Antara Kita dan Dunia
Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang di München, Jerman
Awal 2014, masyarakat Ukraina sedang mengalami krisis
politik. Demonstrasi besar berakhir dengan kekerasan yang terus
berkelanjutan. Oposisi, yang mendapat dukungan besar dari rakyat
Ukraina, menuntut pemilihan umum ulang. Mereka minta Presiden Viktor
Yanukovych untuk turun dari jabatan presiden.
Ketegangan di Turki juga belum berakhir. Perlawanan
terhadap pemimpin Turki sekarang, Reccep Tayyib Erdogan, terus
berlangsung. Rakyat Turki merasa hidup di dalam pemerintahan totaliter
yang menggunakan agama sebagai pembenarannya. Kebebasan diri masyarakat
semakin terinjak oleh aturan-aturan yang, menurut mereka, tidak masuk
akal.
Di Mesir, ketegangan juga masih belum mereda. Rakyat Mesir
sedang mencari bentuk tata politik untuk masa depan mereka. Mereka
ingin keluar dari tirani militer maupun agama, yang mencekik kemanusiaan
mereka. Sampai kini, tegangan politik masih terus berlangsung. Banyak
orang ditahan paksa, dan belum menemukan keadilan, sampai sekarang.
Kota Hamburg di Jerman juga masih mengalami ketegangan
politik. Ribuan orang melakukan demonstrasi besar di kota itu. Kekerasan
pun tak dapat dihindari, sampai sekarang. Misi utama mereka satu, yakni
melawan kecenderungan Hamburg menjadi kota milik orang-orang kaya,
dimana harga sewa rumah menjadi begitu mahal, dan orang-orang kelas
menengah ke bawah terus terpinggirkan.
Apa yang sama dari empat peristiwa di empat kota yang
berbeda ini? Yang sama adalah hubungan yang kerap kali rumit antara
manusia dan dunianya, antara kita dan dunia. Ketika kita lahir, kita
selalu lahir dalam konteks tertentu, yakni dunia orang tua kita. Konteks
ini menentukan sekaligus cara berpikir dan cara hidup kita sebagai
manusia.
Kita dan Dunia
Apa yang kita sebut sebagai dunia, sebenarnya adalah hasil
dari pikiran dan tindakan kita bersama sebagai suatu kelompok. Apa yang
disebut sebagai “Jakarta”, Kairo”, “München” atau “Istanbul” sebenarnya
bukanlah kenyataan yang mutlak, melainkan bentukan dari pikiran dan
tindakan bersama kita sebagai manusia. Pikiran dan tindakan bersama yang
berulang akhirnya menciptakan pola bersama. Pola itulah yang kini
menjadi “dunia”.
Di sisi lain, diri kita juga amat dipengaruhi oleh
masyarakat kita. Cara kita berpikir, cara kita berbicara sampai dengan
kepercayaan kita pada Tuhan amat dipengaruhi oleh masyarakat kita.
Pendek kata, dunia, yang kita ciptakan, juga membentuk kita. Pada titik
ini, setidaknya dua pertanyaan muncul: dunia macam apa yang ingin kita
bangun sebagai manusia? Dan, hidup macam apa yang ingin kita jalani di
dunia ini?
Saya ingin menawarkan pemikiran atas dua pertanyaan ini.
Kita, tentunya, ingin hidup yang bermakna. Kita ingin menjalani hidup
yang utuh dan penuh sebagai manusia. Kebahagiaan adalah akibat dari
hidup yang bermakna ini. Makna, keutuhan dan kepenuhan hidup hanya bisa
kita capai, jika kita mencoba untuk menemukan suara kita sendiri, yang
lahir dari batin terdalam.
Dunia macam apa?
Maka, kita ingin hidup di suatu masyarakat, dimana suara
pribadi kita mendapat tempat. Kita ingin hidup di suatu masyarakat,
dimana keunikan pribadi bukanlah sesuatu yang aneh, tetapi sesuatu yang
dirindukan. Kita ingin hidup di suatu masyarakat yang mendorong kita
untuk menemukan suara kita sendiri. Dari masyarakat semacam itu, lalu
kita bisa menjalani hidup yang asli dan bermakna.
Kita juga ingin hidup di dunia, dimana rasa takut tidak
menjadi yang utama. Kita tidak ingin ditekan oleh rasa takut, ketika
gagal. Kita membutuhkan bantuan, dan bukan hukuman yang semakin
memperbesar dan menyebarkan rasa takut tersebut. Kita tidak ingin hidup
terus dalam rasa takut, ketika pada usia tertentu, kita belum lulus
sekolah, belum menikah atau belum punya pekerjaan tetap. Kita ingin
didukung, dan bukan dicekam dengan rasa takut.
Kita juga ingin di suatu masyarakat, dimana uang bukanlah
Tuhan. Kita ingin tinggal di masyarakat, dimana harkat dan martabat kita
sebagai manusia tidak diukur dari seberapa besar pendapatan kita per
bulan. Kita juga ingin hidup di masyarakat, dimana kepemilikan mobil dan
rumah tidak menjadi ukuran pribadi kita sebagai manusia. Kita ingin
hidup di masyarakat, dimana uang hanyalah salah satu cara untuk mencapai
kebaikan, dan bukan tujuan yang mutlak itu sendiri.
Kita juga ingin hidup di sebuah dunia, dimana kesuksesan
material (uang dan harta) bukanlah tanda jati diri manusia. Kita ingin
hidup di sebuah dunia, dimana setiap orang tidak hanya bekerja untuk
menumpuk harta seumur hidupnya, seolah itu adalah yang terpenting dalam
hidup. Kita tidak ingin hidup di sebuah dunia, dimana orang yang tidak
sukses dianggap lebih rendah. Kita ingin hidup di dunia, dimana
kesuksesan materi hanya merupakan tanda kecil yang tak berarti, jika
dibandingkan dengan kemanusiaan kita.
Kita ingin hidup di sebuah masyarakat, dimana manusia
adalah ukuran yang tertinggi. Di dalam masyarakat ini, kita ingin
diperlakukan sebagai manusia, bukan karena kekayaan atau kesuksesan,
tetapi karena keberadaan kita seadanya. Sebaliknya, kita pun juga ingin
memperlakukan orang lain lebih tinggi daripada uang, atau segala
kekayaan material lainnya. Robert Reich, di dalam bukunya yang berjudul Aftershock, menyebutnya: ekonomi yang menjadikan manusia sebagai pusat.
Manusia macam apa?
Dunia semacam ini tidak datang dengan sendirinya. Kita
harus berusaha bersama-sama mewujudkannya. Kawan-kawan kita yang
tersebar di Ukraina, Turki, Jerman dan Mesir ingin mewujudkan dunia
semacam itu. Mereka mempertaruhkan hidup mereka, guna mewujudkan dunia
yang lebih baik.
Ingatlah, bahwa dunia bukanlah sesuatu yang mutlak,
melainkan hasil karya kita bersama, melalui pikiran dan tindakan kita
yang dilakukan secara rutin dan berkelompok. Kita pun, sebagai pribadi
maupun sebagai kelompok, juga harus mengubah diri kita, dan cara kita
hidup. Kita harus bergerak dari hati kita untuk menemukan suara hidup
kita yang asli. Kita harus belajar untuk menolak hidup dalam
bayang-bayang rasa takut, dan berjuang mewujudkan mimpi terdalam kita.
Kita juga tidak boleh mengukur manusia dengan uang. Kita
tidak boleh mata duitan, yakni melihat segala sesuatu dengan ukuran
untung rugi ekonomis. Kita juga harus memikirkan ulang arti sukses dalam
hidup kita. Dan, di atas semua ini, kita perlu menempatkan manusia
sebagai pusat dari segalanya, dan bukan budak atas sistem yang sudah
ada. Kebahagiaan tertinggi adalah dalam hubungan dengan orang lain, maka
kita harus menata ulang prioritas kita: bukan materi, tetapi relasi.
Maka, untuk mengubah dunia menjadi tempat yang bermakna,
kita pun juga harus mengubah diri kita secara pribadi. Perubahan ini
dilakukan secara berulang, dan dalam kerja sama dengan orang-orang
lainnya, yang pasti memiliki keinginan yang sama. Rasa putus asa pasti
datang menggoda, sehingga kita ingin mundur dari usaha kita. Namun,
dengan tekad baja dan dukungan teman-teman yang memiliki visi serupa,
harapan masih terus ada, dan kita masih bisa terus berjuang.
Dunia yang lain
Kawan-kawan di Kiev (Ukraina), Istanbul, Ankara, Kairo dan
Hamburg memiliki mimpi yang sama, yakni dunia yang lebih baik. Dunia
yang bermakna untuk semua, bukan hanya untuk segelintir orang kaya dan
berkuasa semata. Mereka kemudian bertekad dan bekerja sama, guna
mengubah keadaan. Mereka mempertaruhkan hidup mereka, guna memperoleh
hidup yang lebih baik.
Di dalam hidup, kita selalu punya masalah. Ia datang
menimpa kita, seringkali tanpa henti. Namun, kita tak boleh putus asa.
Kita harus yakin, bahwa lepas dari segala masalah yang ada, tetap ada
cara untuk melampauinya. Keyakinan itulah yang mesti kita rawat bersama.
Dunia adalah hasil dari pikiran dan tindakan kita bersama.
Kita pun hidup di bawah pengaruh besar, dari dunia yang kita ciptakan.
Dan karena dunia itu adalah hasil dari pikiran dan tindakan kita
bersama, maka ia tidak mutlak. Perubahan lalu menjad kemungkinan yang
menunggu untuk diwujudkan.
Indonesia pun bukanlah sesuatu yang mutlak. Ia terlahir
dari visi, pikiran dan tindakan kita bersama sebagai bangsa. Ia bukanlah
kenyataan mutlak yang tak bisa diubah, seburuk apapun kenyataan itu.
Kita bisa mengubahnya menjadi tempat, dimana segala suara pribadi
dihargai, dan manusia duduk di tempat yang utama, bukan uang, agama,
harta, atau kuasa.
Maka, dunia yang lain itu mungkin. Hidup yang lain, yang
lebih baik untuk semua, itu mungkin. Indonesia yang lain, yang lebih
baik untuk semua, itu juga mungkin. Tinggal kita yang merendanya.
0 comments:
Post a Comment