Kelurahan Melai Kecamatan Betoambari Kabupaten Buton, Skripsi Sosialogi Fisip Unhalu, Kendari.
Colleta, Nat J., Umar Kayam
1987    Kebudayaan dan Pembangunan, Sebuah Pendekatan Terhadap Antroplogi Terapan di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Difinubun, Mujuna
2001    Deskripsi Tentang Kain Tenun Tradisional Masyarakat Buton (Studi di Kelurahan Melai Kecamatan Betoambari Kota Bau-Bau), Skripsi Pendidikan Sejarah FKIP Unhalu, Kendari.
Endraswara, Suwardi
2003    Metode Penelitian Kebudayaan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Herusatoto, Budiono
2001    Simbolisme Dalam Budaya Jawa, Hanindita Graha Widia, Yogyakarta.
Kartiwa, Suwati
            1983    Tenun Ikat Indonesia, djambatan, Jakarta.
Koentjaraningrat
            1974    Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta.
            1990    Pengantar Ilmu Antroplogi, Rineka Cipta, Jakarta.
Melalatoa, M.J
1988    Pesan Budaya dalam Kesenian, Berita Antroplogi, No. 45 XII Januari-Maret.
            1991    Tenun, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Cipta Adi Pusaka, Jakarta.
Melalatoa, M.J & Sri Murni
1997    “Kebudayaan Sumba dalam Tenun Ikat” Dalam Sistem Budaya Indonesia, Pemator, Jakarta.
Mulyadi, Yad
1999    Antropologi : untuk Sekolah Menengah Umum Kelas 3, Program Studi Ilmu Pengetahuan Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Peursen, C.A Van
            1975    Strategi Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta.
Silalahi, B
            1995    “Isen Batik” dalam Majalah Dharma Wanita No. 102.
Spradley, James P
1997    Metode Etnografi (Terjemahan oleh Misbah Zulfa Elizabeth), Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta.
Tarimana Abdurrauf
            1988    Kebudayaan Tolaki, Balai Pustaka, Jakarta.
Turner, Victor
1989    Masyarakat Bebas Struktur, Liminalitas dan Komunitas (Terjemahan) oleh Wartaya Winangun), Kanisius Yogyakarta
Friday, July 5, 2013
Subscribe to:
Comments (Atom)





































































