Mieno Mabolu KUNE

kasdinmabolu.blogspot.com

Tuesday, March 25, 2014

Kasdin Antara Kita dan Dunia

Antara Kita dan Dunia

tumblr.com
tumblr.com
Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang di München, Jerman
Awal 2014, masyarakat Ukraina sedang mengalami krisis politik. Demonstrasi besar berakhir dengan kekerasan yang terus berkelanjutan. Oposisi, yang mendapat dukungan besar dari rakyat Ukraina, menuntut pemilihan umum ulang. Mereka minta Presiden Viktor Yanukovych untuk turun dari jabatan presiden.
Ketegangan di Turki juga belum berakhir. Perlawanan terhadap pemimpin Turki sekarang, Reccep Tayyib Erdogan, terus berlangsung. Rakyat Turki merasa hidup di dalam pemerintahan totaliter yang menggunakan agama sebagai pembenarannya. Kebebasan diri masyarakat semakin terinjak oleh aturan-aturan yang, menurut mereka, tidak masuk akal.
Di Mesir, ketegangan juga masih belum mereda. Rakyat Mesir sedang mencari bentuk tata politik untuk masa depan mereka. Mereka ingin keluar dari tirani militer maupun agama, yang mencekik kemanusiaan mereka. Sampai kini, tegangan politik masih terus berlangsung. Banyak orang ditahan paksa, dan belum menemukan keadilan, sampai sekarang.
Kota Hamburg di Jerman juga masih mengalami ketegangan politik. Ribuan orang melakukan demonstrasi besar di kota itu. Kekerasan pun tak dapat dihindari, sampai sekarang. Misi utama mereka satu, yakni melawan kecenderungan Hamburg menjadi kota milik orang-orang kaya, dimana harga sewa rumah menjadi begitu mahal, dan orang-orang kelas menengah ke bawah terus terpinggirkan.
Apa yang sama dari empat peristiwa di empat kota yang berbeda ini? Yang sama adalah hubungan yang kerap kali rumit antara manusia dan dunianya, antara kita dan dunia. Ketika kita lahir, kita selalu lahir dalam konteks tertentu, yakni dunia orang tua kita. Konteks ini menentukan sekaligus cara berpikir dan cara hidup kita sebagai manusia.
Kita dan Dunia
Apa yang kita sebut sebagai dunia, sebenarnya adalah hasil dari pikiran dan tindakan kita bersama sebagai suatu kelompok. Apa yang disebut sebagai “Jakarta”, Kairo”, “München” atau “Istanbul” sebenarnya bukanlah kenyataan yang mutlak, melainkan bentukan dari pikiran dan tindakan bersama kita sebagai manusia. Pikiran dan tindakan bersama yang berulang akhirnya menciptakan pola bersama. Pola itulah yang kini menjadi “dunia”.
Di sisi lain, diri kita juga amat dipengaruhi oleh masyarakat kita. Cara kita berpikir, cara kita berbicara sampai dengan kepercayaan kita pada Tuhan amat dipengaruhi oleh masyarakat kita. Pendek kata, dunia, yang kita ciptakan, juga membentuk kita. Pada titik ini, setidaknya dua pertanyaan muncul: dunia macam apa yang ingin kita bangun sebagai manusia? Dan, hidup macam apa yang ingin kita jalani di dunia ini?
Saya ingin menawarkan pemikiran atas dua pertanyaan ini. Kita, tentunya, ingin hidup yang bermakna. Kita ingin menjalani hidup yang utuh dan penuh sebagai manusia. Kebahagiaan adalah akibat dari hidup yang bermakna ini. Makna, keutuhan dan kepenuhan hidup hanya bisa kita capai, jika kita mencoba untuk menemukan suara kita sendiri, yang lahir dari batin terdalam.
Dunia macam apa?
Maka, kita ingin hidup di suatu masyarakat, dimana suara pribadi kita mendapat tempat. Kita ingin hidup di suatu masyarakat, dimana keunikan pribadi bukanlah sesuatu yang aneh, tetapi sesuatu yang dirindukan. Kita ingin hidup di suatu masyarakat yang mendorong kita untuk menemukan suara kita sendiri. Dari masyarakat semacam itu, lalu kita bisa menjalani hidup yang asli dan bermakna.
Kita juga ingin hidup di dunia, dimana rasa takut tidak menjadi yang utama. Kita tidak ingin ditekan oleh rasa takut, ketika gagal. Kita membutuhkan bantuan, dan bukan hukuman yang semakin memperbesar dan menyebarkan rasa takut tersebut. Kita tidak ingin hidup terus dalam rasa takut, ketika pada usia tertentu, kita belum lulus sekolah, belum menikah atau belum punya pekerjaan tetap. Kita ingin didukung, dan bukan dicekam dengan rasa takut.
Kita juga ingin di suatu masyarakat, dimana uang bukanlah Tuhan. Kita ingin tinggal di masyarakat, dimana harkat dan martabat kita sebagai manusia tidak diukur dari seberapa besar pendapatan kita per bulan. Kita juga ingin hidup di masyarakat, dimana kepemilikan mobil dan rumah tidak menjadi ukuran pribadi kita sebagai manusia. Kita ingin hidup di masyarakat, dimana uang hanyalah salah satu cara untuk mencapai kebaikan, dan bukan tujuan yang mutlak itu sendiri.
Kita juga ingin hidup di sebuah dunia, dimana kesuksesan material (uang dan harta) bukanlah tanda jati diri manusia. Kita ingin hidup di sebuah dunia, dimana setiap orang tidak hanya bekerja untuk menumpuk harta seumur hidupnya, seolah itu adalah yang terpenting dalam hidup. Kita tidak ingin hidup di sebuah dunia, dimana orang yang tidak sukses dianggap lebih rendah. Kita ingin hidup di dunia, dimana kesuksesan materi hanya merupakan tanda kecil yang tak berarti, jika dibandingkan dengan kemanusiaan kita.
Kita ingin hidup di sebuah masyarakat, dimana manusia adalah ukuran yang tertinggi. Di dalam masyarakat ini, kita ingin diperlakukan sebagai manusia, bukan karena kekayaan atau kesuksesan, tetapi karena keberadaan kita seadanya. Sebaliknya, kita pun juga ingin memperlakukan orang lain lebih tinggi daripada uang, atau segala kekayaan material lainnya. Robert Reich, di dalam bukunya yang berjudul Aftershock, menyebutnya: ekonomi yang menjadikan manusia sebagai pusat.
Manusia macam apa?
Dunia semacam ini tidak datang dengan sendirinya. Kita harus berusaha bersama-sama mewujudkannya. Kawan-kawan kita yang tersebar di Ukraina, Turki, Jerman dan Mesir ingin mewujudkan dunia semacam itu. Mereka mempertaruhkan hidup mereka, guna mewujudkan dunia yang lebih baik.
Ingatlah, bahwa dunia bukanlah sesuatu yang mutlak, melainkan hasil karya kita bersama, melalui pikiran dan tindakan kita yang dilakukan secara rutin dan berkelompok. Kita pun, sebagai pribadi maupun sebagai kelompok, juga harus mengubah diri kita, dan cara kita hidup. Kita harus bergerak dari hati kita untuk menemukan suara hidup kita yang asli. Kita harus belajar untuk menolak hidup dalam bayang-bayang rasa takut, dan berjuang mewujudkan mimpi terdalam kita.
Kita juga tidak boleh mengukur manusia dengan uang. Kita tidak boleh mata duitan, yakni melihat segala sesuatu dengan ukuran untung rugi ekonomis. Kita juga harus memikirkan ulang arti sukses dalam hidup kita. Dan, di atas semua ini, kita perlu menempatkan manusia sebagai pusat dari segalanya, dan bukan budak atas sistem yang sudah ada. Kebahagiaan tertinggi adalah dalam hubungan dengan orang lain, maka kita harus menata ulang prioritas kita: bukan materi, tetapi relasi.
Maka, untuk mengubah dunia menjadi tempat yang bermakna, kita pun juga harus mengubah diri kita secara pribadi. Perubahan ini dilakukan secara berulang, dan dalam kerja sama dengan orang-orang lainnya, yang pasti memiliki keinginan yang sama. Rasa putus asa pasti datang menggoda, sehingga kita ingin mundur dari usaha kita. Namun, dengan tekad baja dan dukungan teman-teman yang memiliki visi serupa, harapan masih terus ada, dan kita masih bisa terus berjuang.
Dunia yang lain
Kawan-kawan di Kiev (Ukraina), Istanbul, Ankara, Kairo dan Hamburg memiliki mimpi yang sama, yakni dunia yang lebih baik. Dunia yang bermakna untuk semua, bukan hanya untuk segelintir orang kaya dan berkuasa semata. Mereka kemudian bertekad dan bekerja sama, guna mengubah keadaan. Mereka mempertaruhkan hidup mereka, guna memperoleh hidup yang lebih baik.
Di dalam hidup, kita selalu punya masalah. Ia datang menimpa kita, seringkali tanpa henti. Namun, kita tak boleh putus asa. Kita harus yakin, bahwa lepas dari segala masalah yang ada, tetap ada cara untuk melampauinya. Keyakinan itulah yang mesti kita rawat bersama.
Dunia adalah hasil dari pikiran dan tindakan kita bersama. Kita pun hidup di bawah pengaruh besar, dari dunia yang kita ciptakan. Dan karena dunia itu adalah hasil dari pikiran dan tindakan kita bersama, maka ia tidak mutlak. Perubahan lalu menjad kemungkinan yang menunggu untuk diwujudkan.
Indonesia pun bukanlah sesuatu yang mutlak. Ia terlahir dari visi, pikiran dan tindakan kita bersama sebagai bangsa. Ia bukanlah kenyataan mutlak yang tak bisa diubah, seburuk apapun kenyataan itu. Kita bisa mengubahnya menjadi tempat, dimana segala suara pribadi dihargai, dan manusia duduk di tempat yang utama, bukan uang, agama, harta, atau kuasa.
Maka, dunia yang lain itu mungkin. Hidup yang lain, yang lebih baik untuk semua, itu mungkin. Indonesia yang lain, yang lebih baik untuk semua, itu juga mungkin. Tinggal kita yang merendanya.

0 comments:

Post a Comment