Mieno Mabolu KUNE

kasdinmabolu.blogspot.com

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Saturday, December 29, 2012

ATURAN ASRAMA BIDIK MISI UNHALU
Oleh : KASDIN bidik misi 2012



V. PENGELOLAAN

A.   PENGELOLA

1. Pengelola program Bidikmisi di PTN terdiri atas unsur pengelola akademik dan pengelola bidang     kemahasiswaan;
2. Rektor/Direktur/KetuaPTN menerbitkan Surat Keputusan tentang Pengelola Program Bidikmisi, yang bertugas memperlancar pelaksanaan rekrutmen/ seleksi, melakukan pembinaan, monitoring dan evaluasi internal penerima Bidikmisi serta pelaporannya.

B. DANA

1. Dana untuk mahasiswa lama (on-going) PTN di bawah Kemdikbud dialokasikan melalui DIPA masing-masing PTN dan Kemenag melalui kontrak antara Ditjen Dikti dengan PTN per semester atau per tahun anggaran.
2. Penyaluran dana untuk mahasiswa baru dilakukan melalui kontrak antara Ditjen Dikti dengan PTN per semester atau per tahun anggaran;
  1. 3. PTN menyalurkan bantuan biaya hidup kepada mahasiswa per bulan atau maksimal 3 (tiga) bulan terhitung dari awal kalender akademik yang diberikan pada awal periode penyaluran melalui rekening bank yang ditunjuk. PTN berkewajiban memfasilitasi pembuatan rekening untuk masing masing penerima;
4. Penyaluran bantuan biaya hidup mahasiswa on-going (sesuai nominal yang ditentukan) dilakukan oleh KPPN setempat melalui transfer ke rekening mahasiswa sesuai permintaanRektor/Direktur/Ketua PTN. Sedangkan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan disalurkan ke rekening PTN;
5. Pada kondisi tertentu PTN/KPPN dapat menyalurkan dana bantuan tidak sesuai dengan butir (3) di atas, dengan pemberitahuan kepada Ditjen Dikti;
6. Rektor/Direktur/KetuaPTN menerbitkan Surat Keputusan tentang Bantuan Biaya Hidup yang diberikan kepada mahasiswa;
7. Untuk penyelenggaraan Program Bidikmisi, PTN dapat mengalokasikan dana pengelolaan bersumber dari DIPA perguruan tinggi atau sumber lain yang relevan;
8. PTN membuat kesepakatan penentuan besaran dan periode bantuan biaya hidup dengan PTN dalam provinsi/kabupaten/kota yang sama.

C. PEMBINAAN

1. Setelah proses penetapan, PTN memfasilitasi kedatangan pertama kali mahasiswa baru penerima Bidikmisi yang berasal dari luar kota dalam bentuk penggantian biaya perjalanan/kedatangan dan biaya akomodasi sementara (resettlement). Kelebihan dana dapat digunakan untuk biaya pengelolaan;

2. Ditjen Dikti menyediakan dana dimaksud yang diberikan bersamaan dengan kontrak untuk mahasiswa baru;
3. PTN memfasilitasi dan mengupayakan agar penerima Bidikmisi lulus tepat waktu dengan prestasi yang optimal;
4. PTN mendorong mahasiswa penerima Bidikmisi untuk terlibat di dalam kegiatan ko-kurikuler dan ekstra kurikuler serta kegiatan pengabdian kepada masyarakat sebagai bentuk pembinaan karakter dan atau kecintaan kepada bangsa dan negara;
5. Perguruan tinggi membuat perjanjian atau kontrak dengan mahasiswa penerima Bidikmisi yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak termasuk ketaatan mahasiswa terhadap peraturan perguruan tinggi terkait program Bidikmisi dan sanksi-sanksi terhadap pelanggarannya.
6. Penerima Bidikmisi yang merencanakan cuti wajib mengajukan ijin pada pengelola BidikmisiPTN selambat-lambatnya 1(satu) semester sebelumnya.
7. Penerima Bidikmisi yang mengundurkan diri dapat digantikan oleh mahasiswa yang memenuhi persyaratan penerima Bidikmisi dari angkatan yang sama dan ditetapkan melalui SK Rektor/Pimpinan PT.
8. Penggantian penerima dilaporkan ke Ditjen Dikti melalui Sistem Informasi yang sudah disediakan.

D. PENGHENTIAN BANTUAN

PTN dapat menerbitkan ketentuan khusus tentang penghentian pemberian bantuan. Secara umum pemberian bantuan dihentikan apabila mahasiswa penerima:
1. Terbukti memberikan keterangan yang tidak benar atau melakukan pelanggaran administratif pada berkas yang disampaikan;
2. Tidak memenuhi persyaratan akademik yang ditetapkan oleh perguruan tinggi penyelenggara;
3. Melakukan pelanggaran terhadap tata tertib kehidupan kampus dan peraturan lain yang berlaku di perguruan tinggi penyelenggara;
4. Divonis pengadilan melakukan pelanggaran terhadap Hukum Negara Republik Indonesia dengan hukuman setidak-tidaknya 2 (dua) tahun;
5. Mengundurkan diri;
6. Meninggal dunia.

E. PELANGGARAN PERATURAN DAN SANKSI

Hal yang dimaksud pelanggaran peraturan Bidikmisi adalah sebagai berikut:
(1) Telah memberikan keterangan yang tidak benar baik secara lisan atau tertulis;
(2) Melakukan pemalsuan dokumen pendukung pendaftaran;
(3) Mengundurkan diri setelah ditetapkan sebagai penerima Bidikmisi karena diterima pada perguruan tinggi lain;
(4) Terbukti tidak memenuhi syarat sebagai penerima Bidikmisi;
(5) Tidak menggunakan kesempatan yang telah diberikan sebagai penerima Bidikmisi sebelumnya.

Sanksi yang diberikan dapat berupa hal sebagai berikut
1. Teguran tertulis kepada pendaftar dan satuan pendidikan dari instansi terkait apabila terbukti melakukan pelanggaran butir (1), (2), (3), (4) dan (5). Surat tembusan akan dikirimkan pada Kepala Daerah kab / kota dan Propinsi.
2. Pencabutan status lulusan seleksi masuk PTN terhadap calon yang terbukti melakukan pelanggaran butir (1) dan (2).
3. Pengembalian biaya pendaftaran kepada negara dan pembatalan pemberian Bidikmisi terhadap calon yang terbukti melakukan pelanggaran butir (5);
4. Pembatalan pemberian serta pengembalian bantuan biaya pendidikan dan bantuan biaya hidup kepada negara terhadap penerima Bidikmisi yang terbukti melakukan pelanggaran butir (1), (2), (3) dan (4). Sanksi ini juga berlaku pada penerima Bidikmisi tahun sebelumnya yang didapati melanggar.
5. Untuk satuan pendidikan yang terbukti melakukan butir (1),(2),(3), (4) dan (5) diberikan pembatasan hak pendaftaran pada seleksi nasional atau seleksi mandiri pada tahun berikutnya.


Monitoring dan evaluasi dilakukan dalam bentuk evaluasi eksternal dan internal. Monitoring dan evaluasi eksternal dilakukan oleh tim yang ditunjuk Ditjen Dikti sesuai dengan ketentuan yang dituangkan dalam pedoman monitoring dan evaluasi, sedangkan internal dilakukan oleh PTN.
Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi internal PTN melengkapi dengan pedoman sebagai acuan dalam penyelenggaraannya.
Pada dasarnya monitoring dan evaluasi terkait aspek program dan keuangan. Aspek program berprinsip pada 3-T (Tepat Sasaran, Tepat Jumlah, dan Tepat Waktu) dengan pengertian sebagai berikut.
1. Tepat Sasaran; apabila mahasiswa yang ditetapkan sebagai penerima bantuan Bidikmisi telah sesuai kriteria dan dana bantuan telah dipergunakan dan disalurkan kepada mahasiswa penerima sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam pedoman.
2. Tepat Jumlah; apabila jumlah dana bantuan dan jumlah mahasiswa penerima bantuan sesuai dengan kuota dan atau perjanjian yang telah ditetapkan. Apabila jumlah mahasiswa penerima bantuan kurang atau melebihi dari yang telah ditetapkan, maka PTN wajib melaporkan ke Ditjen Dikti.
3. Tepat Waktu; apabila tahapan dari proses seleksi dan studi sesuai jadwal, dana Bidikmisi diterima dan bantuan biaya hidup disalurkan kepada mahasiswa penerima sesuai dengan waktu sebagaimana diatur dalam mekanisme penyaluran dana.

Pada aspek keuangan, perguruan tinggi wajib menyusun laporan keuangan yang terdiri atas daftar penerima disertai lampiran fotokopi buku tabungan, bukti transfer, dan/atau tanda terima penyaluran bantuan biaya hidup dalam bentuk hardcopy yang disimpan di perguruan tinggi dan siap dikirimkan apabila diminta oleh pihak yang berwenang.
Selain harus menyusun dan mengirimkan laporan program serta menyusun laporan keuangan setiap akhir tahun anggaran, perguruan tinggi wajib melaporkan IPS dan IPK mahasiswa penerima Bidikmisi setiap akhir semester yang dilakukan melalui sistem informasi manajemen yang telah ditentukan. 16




ATURAN ASRAMA BIDIK MISI UNHALU
Oleh : KASDIN BIDIK MISI 2012

JANGAN DI BACA YA....INI CUMAN CAARA SAYA UNTUK MEMPERKENALKAN DIRI ......OKE


“Kamu bisa membohongi semua orang bebarapa saat dan beberapa orang setiap saat, tetapi kamu tidak bisa membohongi orang lain setiap saat “

( Abraham Lincoln, Presiden AS ke- 16 )

Betapa mahirnya kita menciptakan sebuah kebohongan tentu kita tidak bisa membohongi orang lain setiap saat. Itulah intisari yang dapat kita simpulkan dari kata-kata Presiden Amerika Serikat Ke-16 diatas .
Kebohongan merupakan babak permasalahan yang sering kita temui . Kebusukan yang selalu ditanam di Asrama Universitas HALUOLEO kepada mahasiswa baru yang diasramakan bukan lagi menjadi kabar angin. Masalah asrama sudah menjadi masalah yang besar dan berlangsung sudah lama tapi karena tidak ada yang memiliki keberniaan untuk mengungkap ini. Artikel ini tentu tidak lempar batu sembunyi tangan terhadap skandal-skandal yang terjadi di asrama Universitas HALUOLEO. Sebelum kita mengetahui sebuah kue itu enak atau pahit tentu dengan mencoba sendiri kue tersebut. Begitulah yang saya lakukan, saya adalah ANAK BIDIK MISI ANGKATAN 2012 tentu saya tahu betul carut- marut asrama unad dari hulu sampai ke hilir. Asrama BIDIK MISI yang dijadikan jualan PARA PEMBINA untuk menarik simpati publik untuk program pembentukan karakter mahasiswa UNHLU semakin hari makin menarik simpati kalayak banyak. Asrama UNHALU sangat baik sekali dalam pengelolaan kareakter mahasiswa dalam bidang keagaman tapi yang menjadi skandal permasalahanya adalah asrama UNHLAU dijadikan sebagai ajang PEMAKSAAN DALAM MENGHADAI AKHIRAT. Mahasiswa asrama di jadikan anjing penjaga ASRAMA. Dengan menurut semua aturan PEMBINA yang kadang sangat nyeleneh itu.
Betapa tidak mahasiswa asrama yang dijinakan dengan otoritas yang dimilikinya agar bicara soal UNHALU tentang yang baik-baiknya saja. Inilah bentuk pimpinan mengajarkan kebohongan kepada mahasiswanya, semua terasa di lebih-lebihkan. Mental mahasiswa asramapun di bentuk adalah mental pengejut bukan mental para pejuang yang berani mengungkap kebenaran. adalah pemimpin yang alergi untuk dikritik maunya hanya di puja dan dipuji seperti para dewa. Pemimpin yang hanya berbicara bukan karena fakta lebih mengarah kepada menutupi kegagalannya maka cari muka dengan alat pencitraan.
“ Berbohong akan berbanding lurus dengan prilaku pencitraan “ tulis Chairu Fahmi dari Aceh Insituate. Menurutnya dalam kontek pencitraan diri selalu di tampilkan seakan-akan “ Malaikat “ penyelamat dan pahlawan kebaikan. Sekilas pencitraan berhasil menampilkan subyek yang dicitrakan seperti yang diharapkan. Namun, karena pencitraan hanyalah polesan dari luar untuk menampilkan kebaikan maka kebohongan dalam pencitraan akan terlihat ketika apa yang dicitrakan tidak sesuai dengan prilaku, tabiat dan kebiasaanya.Berbeda dengan pemimpin yang jujur yang memancarkan kharisma sesungguhnya, bukan produk pencitraan. Kharisma adalah kebaikan yang terpancar dari dalam.
Pertengahan Juli 2012 ini adalah masuknya mahasiswa baru asrama Universitas Andalas Angkatan ke VIII. Tentu jualan Bapak Wery Darta Taifur akan laku keras di pasaran mahasiswa baru asrama. Isu kampus yang melibatkan nama beliau belum terkontaminasi ke ranah ekternal unand. Masyarakat luas mengetahui bahwa unand adalah kampus yang bersih dari korupsi dan tidak ada tercemar namanya. Suntikan bius pencitraan pasti menjadi rudal ampuh bapak rektor untuk menarik simpati. Jika kita ingin menjadikan sumbar bersih dari korupsi yang bersihkan dulu kampus-kampus yang dihuni para pelacur-pelacur intelektual itu terlebih dahulu. Kita mengharapkan kepada media lokal maupun nasional untuk menyelidiki kasus ini karena dampak psikologis mahasiswa akan mati jika konsep asrama yang terlalu menguntungkan pihak rektorat saja.
Jangan sampai kebohongan publik yang pernah dilakukan Bapak Musliar Kasim juga ditradisikan juga kepada mantan kroninya itu. Mahasiswa penerima Bidik Misi tidak membayar uang asrama begitulah dia bernyanyi solo di hadapan media. Tapi kita tidak butuh verbalisme dan retorika saja tapi bukti nyata bahwa rektor Unand adalah penerus Hatta bukan Soeharto. Tumbal baru untuk asrama memang sangat pantas sekali bagaimana kita melihat hubungan Bapak wery darta taifur dengan Bapak Musliar Kasim sudah seperti bayi kembar siam yang sulit untuk di pisahkan. Kita mahasiswa Unand tentu ingat bagaimana Bapak Rektor melarang mahasiswa untuk demontrasi masalah kenaikan BBM beberapa bulan kebelakang. Bus Kampus yang di operasikan dengan uang mahasiswa ketika BBM naik mahasiswa ingin turun kejalan bus kampus malah di tahan-tahan. Maka banyak orang yang mempertanyakan kemenagan Rektor Wery Darta Taifur dalam bursa pemilihan Rektor menimbang beliau terlalu arogan terhadap mahasiswa. Walaupun yang terlibat disana hanya Senator dan Suara dari Mendiknas. Tentu Tuhan yang tahu apakah ada konspirasi di bursa pemilihan rektor tersebut.
Mahasiswa Bidik Misi yang jumlahnya kira 750 –an akan diancam dengan alasan yang tidak jelas. Aturan Unand yang sangat kita dukung memberikan peringatan kepada mahasiswa penerima Bidik Misi apabila Indeks Prestasinya dibawah tiga. Tapi larangan demontrasi untuk mahasiswa bidik misi itulah yang kita tuntut memang pimpinan tidak menegaskan secara tertulis tapi ancaman mulut terus di kobarkannya tanpa henti. Mahasiswa bidik misi yang di perlakukan tidak etis memang membuat geram semua mahasiswa bidik misi. Apalagi ketiaka rektor Unand mengumpulkan mahasiswa Bidik Misi 2011 di PKM unand lantai I ia mempermalukan sebahagian mahasiswa bidik misi. Sungguh hari itu menjadi tontonan bagi kita seorang diktator yang memperlakukan rakyatnya.
Masalah yang paling mengelitik adalah ketika teman kita dari jurusan Administrasi Negara angkatan 2011 sangat vokal menanyakan permasalahan Unand waktu ada pertemuan pihak Unand dengan mahasiswa yang di mediasikan oleh BEM KM Unand. Beliau juga mahasiswa penerima Bidik Misi, Beberapa hari setelah itu ada penandatanganan SPJ Bidik Misi sehingga beliau mendapat teguran. “ Anda itu mahasiswa penerima Bidik Misi, Janganlah terlalu Vokal benci birokrat kepada anda nantinya “. Uang bidik Misi adalah uang Negara bukan uang bapak wery darta taifur, hubungannya jelas tidak ada antara mahasiswa Bidik Misi dengan mahasiswa yang Vokal. Seharusnya pegawai yang menegur teman kita itu sadar diri mereka mendaptkan pekerjaan karena ada mengurusi beasiswa kemahasiswaan. Menjilat kepada atasan janganlah di budayakan karena itu merupakan kebohongan yang ditutupi.
Tentu masih segar dalam ingatan kita bagaimana Bapak Muslihar Kasim membangun citra sejak ia jadi rektor, Ketua Majelis Rektor dan sekarang sebagai Wakil mentri Pendidikan dan Kebudayaan. Jangan sampai hal yang sama juga diakukan oleh kroninya yang sedang menjabat Karena ini akan menjadi budaya korupsi yang tidak akan pernah putus. Memang soal cari muka Bapak Musliar Kasim lebih hebat dengan poker facenya dibandingkan bapak Wery. Hal itu terungkap jika kita memperhatikan gaya bicara Bapak Wery ketika memberikan sambutan setiap ada kegiatan. Ada beban yang ia tutupi ketika berbicara sehingga tatapan matanya ada kemarahan menimbang dari kebohongan yang sudah mendarah daging dalam tubuhnya. Sangat mengejutkan sekali ketika Bapak Wery selalu bicara apabila ada seminar tentang korupsi “ Mahasiswa hanya bisa mendemontrasi orang lain yang korupsi padahal mahasiswa juga korupsi dengan mencontek waktu ujian “. Lucu sekali nyayian bapak Rektor tersebut sama dengan SBY yang pidato di depan pendiri dan DPD Partai Demokrat Se- Indonesia “ Partai kita masih urutan ke-3 dalam Indeks korupsinya masih ada Partai lain yang lebih korupsi dari pada partai kita, tapi kenapa partai kita yang sering di sorot “. Ternyata kemiripan gaya politik SBY sama dengan Bapak Wery Darta Taifur. Ia mengkambing hitamkan orang lain untuk menutupi kegagalannya agar tidak di cium publik. Bapak Muslihar Kasim memang memilki Poker Face seperti Soeharto dan bapak Wery Darta Taifur lebih mengarah kepada gaya politik SBY yang mukanya mudah di baca. Jadi kebohongannya bisa terlihat dengan cara ia bersikap dan berhubungan dengan mahasiswa
Janganlah Bapak jadikan Adik-adik kami sebagai tumbal kuasaan bapak untuk menjadi bahan jualan bapak ke dewa bapak yaitu Pak mentri dan Sang Presiden SBY untuk menjinakkan suara lantang mahasiswa. Semangat Soekarno ada di Sumatra Barat yang siap menyapu bersih pemimpin-pemimpin yang komprador. Konsep Machiaveli untuk mendapatkan sudah basi bagi rakyat Indonesia. Mari berbenah diri atau tidak memundurkan diri. Legowo Pak…!!!

Friday, December 21, 2012

SEJARAH MUNA

Oleh : Kasdin Mabolu


SOWITE : " Hansuru hansuru badha, sumano kono hansuru liwu, Hansuru hansuru ana liwu, sumano kono hansuru adhati- Hansuru hansuru ana adhati, sumano tangka agama "

RAJA –RAJA WUNA PRA ISLAM
1.     Raja Muna I – La Eli alieas Baidhuldhamani Gelar Bheteno Ne Tombula, (1417 – 1467).

La Eli alis Baidhudhamani gelar Bheteno Ne Tombula adalah Raja Muna Pertama. Dalam tradisi lisan masyarakat Muna diceritakan bahwa La Eli alias Baidhuldhamani adalah manusia sakti yang ditemukan di dalam rumpun bambu ( ada juga yang menceritakan dari dalam ruas bambu) oleh sekelompok orang yang sedang mencari bambu untuk keperluan pembuatan bangsal pada pesta yang akan digelar oleh Mieno Wamelai salah seorang pemimpin kampung di Muna. Karena penemuannya di dalam rumpun bambu tersebut, setelah dinobatkan menjadi Raja Muna I diberi gelar Omputo Bheteno Ne Tombula ( Yang Dipertuan Yang Muncul Dari Bambu ). Selengkapnya Baca Halaman Bheteno Netombula. Bheteno Ne Tombula memilikki dua orang Putra yakni La Aka Alias Kaghua Bangkano Fotu Gelar Sugi Patola dan Runtu Wulae dan satu orang putri yaitu Wa Ode Pogo. Kaghua Bangkano Fotu/ La Aka kemudian menjadi raja Muna II sedangkan Runtu Wulae kembali ke Luwu untuk menjadi Raja di Negeri leluhurnya tersebut. Wa Ode Pogo menurunkan golongan kaomu yang berfungsi sebagai Legislasi dan Yudikatif di kerajaan Muna. La Marati Bonto Balano I ( Sejenis MPR ) yang berfungsi sebagai lembaga yang memilih dan melantik Raja Muna pertma adalah keturunan Wa Ode Pogo.
2.     Raja Muna II – La Patola/ La Aka / Kaghua Bangkano Fotu Gelar Sugi Patola ( 1467 – 1477 ).
Kaghua Bangkano Fotu adalah salah seorang dari dua orang putra Bheteno Ne Tombula dengan Permaisurinya Wa Tandi Abe. Saudara Kaghua Bangkano Fotu yang bernama Runtu Wulae kembali ke Kerajaan Luwu negeri leluhurnya untuk menjadi raja dinegeri tersebut.
3.     Raja Muna III – La Mbona Gelar Sugi Ambona ( 1477 – 1497 )
4.     Raja Muna IV – La Patani gelar Sugi Patani ( 1497 – 1512 )
5.     Raja Muna V – Sugi La Ende – (1512-1527 )
6.     Raja Muna VI – Sugi Manuru ( 1527-1538 ).
Pada masa pemerintahan Sugi manuru, penyebaran agama Islam gelombang pertama mulai masuk di Muna dibawah oleh Syekh Abdul Wahid ). Penyebaran islam saat itu masih sangat lambat karena pengaruh kepercayaan animisme yang dianut sebelumnya oleh masyarakat Muna masih melekat dengan sangat kuatnya. Pada gelombang pertama penyebaran agama islam di Muna hanya ada beberapa orang kerabat kerajaan yang tertarik untuk mempelajari ajaran Islam yang diajarkan oleh Syekh Abd. Wahid tersebut. Salah satu diantaranya adalah La Kilaponto Putra Raja Muna VI Sugi Manuru, yang kemudian menjadi Raja Muna VII menggantikan ayahandanya. Hal lain yang menghambat meluasnya penyebaran agama islam di Muna adalah karena belum cukup satu tahun menjadi Raja Muna, La Kilaponto telah dilantik menjadi Raja Buton VI menggantikan mertuanya yang telah meninggal dunia. Setelah menjadi raja buton, La Kilaponto kemudian pindah ke Baubau pusat kerajaan Buton. Bersamaan dengan itu Syekh Abd. Wahid guru agama beliau juga turut dibawah ke Buton sehingga penyebaran agama islam di muna terhenti, sedangkan di Buton berjalan begitu pesat. Bahkan agama islam begitu mempengaruhi istnah sehingga Buton berubah menjadi kesultanan dan hukum islam menjadi hukum negara dengan syultan pertamanya adalah La Kilaponto dengan Gelar Sultan Kaimuddin Khalifatul Khamis.
7.     Raja Muna VII – La Kilaponto gelar mepokonduaghono Ghoera ( 1538-1541).
La Kilaponto adalah penganut Islam yang taat. La Kilaponto memeluk islam sebelum menjadi raja Raja Muna. Dia mengenal islam dari penyebar agama islam pertama di kerjaan muna Syekh Abdul Wahid ( 1527). Nila-nilai islam begitu tertancap dalam hatinya sebab beliau mempelajari islam dari usia yang sangat mudah. Karena ketaatannya terhadap islam, sehingga ketika menjadi Raja buton beliau menjadikan hukum islam sebagai hukum negara dan bentuk negara di rubah menjadi Kesultanan. La Kilaponto juga di kenal sebagai manusia yang fenomenal karena beliau perna menjadi raja di lima kerajaan besar yang ada di Sulawesi tenggara dalam Waktu yang bersamaan. La Kilaponto juga merupakan pemimpin yang kharismatik dan berwibawa sehingga disegani oleh kerajaan-kerajaan tetangga termasuk juga pemerintah kolonial belanda. La Kilaponto yang dikenal sangat sakti dan piawai dalam strategi perang, membuat Belanda tidak mampu mengintervensi Kesultanan Buton juga Kerajaan-kerajaan yang pernah dipimpin oleh La Kilaponto. La Kilaponto sebenarnya telah membaca gelagat tidak baik yang ditunjukan oleh Belanda. Olehnya itu selama berkuasa La Kilaponto menjalankan politik Kesetaraan dengan pemerintah Kolonial Belanda. La Kilaponto tidak berupaya untuk melakukan konfrontasi dengan Belanda. Hubungan pemerintahan kolonial belanda sebatas hubungan dagang dan diplomatis. Hal ini berkaitan dengan falsafa hidup yang dianut Oleh Lakilaponto yang pernah diajarkan oleh Ayahandanya Sugi Manuru yaitu “Pobini-biniti Kuli”. Arti harafia dari ajaran tersebut adalah saling tenggang rasa dan saling menghargai. Jadi menurut La Kilaponto selama Pemerintah Kolonial Belanda tidak mengganggu kehormatan dan kedaulatan Negeri Buton dan negeri tetangganya khususnya Kerajaan Muna yang merupakan negeri leluhurnya dan beliau pernah menjadi Raja di Negeri tersebut, maka La ilaponto tidak akan menyerang Belanda. Disaat La Kilaponto masih hidup belanda sudah mecah belah miliki keinginan untuk menguasai kesultanan Buton untuk dikuasai, namun karena segan dengan La Kilaponto keinginan itu di urungkan. Hal ini berkaitan dengan letak strategis Kesultanan Buton sebagai pintu gerbang Kerajaan-Kerajaan di Tumur dan barat Nusantara. Untuk mewujudkan keinginannya itu Belanda melakukan politik ocupasi dan pecah belah. Olehnya itu mereka melakukan strategi kerja sama perdagangan. Selama itu mereka terus melakukan pendekatan dengan aparat Kesultanan Buton. Politik pecah bela Belanda mendapatkan hasil setelah La Kilaponto Mangkat dan di gantikan oleh Putranya dengan Putri Raja Jampea yang bernama La Tumparasi. Keberhasilan Politik adu domba belanda itu di tandai dengan di gulingkannya Sultan Kaimuddin II dari tahtanya karena bersikap tegas perlawanan dengan kolonial belanda oleh sarana Wolio.
8.     Raja Muna VIII -La Posasu gelar Kobangkuduno ( 1541-1551).
9.     Raja Muna IX – Rampeisomba ( 1551-1600).
10.                        Raja Muna X – Titakono ( 1600- 1625 )
Pada masa pemerintahan La Titakono, penyebar Islam gelombang kedua yakni Firus Muammad masuk di Muna. Pada gelombang kedua penyebaran isalam ini belum mampu mengislamkan Raja Muna, sehingga pengaruh islam belum masuk ke istana. Walaupun La Totakono BELUM memeluk Islam namun beliau sangaat menghargai nilai-nilai islam. Sebagai bukti penghormatan beliau pada islams, pada masa pemerintahannya masjid pertama dibangun di Muna ( 1614 ). Pembangunan masjid itu diikuti oleh pembagunan pusat pendidikan islam. Seiring dengan itu ajaran islam sedikit demi sedikit mulai dipelajari masyarakat Muna. Salah satu murid dari Firus Muamad adalah La Ode Sa’aduddin putra dari Raja Muna X Titakono. Setelah Titakono mangkat, La Ode Sa’aduddin di nobatkan menjadi Raja Muna XI. Selain membangun masjid, Raja Titakono membentuk lembaga baru dalam sturktur pemerintahan kerajaan muna yaitu Bonto Bhalano. Bonto Bhalano adalah sebuah lembaga sejenis Majelis Permusyawaratan Rakyat yang bertugas memilih dan mengangkat Raja Muna.





RAJA –RAJA MUNA PASCA AGAMA ISLAM

1. Raja Muna XI – La Ode Sa’adudin ( 1625-1626 )
La Ode Sa’aduddin adalah Raja Muna pertama yang memeluk islam. Pada masa pemerintahan beliau agama islam mulai mengalami perkembangan. Agama islam bukan saja di pelajari dikalangan istana tetapi mulai diajarkan pada massyarakat luas. Pusat pendidikan agama islam yag didirikan oleh ayahandanya Raja Muna X Titakono mulai kedtangan banyak murid untuk belajar.
2. Raja Muna XII -La Ode Ngkadiri gelar Sangia Kaindea ( 1626-1667)-
Periode pertama. Pada tahun 1643, gelombang ke tiga penyebaran agama islam masuk di Muna di bawah oleh Syarif Muhammad.
3. Raja Muna XIII – Wa Ode Wakelu ( Permaisuri raja La Ode Ngkadiri )- ( 1667-1668).
Wa Ode Wakelu menjadi raja menggantikan suaminya La Ode Ngakadiri karena di jatuhkan oleh oleh Belanda.
4. Raja Muna XIV La Ode Muh. Idris. (1668-1671).
La Ode Muh. Idris adalah raja yang dikirim oleh Belanda dari Kesultanan Buton setelah berhasil menjatuhkan La Ode Ngkadiri Raja Muna XII.
5. La Ode Ngkadiri ( Periode Kedua) – ( 1671 )
Pemerintahan La Ode Ngkadiri di periode Kedua ini di bawah pengaruh kekuasaan kolonial belanda.
6. Raja Muna XV – La Ode Abd. Rahman gelar Sangia Latugho ( 1671-1716 )
7. Raja Muna XVI – La Ode Husaini gelar Omputo Sangia ( 1716-1767 )
8. Raja Muna XVII – La Ode Muh. Ali ( 1767)
9. Raja Muna XVIII –L a Ode Kentu Koda gelar Omputo Kantolalo (1758-1764 )
10. Raja Muna XIX – La Ode Harisi (1767 – ? )
La Ode Harisi memperkenalkan prutra mahkota dalam suksesi raja di kerajaan Muna.
11. Raja Muna XX – La Ode Umara I gelar Omputo ne Gege,

La Ode Umara I , Raja Muna XX adalah raja yang dihukum gantung oleh sarano Wuna karena telah melakukan sebuah kesalahan yang besar. Keputusan untuk menjatuhkan hukuman gantung tersebut merupakan vonis peradilan yang dinamakan mintarano bhitara ( yang memangku kekuasaan peradilan- MA? ). Tidak diceritakan apa yang menjadi kesalahan Raja sehingga mendapatkan vonis tersebut. Hal ini berkaitan dengan adab masyarakat Muna yang tabuh untuk menceritakan aib saudaranya apa lagi itu seorang raja. Sidang majelis yang menyidangkan Raja La Ode Umara berlangsung tertutup dan semua orang yang terlibat dalam persidangan tersebut disumpah untuk tidak menyebarkan apa yang dilihat dan didengar dalam persidangan. Diperkirakan kesalahan yang dilakukan raja La Ode Umara yang menyebabkan dia mendapat hukuman gantung tersebut adalah menyangkut kesusilaan.
12. Raja Muna XXI – La Ode Murusali gelar sangia gola
13. Raja Muna XXII – La Ode Ngkumabusi
14. Raja Muna XXIII – La Ode Sumaili Gelar Omputo ne Sombo.
Pada masa pemerintahan La Ode Sulaili terjadi pemberotakan yang dilakukan oleh Wa Ode Kadingke Cucu dari Sangia La Tugho. Pemberotakan itu dipicu oleh perlawanan terhadap sistem adat dalam hal kawin-mawin. Wa Ode Kadingke menolak denda adat yang begitu besar yang dibebankan pada suaminya Daeng Marewa dari Suku Bugis. Menurut adat saat itu, apabila ada perempuan keturunan yang berdara Kaomu ( Keturunan Raja ) akan menikah dengan orang yang bukan suku Wuna maka laki-laki tersebut akan dikenakan denda adat berupa membayar mahar sebesar 400 Boka. Menurut pandangan Wa Ode Kadingke yang berkeyakinan keislamannya cukup tinggi denda tersebut bertentangan dengan hukum islam sebab menurut hukum islam mengenai besaran mahar itu ditentukan oleh wanita yang akan menikah dan tidak membebani pihak laki-laki. Pemberontakan itu semakin meluas, karena Waode Kadingke sangat mahir dalam strategi perang. La Ode Sumaili tidak mampu meredam pemberontakan tersebut,bahkan akibat pemberontakan itu Wa Ode Kadingke bersama suaminya Daeng Marewa mendirikan Kesultanan Tiworo di bagian barat Pulau Muna. Ketidak mapuan La Ode Sumaili menumpas pemberotakan tersebut oleh sarano wuna dianggap sebagai suatu kesalahan besar yang dilakukan oleh Raja La Ode Sumaili, olehnya itu La Ode Sumaili harus mendapat hukuman yang setimpal. Dalam sebuah Rapat dewan sara diputuskan La Ode Sumaili untuk dihukum gantung. Itulah sebabnya La Ode Sumaili digelar Omputo Negege artinya Raja yang dihukum gantung.
15. Raja Muna XIV – LA Ode Saete gelar Sorano Masigi ( 1816-1830 ).
La Ode Saete merupakan Raja Muna yang dipilih oleh sarano (dewan adat ) Wuna. Pada waktu yang bersamaan, Kolonial belanda menunjuk la Ode Wita dari Kesultanan Buton Sebagai Raja Muna sehingga pada waktu itu terjadi dualisme kekuasaan di Muna. Untuk mengurangi intervensi Kolonial Belanda Raja La Ode Saete kembali meindahkan pusat pemerintahan dekat dengan masjid Muna di Kota Lama Muna sekaligus melakukan konfrontasi dengan Belanda yang berkoalisi dengan Kesultanan Buton. Semasa kepemimpinan La Ode Sumaili sebagai raja Muna, terjadi beberapa kali perang terbuka antara Kerajaan Muna dan Kolonial Belanda yang dibantu dengan Kesultanan buton. Dalam perang tersebut Pasukan Belanda dan dan Buton terus mengalami kekalahan. Belanda dan sekutunya Buton kewalahan menghadapi Pasukan Kerajaan Muna. Konfrontasi antara Belanda dengan sekutunya Buton melawan Kerajaan Muna terus berlanjut sampai La Ode Saetei Mangkat pada tahun 1830.
16. Raja Muna XXV – La Ode Bulae gelar Sangia Laghada (1830-1861 )
Setelah La Ode Suaete Mangkat, Dewan adat Sarano Wuna mengadakan rapat untuk melakukan pemilihan Raja penggantinya. Dalam rapat tersebut disepakati untuk mengangkat La Ode Bulae sebagai Raja Muna. La Ode Bulae dalam mejalankan pemerintahan melajutkan kebijakan pendahulunya La Ode Saete untuk konfrontasi dengan Kolonial Belanda dan Sekutunya Buton. Dalam sebuah perang, Belanda dan sekutunya Buton berhasil menangkap La ode Bulae dan membawahnya kepersidangan pengadilan di Makassar. Dalam persudangan pengadilan tersebut, La Ode bulae dinyatakan bersalah dan dibuang di Pulau Nusa Kambangan, kemudian diasingkan ke Bengkulu.
17. Raja Muna XXVI – La Aka (1861-1864)
La Aka adalah Bonto Balano pada masa pemerintahan La Ode Bulae. Beliau sebenarnya tidak berhak menjadi raja karena berasal dari keturunan Walaka, namun karena terjadi kekosongan kekuasaan di Kerajaan Muna akibat di asingkannya Raja la Ode Bulae oleh Kolonial belanda dan sekutunya Buton di Pulau Nusa Kambangan dan Bengkulu, maka kekuasaan diambil alih oleh Bonto Balano sambil menunggu pemilihan yang dilakukan oleh sarano Wuna. Karena itulah La Aka dikenal sebagai bukanlah Raja yang aktual / difinitif.
18. Raja Muna XXVII – La Ode Ali gelar sangia Rahia (1864-1870)
19. Raja Muna XXVII – LA Ode Huse
20. Raja Muna XXIX – La Ode Tao
21. Raja Muna XXX – La Ode Ngkaili ( 1903-1906)
Pada masa Pemerintahan La Ode Ngkaili Pusat pemerintahan Kerajaan Muna di pindahkan dari Kota Muna ke Raha oleh penguasa Kolonial Belanda. Pemindahan pusat pemerintahan tersebut dibawah tekanan militer Kolonial Belanda setelah pasukan Kerajaan Muna mengalami kekalahan dalam sebuah pertempuran melawan pasukan koalisi Belanda- Buton. Bersamaan dengan pemindahan ibu kota kerajaan, pemerintah Kolonial Belanda mengutus seorang raja dari Kesultanan Buton yaitu la Ode Maktubu untuk menggulingkan Raja La Ode Ngkaili yang sedang berkuasa dan diangkat oleh Sarano Wuna.
22. Raja Muna XXXI – La Ode Maktubu (1906 –- 1914)
Setelah pasukan koalisi Belanda –Buton memenangkan pertempuran pada tahun 1906 dan berhasil menggulingkan Raja Muna XXX La Ode Ngkaili, penguasa VOC Belanda di Makassar mengutus seorang dari Kesultanan Buton yakni La Ode Maktubu untuk menjadi Raja di Kerajaan Wuna. La Ode Maktubu adalah Putara Sultan Buton La Ode Salihi. Intervensi Pemerintahan Belanda dan Pengkoptasian Kesultanan Buton terhadap Kerajaan Muna mendapat perlawanan dari seluruh rakyat Muna. Sebagai wujud dari perlawanan itu adalah pada waktu yang bersamaan Sarano Wuna mengadakan rapat untuk mengakat La Ode Umara sebagai Raja Muna menggantikan Raja La Ode Ngkaili yang telah digulingkan oleh koalisi Belanda- Buton, serta tidak mengakui La Ode Maktubu Sebagai Raja. Besarnya dukungan rakyat terhadap keputusan Sarano Wuna yang tidak mengakui La Ode Maktubu sebagai raja Muna, memaksa La Ode Maktubu meninggalkan Muna dan kembali ke Buton. Karena tidak kuasa melawan sendiri keperkasaan prajurit Kerajaan Muna, akhirnya La Ode Maktubu Kembali Ke Buton dan pengadukan perinstiwa tersebut pada sekutunya Belanda. Pengaduan Kesultanan Buton atas sikap Pemerintahan Kerajaan Muna mengusir utusan Kesultanan Buton, ditanggapi serius oleh pemerintah kolonial belanda sehingga dikirim pasukan militer untuk memerangi kerajaan Muna.
Raja Muna XXXII – La Ode Umara II (1906)
Setelah la ode maktubu tidak mendapat pengakuan dari sarano Wuna serta diusir dari kerajaan Muna, pemerintah Kolonial Belanda Mengutus La Ode umara gelar Sangia Bariyah. Strategi yang dilakukan pemerintah Kolonial ini cukup berhasil sebab selain La Ode Umara yang memiliki garis keturunann dari Muna yaitu putra dari Kenepulu Bula , La Ode Umara juga masih menjabat sebagai Sultan Buton. Setelah situasi kembali kondusif dan pemerintah belanda semakin dalam kukunya tertancap di kerajaan Muna, La Ode Maktubu Kembali di lantik menjadi Raja Muna sampai tahun 1914
23. Raja Muna XXXIV – La Ode Pulu (1914-1918)
Pada masa pemerintahan la Ode Pulu, intervensi politik Kolonial Belanda di Kerajaan Muna semakin kuat. Pada akhir masa pemerintahan La Ode Pulu ( 1918 ) Pemerintah Kolonial belanda dan Kesultanan Buton ( Sultan Buton Saat itu La Ode Muh. Asikin ) secara sepihak melakukan perjanjian yang dikenal dengan Korte Verklaring pada 2 Agustus 1918. Isi perjanjian tersebut adalah Belanda hanya mengakui ada dua pemerintahan setingkat swapraja di Sulawesi tenggara yaitu Swapraja Laiwoi dan Swapraja Buton. Dengan demikian menurut perjanjian tersebut secara otomatis muna menjadi bagian dari Kesultanan Buton/ Underafdeling. Sebagai Raja yang berdaulat dan diangkat oleh Sarano Wuna, La Ode Pulu melakukan perlawanan dan tidak mengakui perjanjian tersebut. Akibatnya la Ode Pulu di asingkan Nusa Kambangan. Selama dua Tahun pasca pemerinyahan La Ode Pulu, Kerjaan Muna berada dalam Kekuasaan Kolonial Belanda sampai dewan Adat ( Sarano Wuna mengadakan rapat dan mengangkat La Ode Afiuddin sebagai Raja.
24. Raja Muna XXXIV – La Ode Afiuddin ( 1920-1824)
La Ode Afiuddin yang diharapkan Belanda akan bekerja sama ternyata bersikap sama dengan Raja sebelumnya La Ode Pulu. Korte Verklaring pada 2 Agustus 1918 juga tidak diakui dan terus melakukan perlawanan. Akibatnya belanda kembali mengambil alih pemerintahan di kerajaan muna.
25. – 1924-1926.
pada tahun ini oleh pemerintah Kolonial belanda dianyatakan bahwa Kerajaan Muna berada dibawah pemerintahan darurat militer Belanda. Semua urusan administrasi diambil alih oleh Belanda.
26. Raja Muna XXXV – La Ode Rere (1926-1928 )
Setelah dua tahun pemerintahan darurat militer belanda di berlakukan di kerajaan Muna, Sarano Wuna melakukan sidang untuk kembali mengangkat Raja Muna. Pada saat itu oleh sarano wuna disepakati La Ode Rere Sebagai Raja Muna. Sama halnya dengan Raja La Ode Pulu dan La Ode Afifuddin, Lam Ode Rere juga tidak mengakui perjanjian Korte Verklering akibatnya Belanda kembali menjatuhkan La Ode rere dari keududkannya sebagai Raja Muna.
27. – 1928-1938,
terjadi kevakuman pemerintahan di Kerajaan Muna. Belanda sebagai penguasa Kolonial mengabil alih untuk mengendalikan pemerintahan sambil menunggu sidang dewan Sara untuk menjjuk Raja baru.
28. Raja Muna XXXVI – La Ode Dika gelar Omputo Komasigino ( 1930- 1938 ).
Pada masa pemerintahan La Ode dika dilakukan pemugaran masjid agung di Kota Muna menjadi semi permanen. Sebagian dari bahan pembuatan masjid tersebut dibantu oleh Jules Couvreur seorang kontrolir Belanda yang bertugas di Muna saat itu . Sebagai mana raja muna yang lain, La Ode Dika tidak mau tunduk dengan belanda dan koloninya Buton. La Ode Dika juga tidak mengakui isi perjanjian Korte Verklaring sebab perjanjian itu dianggap ilegal. Sikap pperlawanan La Ode Dika tersebut diperlihatkan saat berkunjung di istana kesultanan Buton. Di hadapan Sultan Buton Muhammad Hamidi, la Ode Dika tidak mau memberi hormat, tapi justeru mengancungkan telunjuk seakan memberi ancaman pada Sultan Buton. Apa yang yang dilakukan La De Dika tersebut oleh Sultan Buton dilaporkan pada Penguasa Kolonial Belanda di Makassar. Akibatnya La Ode Dika di panggil menghadap Perwakilan pemerintah kolonial Belanda di makassar untuk mendengar langsung keputusan Pemerintah Kolonial yang memecat dirinya dari jabatan Raja Muna. Sepulangnya dari makassar, La ode Dika langsung meninggalkan kamali/Istana kerajaan Muna. Seluruh urusan administrasi kenegaraan diserahkan pada sekretaris kerajaan yakni La ode Sabora . Sayangngnya kamali/ istanaa tersebut pada masa pemerintrahan Drs. La Ode kaimuddin sebagai Bupati Muna yang juga merupakan putra dari La ode Dika di Rubah menjadi gedung Pertemuan ( Gedung wamelai).
29. 1938-1941
Pemerintahan Kerajaan Muna sepenuhnnya di kendalikan oleh Kolonial belanda.
30. !941 – 1946
Pemerintahan Kerjaan Muna benar-benar lumpuh sebab Belanda telah keluar dari kerajaan muna karena takluk dengan pemerintahan militer Jepang. Pada masa itu pemerintahan dijalankan oleh pemerintahan Militer Jepang dari Batalion Laut yang bermarkas di Manado.
31. 1946-1947.
Setelah Jepang menyerah dari Pasukan Kualisi, seluruh personil Jepang meninggalkan Muna dan digantikan dengan pasukan Nica.
32. Raja Muna XXXVII – La Ode Pandu ( 1947-1956).
Setelah terjadi kekosongan kekuasaan di kerajaan Muna, pemerintah Belanda di Makassar mengangkat La Ode Pandu sebagai pejabat Raja Muna pada tahun 1947 dan dilantik pada tahun itu juga di depan Masjid Muna di Kota lama Muna. Pelantikan La Ode Pandu dihadiri oleh utusan pemerintah belanda. La Ode Pandu meninggal akibat ditembak gerombolan Di/II di Posunsuno saat melakukan kunjungan di Wasolangka.
33. 12 Desember 1956
Muna menjadi bagian dari Propinsi Sulawesi Tenggara sebagai Kabupaten bersama 3 Kabupaten lainya yaitu, Kendari Kolaka dan Buton.


Bahan Bacaan

1. Sejarah Muna – La Kimi Batoa, Jaya Press Raha
2. Silsilah Raja-Raja Muna – Koleksi Museum KTVL Belanda
3. M. Nasrun- Kerajaan Muna dan Sistem Kemasyarakatan ( Jakarta 1989 )
4. Mahmud Hamundu,Prof- Sultan Murhum Tokoh Pemersatu Kerajaan-Kerajaan Tradisional Di Sulawesi Tenggara ( Makalah- 2005)
5. http://homes.chass.utoronto.ca/~cgothard/Pages/kings.htm
.

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami persembahkan pada Allah SWT, penguasa segenap alam karena anugerah Rahmat dan hidayah Nya jualah sehingga Buku “MENGENAL SEJARAH DAN PERADABAN ORANG MUNA- Suatu Upaya Pelurusan Sejarah” yang sangat sederhana bahkan memiliki banyak kekurangan disana – sini baik konten maupun pemakaian bahasa dalam penulisannya.ini  dapat kami selesaikan.
Setelah kami menyimak lebih seksama mengenai sejarah Muna  saat ini, baik itu yang ditulis oleh Putera Muna maupun yang ditulis oleh Sejarawan Buton bahkan penulis dari beberapa universitas terkemuka di Indonesia, Malaysia dan Negeri Belanda, penullis mendapatkan ada beberapa hal yang tidak terungkap dengan baik mengenai sejarah Muna.
Bahkan ada beberapa Penulis yang cenderung menempatkan Muna sebagai Subordinasi dari Sejarah Buton. Tidak sedikit pula para sejarawan tersebut melupakan peranan Putera-Putera kerajaan Muna dalam membangun Pradaban di kerajaan-kerajaan besar di Sulawesi tenggara termasuk Kerajaan/ kesultanan Buton dan kerajaan konawe.
Berangkat dari fakta tersebut, kami mecoba menelusuri Sejarah Muna melalui  perpustakaan-perpustakaan dan media Informasion Tecnology (IT) yang saat ini sudah sangat canggi. Berbagai puingh-puing sejarah Muna dan Buton yang berserahkan di Internet serta perpustakaan-perpustakaan tersebut, kami coba kumpulkan dan melakukan analisis seperlunya sesuai dengan kapasitas yang kami miliki sehingga tersusunlah buku yang ada di hadapan para pembaca hari ini.
Kami menyadari sepenuhnya kalau buku ini banyak mengalami kekurangan disana sini. Olehnya itu kritik, saran bahkan cacian sekalipun kami akan menerimanya dengan lapang dada dan kami menganggapnya sebagai suatu kotribusi berarti untuk kesempurnaan buku ini kedepan.
Dengan diterbitkanya buku ini, kami berharap dapat menumbuhkan semangat generasi Muda Muna untuk lebih mengenal lagi sejarah kerajaan muna serta berminat untuk melakukan penelitian terhadap peninggalan luhur nenek moyang Orang Muna masa lalu dan menuangkannya dalam sebuah tulisan yang berbentuk buku seperti ini.
Tentu saja banyak pihak yang telah membantu dalam penulisan buku ini terutama kawan-kawan yang kami kenal di dunia maya seperti Saudara Alwi pengelola Blog www..wunabarakati.blogspot yang ada di Negeri Tawau Malaysia,   Bapak La Ode Ida ( Wakil Ketua DPD RI ), Bapak Ismet Efendy, Bpk. La Ode Sirad Imbo,Bpk. La Ode Rifai Pedansa, Bpk. DRS. La Ode Sefu ( Tokoh Masyarakat Muna ), Bpk. H. Ukung Djasa,SH  ( Ketua DPRD Muna periode 2009-2014) serta pihak lain yang tak mugkin kami sebutkan satu persatu .
Kami sangat berterima kasih atas kontibusi mereka, karena kontribusi  tersebut sehingga kami dapat menyelesaikan buku ini. Semoga Allah SWT memberikan imbalan setimpal atas jasa-jasa mereka dan selalu dikenang oleh generasi Muda Muna dari jaman-ke jaman.
Demikian, semoga Allah merestui semua langkah dan  aktifitas kita semua. AMIN.










SEKAPUR SIRIH
Hampir disetiap daerah yang kami kunjungi bila bertemu dengan orang Muna, maka mereka lebih mengakui dirinya sebagai orang Buton ketimbang Orang Muna. orang Muna yang ada di perantauan sepertinya merasa malu untuk mengakui dirinya sebagai Orang Muna demikian sebaliknya mereka menjadi bangga  kalau menyebut dirinya sebagai Orang Buton. 
“ Pengingkaraan”  Generasi Muna untuk mengakui dirinya sebagai orang muna, ini sangat memiriskan hati kami sebagai putera asli daerah Muna. Perasaan itu bukan karena tidak memiliki jiwa Nasionalisme atau cenderung pada idealisme sukuentris, tetapi sebagai seorang putera daerah yang terlahir dari sebuah suku bangsa yang putera puterinya pernah mengukir sejarah besar dalam sebuah perjalanan sejarah bangsa ini,  tidak rela bila generasi Muda nya kehilangan jati diri dan dihinggapi rasa malu untuk mengakui dirinya sebagai Orang Muna hanya karena ketidak pahaman mereka terhadap sejarah dan peradaban leluhurnya.
Memang bukan salah generasi Muna hari ini, bila mereka melakukan pengingkaran dirinya sebagai Orang Muna sebab  banyak diantara mereka yang tidak diberikan pengetahuan sejarah Muna secara utuh. Akibatnya mereka  tidak lagi memiliki kebanggaan menjadi Orang Muna. Sejarah yang dicekoki kepada mereka adalah sebuah sejarah yang telah didistorsi oleh kolonial untuk kepentingan mereka.
Dalam beberapa dokumen sejarah yang dibuat oleh Kolonial Belanda dan antek-anteknya menggambarkan Muna sebagai sub Ordinasi dari Kerajaan/Kesultanan Buton. Dari fakta tertulis itulah kemungkinan generasi Muda Muna menjadi malu untuk mengakui dirinya sebagai Orang Muna dan bangga kalau disebut sebagai Orang Buton. Padahal hal itu belum tentu benar, karena sesungguhnya sejarah yang beredar dan dibuat oleh kolonial dan Kesultanan Buton tersebut merupakan upaya pelemahan kerajaan Muna melalui degradasi moral dan Pendistorsian sejarah. Hal ini sangat beralasan, karena kerajaan Muna dalam perjalanannya selalu menolak kehadiran Belanda sebagai penjajah.
Penolakan Masyarakat Muna terhadap  kolonialisme tersebut  tentu saja sangat meresahkan penguasa VOC Belanda di Batavia. Hal ini sangat beralasan  sebab walaupun Belanda telah mampu meyakinkan Buton sebagai sekutu abadinya, tapi kalau Muna terus menolak kehadirannya maka   Belanda tidak dapat dengan leluasa menjalankan kekuasaannya di Sulawesi Tenggara.  Untuk melakukan operasi militer belanda perlu berpikir sebab itu membutuhkan biaya yang besar, sementara saat itu VOC Belanda sedang mengalami krisis dana akibat pembiayaan perang  dengan kerajaan-kerajaan di Timur seperti Ternate, dan Papua serta Kerajaan Gowa.. Jadi cara yang paling murah sekaligus dapat melakukan pelemahan dua musuh sekaligus dengan mengadu domba dua kerajaan bersaudara ( Muna & Buton ) melalui pendistorsian  sejarah salah satunya. Karea Kerajaan Muna yang dianggap sebagai kerajan yang menolak kehadiran Belanda, maka Kerajan Muna lah  yang menjadi korban.
Karena   Buton telah menerima kehadiran VOC, maka Belanda lebih memihak pada kesultanan Buton. Olehnya itu agar Kerajaan Muna marah pada saudaranya kesultanan Buton, maka Belanda membuat seakan-akan Kerajaan Muna berada di bawah Kesultanan Buton. Puncak dari semua itu adalah ketika Dayanu Ikhsanuddin Sultan Buton IV memproklamirkan Martabat Tujuh sebagai konstitusi Kesultanan Buton. Pada saat itu Belanda mendesak petinggi kesultanan untuk memasukan Kerajaan Muna dalam wilayah Kesultanan buton dengan status “ Barata” yaitu wilayah yang memiliki otonomi penuh.
Upaya pecah belah Kolonial Belanda tersebut membuahkan hasil, dimana petinggi Kesultanan Buton menjadi arogan dan merasa menguasai kerajaan Muna. Dipihak lain petinggi-petinggi kerajaan Muna menolak status tersebut karena selain menyalahi kesepakatan antara Raja Muna VII la Posasu dan Sultan Buton I La Kilaponto juga merupakan intervensi kolonial Belanda. Perbedaan pandangan dalam menerima intervensi tersebut kemudian menjadikan kedua Kerajaan yang sebelumnya bersaudara menjadi bermusuhan dan saling menyerang satu sama lain. Sejak penetapan Kerajaan Muna sebagai “Barata “ Kesultanan Buton sampai kedua kerajaan tersebut bubar sebagai konsekuensi penerimaan NKRI tercatat lebih dari sepuluh kali terjadi perang diantara keduanya
Kondisi ini semakin diperpara dengan minimnya literatur tentang sejarah Muna sehingga generasi Muna kesulitan untuk  mendapatkan informasi tertulis mengenai sejarah Muna. Hal ini pernah dialami sendiri oleh penulis saat mencari referensi dalam menulis buku ini. Untuk mendapatkan informasi tentang sejarah Muna penulis justeru banyak mendapatkan dari sejarah Kesultanan Buton yang ditulis oleh sejarawan Buton dan di internet.
Itupun tidak memberikan cerita sejarah yang memberikan nilai positif untuk menumbuhkan rasa bangga sebagai Orang Muna, karena epilog tersebut justeru memuat konten yang menggambarkan kerajaan Muna dan Orang Muna sebagai bagian yang tidak memiliki peran apapun dalam kesultanan Buton.
Orang-Orang Muna yang memiliki peranan sangat besar dalam membangun Kesutanan Buton seperti La Kilaponto ( Murhum/Timba-Timbanga/ Qaimuddin Khalifatul Khamis) yang telah memproklamirkan Wolio/Buton sebagai sebuah Kesultanan dan resmi menjadi Sultan Buton I, La Tumpamasi/Sultan Buton II, La Sangaji/Sultan Buton III dan  La Elangi atau Dayanu Iksanuddin Sultan Buton IV seakan diabaikan dan peranannya, serta  sepertinya sengaja ditutupi keberadaan mereka sebagai Orang Muna.
 Dari sejarah tersebut banyak dikisahkan bahwa Keajaan Muna adalah bagian dari Kesultanan Buton ( Bhatara ). Bahkan tidak sedikit sejarah yang ditulis tersebut mendiskreditkan Kerajaan Mun sebagai Kerajaan yang berdaulat. Kerajaan Muna seakan-akan tidak memiliki peranan dalam percaturan politik kerajaan-kerajaan nusantara pada masa lalu. Fakta inilah yang mungkin menumbuhkan rasa ‘malu’ generasi Muna saat ini. Dari rasa malu tersebut kemudian menjadikan mereka menjadi kehilangan jati diri yang pada akhirnya menumbuhkan rasa malu untuk mengakui dirinya sebagai orang muna.
 Padahal kalau Kita mengenal secara lebih baik tetang Sejarah Muna, maka generasi Muna tidak pelu malu untuk menjadi Orang Muna.,bahkan kita harus bangga, karena ternyata Orang-Orang Muna masa lalu sangat dominan memainkan peranannya dalam perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan di Sulawesi tenggara, bahkan nusantara.
La Kilaponto, Raja Muna VII misalnya, setelah menjadi Raja Buton VI menggantik`an mertuanya La Mulae ( raja Buton V ) kemudian melakukan penataan kerajaan Buton, bahkan menjadikan kerajaan tersebut menjadi sebuah Kesultanan yang tidak saja disegani oleh kerajaan-kerajaan tetangganya,tetapi oleh kolonialis Portugis, Spanyol dan Belanda.
Sejak Raja La Kilaponto sampai tiga orang Sultan berikutnya yang juga merupakan  Anak&Cucu La Kilaponto ( La Tumpamasi, La Sangaji dan Dayanu Ikhsanuddin )  tercatat hampir dua ratus tahun putera Muna memimpin Kesultanan buton. Itu artinya Putera-puteri Muna memiliki peranan yang sangat besar dalam menjadikan kesultanan buton sebagai Kesultanan besar dan dikenal di Nusantara.
Selain di Buton, Putera Muna La Kilaponto juga pernah menjadi Raja di 3 Kerajaan lainnya di Sulawesi Tenggara yaitu Konawe, Kabaena dan Kaledupa. Diangkatnya La Kilaponto sebagai Raja di Kerajaan-Kerajaan tersebut bukan karena kooptasi apalagi invasi terhadap kerajaan-kerajaan dinaksud, tetapi karena suatu penghargaan atas jasa-jasa beliau dalam mendamaikan dan menciptakan kedamaian di kerajaan-kerajaan tersebut.
Keberhasilan La kilaponto dalam menciptakan kedamaian dan perdamaian dikerajaan yang pernah dipimpinnya tidak lepas dari kemampuannya  dalam berdiplomasi dan penguasaan strategi perang serta kharisma yang dimilikinya.
Namun mengapa Kesultanan Buton yang pernah dibangunnya lebih banyak dikenal dari pada Kerajaan Muna ? Menurut analisis penulis hal ini terjadi  akibat tiga  hal yaitu :
1.      Masyarakat  Muna telambat membudayakan tradsi tulis.
 Terlambatnya pembudayaan tradisi tulis dikalangan masyarakay Muna berkaitan dengan lambanya penerimaan masyarakat terhadap Islam. Sebagaimana kita ketahui penyebaran agama islam selalu diiringi dengan pembelajaran baca tulis aksara arab. Hal ini untuk mempermudah umatnya untuk membaca dan memahami Al-Qur’an sebagai kitab suci umat islam.
Berbeda dengan Buton, begitu misionaris islam Syekh Abd. Wahid datang ke Buton bersamaan dengan pelantikan La Kilaponto sebagai raja buton VI maka agama islam di Buton maju pesat dan telah mempengaruhi istana dan masyarakat Kerajaan/Kesultanan Buton.
2.      Distorsi Sejarah Muna Oleh  Kolonial Belanda
Sejak awal,  masyarakat Muna telah menetang kedatangan VOC Belanda. Penentangan masyarakat Muna terhadap VOC tersebut, karena Belanda selalu berusaha untuk mengintervensi urusan internal kerajaan. Sebagai sebuah kerjan yang berdauat tentu saja Raja-Raja Muna dan Sarano Wuna tidak dapat menerimah campur tangan Belanda tersebut sehingga harus diperangi.
Kebijakan Pemerintah Kerajaan Muna tersebut  membuat Pemerintah Kolonial Belanda (VOC) geram, namun untuk melawanya sendiri  Belanda tidak mampu menghadapi semangat patriotisme masyarakat Kerajan Muna. Olehnya itu Belanda mengajak sekutu abadinya Kesultanan Buton yang sejak tahun 1535 telah terjalin dengan baik,  untuk bersama-sama memerangi Kerajaan Muna. Strategi yang dilakukan Belanda tersebut selain bertujuan mengurangi resiko perang seperti pembiayaan dan korban pasukannya, juga sebagai strategi de vide et impera untuk memecah belah kerajan-kerajaan nusantara agar mudah dikuasainnya.
3.      Kurangnya Minat Masyarakat Muna dalam menulis Sejarah.
Sejak jaman kerajaan sampai saat ini,  sangat minim sekali minat mayarakat Muna  untuk menulis sejarah, khususnya sejarah Kerajan Muna. Untuk menyampikan kepada generasi muda, tokoh-tokoh masyarakat Muna mengandalkan cerita-cerita lisan yang disampaikan dari mulut ke mulut.
Kurangnya minat terhadap penulisan sejarh tersebut, berimplikasi pada kurangnya pengetahuan dan pemahaman generasi Muda Muna terhadap sejarah daerahnya. Generasi Muda Muna sangat sulit untuk mendapatkan informasi yang obyektif mengenai sejarah Muna. Untuk mendapatkan referensi sejarah Muna generasi muda hanya mengandalkan referensi sejarah yang ditulis oleh sejarawan-sejarawan Buton dan dokumen yang ditulis oleh  kolonialis Belanda. Untuk kepentingan kolonialisme dan politik kooptasi sudah barang tentu sejarawan-sejarawan Belanda dan Buton dalam menulis sejarah Muna, selalu menemptkan Kerajaan Muna sebagai sub ordinasi dari Kesultanan Buton. Hal itulah mengapa Kesultanan Buton lebih dikenal dari pada Kerajan Muna. 
Di kerajaan Muna tradisi tulis di dimulai pada tahun 1625 Saat kerajaan Muna dipimpin oleh raja Muna XI  La Ode Sa’aduddin. Pada saat itu agama islam telah menjadi agama kerajaan dan yang dapat menjadi raja haruslah beragama islam.
Pada saat itu dikalangan istana Kerajaan Muna telah mengenal aksara Arab sebagai pengaruh dari budaya islam. Sebagai mana diketahui dalam penyebaran agama apapun juga, selain mengajarkan nilai-nilai agama juga mengajarkan baca tulis untuk mmpermudah menyerapan pemahaman terhadap nilai-nili agama tersebut.
Entah pengaruh keterlambatan penganalan tulisan dikalangan masyarakat Muna atau karena minat masyarakat untuk menulis sejarah sehingga sejarah Muna tidak terpublikasi secara luas? Tapi yang jelas masyarakat Muna sangat minim yang menulis sejarah. Hal ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kerajaan Muna kurang dikenal di luar.
Buku yang sangat sederhana dan tentu saja banyak kekurangan disana-sini terutama dalam konten dan penggunaan bahasa ini, merupakan wujud kecintaan kami terhadap Muna, negeri tumpah darah leluhur dan kami sendiri. Beranghkat dari rasa cinta itulah, maka dengan segalah keterbatasan yang kami miliki , kami mencoba untuk melakukan survey dan analisa terhadap sejarah yang telah ditulis oleh para pakar yang  kapasitas keilmuannya sudah tidak diragukan lagi mengenai sejarah, baik itu sejarah kerajaan Muna maupun Sejarah perjuangan masyarakat muna dalam membela kehormatan kerajaan Muna sebagai sebuah Negara maupun ketika berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Dengan diterbitkannya Buku ini penulius berharap terjadi pelurusan sejarah Kerajaan Muna dan menumbuhkan minat generasi Muna untuk menggali sejarah Muna yang selama ini terlupakan.




BAB I
ASAL USUL PULAU MUNA

Muna  pada awalnya dikenal dengan nama ‘WUNA’.yang dalam Bahasa Muna berati ‘bunga’. Merujuk pada tradisi lisan masyarakat Muna, nama itu    memberi makna spiritual kepada kejadian alamnya, dimana terdapat gugusan batu yang berbunga yang menyerupai batu karang. Gugusan batu tersebut  pada waktu-waktu tertentu kerap mengeluarkan tunas-tunas yang tumbuh seperti bunga karang. Oleh karena kejadian itulah maka  masyarakat Muna menyebutnya sebagai ‘Kontu Kowuna’  artinya Batu Berbunga .  Gugusan batu berbunga tersebut terletak di  dekat Masjid  tua Wuna di Kota Muna yang bernama bahutara ( bahtera?). Tempat  dimana Kontu Kowuna tersebut berada dipercaya sebagai tempat terdamparnya kapal Sawerigading, Putra Raja Luwu di Sulawesi Selatan Yang melegenda.
 Saat ini, Muna dikenal sebagai nama sebuah Pulau yang terletak pada posisi 4015’ samapi 4030’ lintang Selatan dan 122015’  – 123000’ Bujur Timur ( RPJMD Kabupuaten Muna 2010-2015 ), tepatnya diantara Pulau Sulawesi bagian Tenggara, Pulau Buton di bagian Barat dan sebelah Timur Pulau Kabaena
Selain nama Pulau,  Muna juga menjadi nama  salah satu Kabupaten dari 12 Kabupaten/Kota yang ada di Sulawesi Tenggara dengan batas-batas administrasi;
1. Di Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Konawe Selatan dan Selat Spelman.
2. Sebelah Selatan dengan Kabupaten Buton.
3. Sebelah Timur dengan Kabupaten Buton Utara dan Kabupaten Buton,
4. Sebelah Barat berbataan dengan Laut Tiworo dan Kabupaten Bombana.
Selain itu Muna juga menjadi nama suku yang mendiami Pulau Muna dan sebagian besar Pulau Buton serta pulau-pulau disekitarnya yang menggunakan Bahasa Muna  sebagai bahasa tutur diantara mereka.
 Sebelum menjadi Kabupaten, Muna juga dikenal sebagai sebuah kerajaan yang berkedudukan di Pulau Muna bagian Utara dan Pulau Buton bagian Utara. Pembagian wilayah tersebut dilakukan pada masa Pemerintahan Raja Buton VI Lakilaponto dan Raja Muna VIII La Posasu. Kedua raja tersebut merupakan kakak beradik,  Putra dari Raja Muna VI  Sugi Manuru.
Sebelum menjadi raja Buton VI, La Kilaponto telah menjadi  Raja Muna  VII sehingga  jabatan Raja di kedua kerajaan itu diembannya secara bersamaan selama tiga tahun bersama dengan kerajaan lainnya yakni Kaledupa, Konawe dan kabaena. Namun setelah dilantik menjadi Sultan Buton I ( menyusul perubahan kerajaan buton menjadi Kesultanan ), jabatan Raja di empat kerajaan lainnya yang diembannya selama tiga tahun ( 1538- 1541 M ) diseraahkan pada yang berhak untuk mengembannya.
Di Kerajaan Muna  jabatan Raja diserahkan pada adiknya La Posasu, sedangkan dikeraajaan-kerajaan lainnya tidak ada cacaatan sejaarah yang mengisahkan bagaimana proses penyerahannya dan pada siapa diserahkan. Bersamaan dengan penyerahan kekuasaan di  kerajaan Muna  , turut pula dibagi wilayah kerajaan sebagaimana dijelaskan diatas.
Menurut La Kimi Batoa  pembagian wialayah tersebut karena kecintaan La Kilaponto pada dua wilayah di bagian Selatan Pulau Muna yaitu Gu dan Mawasangka sehingga beliau memohon pada adiknya sekaligus  penggantinya sebagai raja Muna La Posasu agar kedua wilayah dimaksud menjadi bagian dari wilayah Kesultanan Buton. Sebagai gantinya, La Kilaponto menyerahkan dua wilayah yang sebelumnya masuk dalam wilayah Kesultanan Buton yang ada di bagian Utara Pulau Buton yakni Kulisusu dan Wakorumba ( Sebagian wilayah tersebut saat ini menjaadi Kabupaten Buton Utara) (Sejarah Kerajan Daerah Muna CV. Astri Raha,1995).
Beberapa catatan sejarah mengungkapkan sebelum menjadi Raja di Kerajaan Muna, La Kilaponto terlebih dahulu diangkat menjadi Raja Muda di wilayah Gu dan Mawasangka selama tiga tahu ( 1530-1538 ). Kedua wilayah tersebut dikenal dengan nama  “Ponto” yang diambil dari nama sejenis bambu yang kuat dan keras. Penamaan “Ponto” tersebut karena  seseorang yang menjadi Raja Muda diwilayah itu  akan ditempah menjadi seseorang yang cerdas, kuat dan keras jiwanya dalam memperjuangkan keadilan dan menumpas kesewenang-wenangan terhadap orang lain. Sehingga ketika benar-benar telah menjadi Raja disebuah kerajaan yang besar dia telah memiliki jiwa tersebut dan menjadi Raja yang adil dan mengayomi serta melindungi rakyatnya dari tindakan kesewenang-wenangan dari pihak manuapun juga.
Bila menilik catatan mengenai masuknya agama islam dikerajaan Muna boleh jadi misionaris  islam pertama Syehk Abdul Wahid pertama kali menyebarkan agama Islam di kerajaan Muna pada tahun 1530 ( Courveur ; 19..)  bukan dipusat kerajaan Muna di kota Muna Kawuna-Wuna  yang saat itu sedang dipimpin oleh Sugi Manuru , tetapi diwilayah “ Ponto” yang dipimpin oleh La Kilaponto.
Asumsi ini diperkuat oleh fakta di mana saat ini kedua wilayah tersebut masyarakatnya dikenal sebagai pemeluk agama  islam yang taat. Selain itu wilayah Gu da Mawasangka adalah wilayah Pulau Muna yang berhadapan langsung dengan lautan bebas sehingga memudahkan para musyafir untuk menyinggahinya di banding dengan pusat Kerajaan Muna yang tereltak dipedalaman dan diatas bukit. Dalam Buku Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wa Darul Munajat juga mengisahkan bahwa salah seorang utusan Nabi SAW yakni Abdul Sukur menemukan Pulau Muna dan langsung menancapkan bendera yang dibawahnya di Waara ( Wamengkoli ) yang masuk dalam wilayah “ Ponto” tersebut. Jadi berdasarkan hal tersebutlah sehingga La Kilaponto merasa sudah menyatu dengan masyarakat kedua wilayah tersebut, sehingga ketika dilantik menjadi raja Buton, kedua wilayah tersebut juga dimintakan untuk masuk dalam wilayah kekuasaannya.
Sebagai pewaris tahta kerajaan yang diwariskan dari kakanya La Kilaponto, La Posasu tidak keberatan dengan pembagian tersebut. Apalagi selain membagi wilayah kerajaan, dalam perjanjian itu juga disertakan suatu perjanjian bahwa kedua kerajaan itu ( Muna dan Buton ) adalah kerajaan yang bersaudara dan saling membantu bila ada kesusahan atau gangguan dari luar yang dialami oleh salah satunya.
Perjanjian itu tetap dipegang teguh oleh kedua kerajaan sampai kemudian kolonial Belanda masuk mengintervensi Kesultanan Buton dan memaksa Sultan Buton saat itu ( Dayanu Ikhsanuddin)  untuk memasukkan dalam konstitusinya yang dikenal dengan martabat Tujuh bahwa Kerajaan Muna menjadi bagian dari Kesultanan Buton dengan status “barata” ( wilayah dengan otonomi penuh ). Sejak saat itulah dua kerajaan yang sebelumnya bersaudara tersebut saling memusuhi dan menyerang satu sama lain.
Banyak kisah yang menceritakan asal usul Muna Sebagai sebuah pulau, baik itu dalam  tradisi lisan dikalangan masyarakat Muna maupun hikayat yang ditulis oleh masyarakat Buton. Namunn secara ilmiah belum ada penelitian yang mengungkap kebenaran cerita-cerita/hikayat tentang asal usul Pulau Muna tersebut.
Kendati demikian  tradisi lisan yang hidup dikalangan masyarakatlah dan hikayat yang ditulis oleh masyarakat Buton yang sering dijadikan sebagai referensi dalam menulis sejarah asal usul Pulau Muna dan Pulau Buton. Untuk itu penulis akan menjelaskan satu persatu cerita dan hikayat tersebut serta beberapa hasil penelitian ilmiah mengenai situs-situs purba kala dan formasi bebatuan yang di Pulau Muna.

A.    HIKAYAT “ ASSAJARU HULIQA DAAARUL BATHNIY WA DARUL     MUNAJAT ”
Hikayat  “Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wa Daarul Munajat”(Hakikat Kejadian Negeri Buton dan Negeri Muna- Buku Tambaga ) mengisahkan bahwa Pulau Muna dan Pulau Buton berasal dari segumpal tanah yang muncul dari dasar laut yang ditandai dengan sebuah ledakan yang maha dasyat. Hikayat tersebut menceritakan  bahwa ketika Nabi Muhammad SAW.  mengadakan rapat dengan para sahabat, tiba-tiba terdengar sebuah ledakan yang yang sangat keras hinga mengejutkan para sahabat yang lagi mengikuti rapat.  Mendengar suara tersebut salah seorang sahabat bertanya pada Nabi Muhammad SAW. apa gerangan yang sedang  terjadi. Pertanyaan sahabat itu dijawab oleh  Nabi Muhammad SAW bahwasanya disebelah timur telah muncul dua buah Pulau ( Wuna & Buton )  yang mana penghuninya nantinya akan menjadi pemeluk agama Islam yang taat.
Olehnya itu diutuslah dua orang sahabat yakni Abdul Sukur dan Abdul Gafur untuk Mencari pulau dimaksud oleh Rasulullah SAW sekaligus menyebarkan agama islam di kedua pulau tersebut.
Dalam pencarian sebuah negeri sebagaimana yang di wasiatkan oleh Rasulullah SAW, kedua utusan tersebut terlebih dahulu menyinggahi beberapa negeri sebelum menemukan dua buah pulau  ( ditemukan dalam arti hakiki ) di maksud yaitu Pulau Wuna  – ( Muna ) dan Pulau Buton. Setelah kedua utusan tersebut menemukan negeri dimaksud ,maka ditancapkanlah sebuah bendera. Selain menancapkan bendera, kedua utusan tersebut juga memberikan nama pulau yang telah ditemukan yaitu Butuuni dan Munajat yang artinya Perut bumi dan Kesejahteraan.
Kisah seperti yang diceritakan  hikayat  “Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wa Daarul Munajat”  mengenai  asal mula Pulau Muna dan Pulau Buton  diatas secara ilmiah  tidak dapat-  dipertanggungjawabkan, sebab masa kerasulan Nabi Muhammad SAW di mulai setelah beliau berusia 40 tahun atau sekitar tahun 600-an M. jadi kalau mengacu pada buku “Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wa Daarul Munajat” berarti umur pulau Muna dan Pulau Buton baru sekitar 1400 tahun.
Intinya  Buku tambaga hikayat Assjaru Huliqa Darul bathniy Wa Darul Munajat bukanlah teks sejarah tentang asal usul pulau Muna dan Pulau Buton. Hikayat Assajaru Huliqa Darul bathniy Wa Darul Munajat hanyalah  mitos yang memberikan gambaran kebudayaan masyarakat Muna dan Buton.
B.     TRADISI LISAN MASYARAKAT MUNA
Cerita lainya yang mengisahkan asal mula Pulau Muna adalah seperti yang dituturkan dalam tradisi lisan masyarakat Muna. Kendatipun tradisi lisan  tersebut  dibumbuhi dengan miros-mitos namun banyak digunakan sebagai referensi para sejarawan dalam menulis Sejarah Muna.
 Dalam tradisi lisan masyarakat Muna itu   dikisahkan bahwa Pulau Muna ditemukan oleh Sawerigading pelaut dari kerajaan Luwu di Sulawesi Selatan dan pengikutnya sebanyak 40 orang. Mereka itu terdampar di sebuah wilayah yang saat ini bernama BAHUTARA ( Bahtera?). Terdamparnya Kapal Swaerigading tersebut akibat munculnya pulau dari dasar laut. 
Bukti terdamparnya kapal sawerigading tersebut adalah adanya sebuah bukit yang menyerupai sebuah kapal lengkap dengan kabin-kabinnya. Bukit yang menyerupai kapal tersebut diyakini oleh masyarakat Muna sebagai fosil dari Kapal  Sawerigading yang terdampar tersebut. Ditutur kan pula pengikut Sawerigading yang berjumlah 40 orang  kemudian menjadi cikal bakal masyarakat Muna.
Bukti lainya yang menguatkan keyakinan masyarakat Muna terhadap kebenaran tradisi lisan yang telah hidup beratus-ratus tahun  dikalangan masyarakat Muna adalah adanya sebuah bukit karang yang mana pada waktu-waktu  tertentu  mengeluarkan bunga yang mirip dengan bunga karang. Bukit batu yang juga terletak di Bhahutara tersebut di namakan “Kontu Kowuna”yang artinya batu  berbunga. Bukit batu yang mengeluarkan bunga tersebutlah konon sebagai asal usul penamaan Pulau dan Kerajaan ‘Wuna’
Walaupu tradisi lisan masyarakat Muna tersebut dapat dijelaskan secara ilmiah, khususnya tentang awal terjadinya Pulau Muna, yaitu sebuah gugusan pulau yang muncul dari dasar lautan namun tidak dapat dikatakan sebagai sejarah asal usul terjadian Pulau Muna karena juga dibumbui dengan mitos dan kisah-kisah luar biasa.
Jadi tradisi lisan masyarakat Muna tentang asal usul Pulau muna juga belum dapat dikatakan sebagai sejarah asal usul Pulau Muna, untuk itu perlu ada penelitian yang lebih mendalam lagi untuk membuktikan kebenaranya secara ilmih. Terutama mengenai tahun pemunculannya sebagai pulau.

C.    EPIK I LAGALIGO
Cerita yang memiliki kemiripan  dengan tradisi lisan masyarakat Muna tentang asal usul Pulau Muna adalah epic I La galigo. Epic itu mengisahkan bahwa Sawerigading adalah seorang pelaut yang tangguh. Dia melakukan penjelajahan samudera setelah bersumpah untuk tidak kembali di negerinya ( Luwu) karena ditentang rencananya untuk menikahi Wa Tendriyabeng yang ternyata saudara kembarnya.  Dikisahkan dalam epik tersebut bahwa menurut adat masyarakat Luwu hubungan antara  Sawerigading dan Wa Tanriabeng ( Saudara kembar ) tidak dibolehkan. Olehnya itu keduanya harus dipisahkan.
Tokoh dari kedua pada tradisi lisan masyarakat Muna dan Epic I La galogo memiliki kesamaan nama. Demikian pula dengan peranannya. Baik tradisi lisan masyarakat Muna maupun Epik I Lagaligo mengakui bahwa Sawerigading adalah seorang Pelaut.
Penyebutan nama yang diawali dengan ‘La’ bagi laki-laki masyarakat Muna memiliki kemiripna dengan penyebutan nama orang laki-laki pada suku Bugis. Hal ini dapat menjadi bukti bahwa sangat besar kemungkinannya Sawerigading pernah singgah ( terdampar)  di pulau Muna. Hal ini diperkuat oleh DR. Anhar Gonggong sebagai mana kutipan berikut :
Pemerintah pertama Muna yaitu Beteno Netombula juga dikenali sebagai Baidul Zamani adalah keturunan Sawerigading. Terdapat juga kisah lain yang mengatakan bahwa pemerintah pertama berasal dari Jawa, kemungkinan dari Majapahit. Permaisurinya bernama Tendiabe. Nama ini mirip dengan nama We Tenyirabeng, nama yang di dalam kisah La Galigo, yang menikah dengan Remmangrilangi’, artinya, ‘Yang tinggal di surga’. Ada kemungkinan Tendiabe adalah keturunan We Tenyirabeng. Pemerintah kedua, entah anak kepada Beteno Netombula atau Tendiabe atau kedua-duanya, bernama La Patola Kaghua Bangkano Fotu”.  ( La Galigo, Menelusuri Warisan Sastra Dunia– DR. Anghar Gonggong)
Tapi apakah terdamparnya kapal Sawerigading tersebut merupakan awal dari munculnya Pulau Muna? Hal ini juga perlu penelitian yang lebih mendalam lagi. Olehnya itu Epik I Lagaligo juga belum dapat dikatakan sebagai sejarah asal usul terjadinya Pulau Muna.
D.    RELIEF DI LIANGKOBORI DAN METANDUNO DAN MUSEUM KARTS          INDONESIA
Asal usul keberadaan Pulau Muna yang dapat dijelaskan secara ilmiah karena telah melalui penelitian ilmiah adalah  seperti yang dapat dilihat pada panel monitor  museum karts Indonesia  yang terletak di Desa Gebangharjo, Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. 
Dari panel tersebut kita dapat mengetahui bahwa Pulau Muna hampir seluruhnya tersusun oleh batu gamping berumur Pleistosen (sekitar 1,8 juta tahun yang lalu). Batu gamping ini diperkirakan dari Formasi Wapulaka, seperti terlihat pada tebing-tebing batu gamping ( Karts ) di sepanjang pantai. Batu gamping ini merupakan terumbu karang yang terangkat dan sekarang membentuk kawasan kars yang luas.( Museum Karts Indonesia ).
Itu artinya bahwa pulau Muna sebelumnya adalah terumbu karang yang ada didasar lautan, namun karena desakan dari bawah maka terumbu karang tersebut muncul dipermukaan dan menjadi sebuah pulau. Bukti kuat dari itu adalah sebuah wilayah disekitar Kota Muna lama dimana ada hamparan batu karang yang pada saat-saat tertentu mengeluarkan tunas-tunas seperti terumbu karang didasar laut, namun warnanya  agak berbeda yaitu putih. Tempat itu sekarang dikenal dengan Kontu Kowuna yang artinya batu berbunga.
Selain data yang tersimpan pada museum karts Indonesia, yang telah diteliti secara ilmiah adalah relief yang ada di  gua Liangkobori dan gua Metanduno. Relief  yang terdapat  di dinding gua tersebut menggambarkan kehidupan dan peradaban masyarakat Muna pada jaman purba. Relief tersebut menurut beberapa penelitian telah berumur lebih dari  25.000 tahun. Itu artinya bahwa jauh sebelum itu Pulau Muna telah ada dan telah di huni oleh manusia. Hasil penelitian ini mematahkan pendapat sebagai mana yang dikisahkan dalam buku Assajaru uliqa Darul Bathniy Wa Darul Munajat.  
Dari relief Liangkobori dan Metanduno tergambar bahwa sejak ribuan tahun yang lalu Orang  Muna telah menguasai teknologi kelautan dan telah melakukan penjelajahan samudera. Dari kebiasaan itulah yang memungkinkan Orang Muna bermigrasi dan menempati pulau-pulau lain disekitar Pulau Muna.
Jadi berdasarkan fakta ilmiah tersebut maka penulis berkesimpulan bahwa Pulau Muna pada awalnya merupakan terumbu karang. Namun setelah terjadi desakan akibat pergerakan kulit bumi, maka terumbu karang tersebut muncul dipermukaan dan membentuk sebuah pulau karang. Berdasarkan formasi bebatuan yang dimiliki sebagaimana yang ada di panel monitor Museum Karts di Jawa Tengah, kejadian munculnya  Pulau Muna kepermukaan tersebut sekitar 1,8 juta tahun yang lalu.
Merujuk pada usia relief yang ada di dinding gua Liangkobori dan Metanduno, Pulau Muna mulai dihuni oleh manusia jauh dari usia relief tersebut. Sebab bila melihat motif lukisan yang ada di dinding kedua gua tersebut maka manusia yang membuatnya telah memiliki peradaban yang tinggi yaitu telah mengenal teknologi kelautan dan astronomi. 
















BAB II
O R A N G   M U N A

A.    SIAPA ORANG MUNA ITU?
Orang Muna adalah masyarakat Suku Bangsa Muna, yang mendiami Pulau Muna dan pulau-pulau kecil disekitarnya, sebagian besar  Pulau Buton khususnya bagian Utara, Utara Timur Laut dan Barat Daya  Pulau Buton, Pulau Siompu, Pulau Kadatua dan Kepulauan Talaga ( wilayah Kabupaten Buton) . Orang Muna menggunakan Bahasa Daerah Muna sebagai bahasa tutur diantara mereka.
Orang Muna asli memiliki kemiripan dengan  suku-suku Polynesia dan Melanesia di Pasifik dan Australia. Orang Muna berbeda dengan suku-suku lain yang ada di Sulawesi Tenggara seperti suku Tolaki/Mekongga dan Moronene yang memiliki kemiripan dengan Melayu dan Mongoloid.
Dari bentuk tubuh, tengkorak, warna kulit (coklat tua/hitam), dan rambut (keriting/ikal) terlihat bahwa orang Muna asli lebih dekat dengan suku-suku  yang ada di Pulau Flores dan Kepulauan Maluku.  Hal ini semakin diperkuat dengan kemiripan tipikal manusianya dan kebudayaan suku-suku di Nusa Tenggara Timur dan Pulau Timor dan Flores umumnya dan Kepulauan Maluku dengan Kebudayaan dan tipikal Orang Muna..
Motif sarung tenunan di NTT, Maluku  dan Muna memiliki kemiripan satu dengan lainnya  yaitu garis-garis horisontal dengan warna-warna dasar seperti kuning, hijau, merah, dan hitam. Bentuk ikat kepala juga memiliki kemiripan, kecuali Maluku bentuk  ikat kepalanya berbeda.
Orang Muna juga memiliki kemiripan fisik dengan suku Aborigin di Australia. Sejak dahulu hingga sekarang nelayan-nelayan Muna khususnya di Pulau Siompu, Kadatua dan Kepulauan Talaga sering mencari ikan atau teripang dan lola hingga ke perairan Darwin.
Telah beberapa kali Nelayan Muna ( dalam laporan penelitian Program Study Pendidikan Sejarah FKIP Unidayan, ditulis Buton)  ditangkap di perairan sekitar Darwin oleh pemerintah Australia. Kebiasaan ini boleh jadi menunjukkan adanya hubungan tradisional antara orang Muna dengan suku asli Australia Aborigin  ( La Ode Abd Munafi & Andi Tendri,2002 ).
La Kimi Batoa dalam bukunya ‘Sejarah Kerajan Muna’ terbitan  CV Astri Raha menjelaskan  bahwa penduduk asli Pulau Muna adalah O Tomuna dan Batuawu. O Tomuna memiliki ciri-ciri  berkulit hitam, rambut ikal tinggi badan antara 160- 165 Cm. Ciri-ciri ini merupakan ciri-ciri umum suku-suku malanesia dan Australia .
Suku-suku di Indonesia yang memiliki ciri-ciri seperti ini mendiami wilayah Irian dan Australia ( suku Aborigin). Sedangkan Batuawu  berkuit Coklat  beraambut ikal dan tinggi tubuh berkisar 150-160 Cm. Postur tubuh seperti ini merupakan ciri-ciri yang dimiliki suku-suku  Polynesia yang  mendiami Pulau Flores dan Maluku. Suku asli Muna menggunakan Bahasa muna sebagai bahasa sehari-hari.
B.     SEBARAN WILAYAH HUNIAN ORANG MUNA
Suku asli Muna ( O Tomuna & Batuawu ), Menghuni Pulau Muna sejak ribuan tahun yang lalu. Bahkan selain menghuni Pulau Muna  Orang Muna juga menjadi menghuni sebagaian besar  wilayah Pulau Buton dan Pulau-Pulau kecil lainnya seperti Pulau Talaga, Kadatua dan Pulau Siompu yang saat ini masuk dalam wilayah administrasi kabupaten Buton. Penyebaran Suku asli Muna ( Baca; Orang Muna )di Pulau Buton dan pulau-pulau lainya di Sulawesi Tenggara itu dapat dilihat dari bahasa yang digunakan, bentuk tubuh, warna kulit  dan kebuadayaan masyarakatnya.
Kebudayaan yang paling menonjol dari Orang Muna adalah menjadi pelaut. Kebiasaan mengarungi lautan telah dilakukan sejak ribuan tahun yang lalu. Hal ini dapat dilihat dari gambar-gambar perahu yang terdapat di dinding Gua Liangkobori. Jadi boleh jadi dari kebiasaan mengarungi lautan itulah Orang Muna menyebar keseluruh kepulauam di Sulawesi Tenggara, bahkan sampai ke Darwin Australia.
Dalam literatur dan juga dalam pergaulan, Orang Muna lebih dikenal sebagai orang Buton. Hal ini disebabkan karena Kerajaan/Kesultanan Buton, atas bantuan Belanda, mengkooptasi Kerajaan Muna dan mengklaimnya sebagai bagian dari Wilayahnya. Kendati demikian maasyarakat dan pihak istana Kerajaan Muna tidak pernah mengakuinya.
Hingga Kerajaan/Kesultanan Buton dibubarkan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1962, Raja– raja  Muna terus melakukan perlawanan terhadap kooptasi Buton dan sekutunya, Belanda. Konsekuensi dari perlawanan tesebut adalah diasingkannya beberapa Raja Muna ke Pulau Sumatera, Jawa dan Ternate serta Pulau Banda.
Ada beberapa Raja-Raja Muna yang tercatat dalam sejarah yang pernah melakukan perlawanan  (fisik mapun politik) terhadap Kolonial Belanda dan Sekutunya Buton seperti Raja La Ode Ngkadiri, Wa Ode Wakelu (permaisuri Raja La Ode Ngkadiri), Raja La Ode Saete, La Ode Ngkaili, Raja La Ode Umara,La Ode Pulu dan yang terakhir Raja La Ode Dika gelar Komasigino.
Perlawanan Raja La Ode Dika ditunjukan saat menghadap Sultan Boton  La Ode Salihi. Dihadapan Sultan Buton, Raja Muna La Ode Dika tidak  melakukan penghormatan  sebagai mana layaknya bawahan terhadap atasan, bahkan dengan ketegasannya Raja Muna La Ode Dika mengacungkan telunjuknya ke Pada Sultan Buton.
Tata cara yang dilakukan oleh Raja Muna La Ode Dika tersebut dianggap sebagai perlawanan dan ancaman oleh Sultan Buton Saat itu La Ode Falihi, sehingga dilaporkan pada Pemerintah Kolonial Belanda di Makassar. Akibat dari sikapnya  tersebut La Ode Dika dicopot dari jabatannya oleh Pemerintah Kolonial Belanda dan secara sepihak pemerintah kolonial menyatakan Kerajaan Muna berada dibawah pengawasannya ( 1938-1941 ) hingga akhirnya  melantik  La Ode Pandu sebagai penggantinya.
Kenyataan lain yang menunjukkan bahwa Kerajaan Muna tidak pernah mengakui klaim Kesultanan Buton dan sekutunya Kolonial Belanda adalah kuatnya pengaruh kebudayaan Muna mempengaruhi kehidupan masyarakat di Kesultanan Buton khususnya pengguanaan bahasa Muna. Fakta ini masih dapat dilihat sampai saat ini dimana penutur bahasa Muna (orang Muna) yang mendiami sebagian besar wilayah ex Kerajaan/Kesultanan Buton masih dapat dilihat sampai saat ini..
Orang Muna menjadi penghuni Pulau Muna dan Pulau-pulau lainnya sejak  jaman purbakala. Hal ini dibuktikan dengan ditemukan relief purba di gua Liangkobori dan Gua Metanduno. Menurut beberapa penelitian relief tersebut telah berusia lebih dari 25.000 tahun. Relief yang ada di Gua Liangkobori dan Metanduno secara jelas menceritakan peradaban dan kebudayaan  Orang Muna saat itu.
Relief yang terdapat digua tersebut memberikan gambaran bahwa walau Orang Muna masih menempati Gua sebagai tempat tinggal mereka, tetapi mereka telah memiliki peradaban dan kebudayaan yang cukup tinggi. Orang Muna saat itu seperti yang diceritakan dari relief tersebut telah menggunakan  alat-alat  pertanian dalam bercocok  tanam, telah menguasai teknologi pelayaran serta memiliki pengetahuan  dibidang astronomi.
Kebudayaan Orang  Muna seperti tersebut diatas diketahui dari  gambar-gambar yang ada pada Gua Liangkobori seperti gambar tanaman perkebuanan, gambar orang yang sedang berburu dengan menunggang kuda, gambar perahu layar, gambar matahari, bulan dan bintang dan lain-lain.
Pengetahuan Orang Muna di bidang astronomi tersebut selain berkaitan dengan pengetahuan dibidang kelautan sebagai penunjuk arah,  juga berkaitan dengan kebudayaan bidang pertaian dan astrologi. Pengetahuan astronomi dan astrologi tersebut  masih terus di lestarikan sampai saat ini. Hal ini dapat dilihat dari Masyarakat Muna di pedalaman yang masih mengandalkan pengetahuan tradisional dibidang astronomi untuk menentukan musim tanam. Demikian juga dalam melihat hari baik untuk melakukan suatu aktifitas, masyarakat Muna sampai saat ini masih mengaitkan dengan peredaran bulan dan bintang. Pengetahuan masyarakat Muna dalam bidang astrologi dinamakan “kutika”.
Ada beberapa nama Rasi bintang yang menjadi petunjuk untuk melakukan aktifitas pertanian. Misalnya saja Rasi Bintang yang di namakan Fele, apabila rasi bintang ini sudah mulai terlihat jelas, maka aktifitas membersikan lahan segera di mulai sebab satu bulan lagi hujan pertama akan turun. Apabila hujan sudah turun maka pembakaran lahan dimulai.
Demikian pula dengan penguasaan Orang Muna terhadap Teknologi pelayaran dapat dilihat yang mana sampai saat ini Orang Muna dikenal sebagai nelayan-nelayan tangguh yang dapat mengarungi samudera sampai  Australia. Bukti itu dapat dilahat dengan banyaknya nelayan-nelayan Orang Muna yang ditangkap di Negara Australia pada saat mencari ikan dan lola dinegeri tersebut.
Belum ada penelitian yang mengungkap secara pasti sejak kapan Orang Muna menghuni  Pulau-Pulau lain selain pulau Muna. Namun kalau melihat dari relief-relief yang ada di liangkobori dapat diperkirakan bahwa Orang Muna telah menjadi penghuni Pulau-Pulau tersebut lebih dari 25.000 tahun yang lalu yaitu jauh sebelum relief yang ada di Liangkobori dibuat.
Gambar perahu/kapal yang terdapat  gua tersebut menunjukan bahwa waktu itu Orang Muna telah menguasai teknologi Kelautan serta telah melakukan perjalanan keluar Pulau  Muna dengan menggunakan perahu/kapal. Jadi dari kebiasan melakukan penjelajahan samudera tersebut sehingga Orang Muna banyak mendatangi tempat lain termasuk pulau-pulau yang ada di sekitar Puau Muna yakni Pulau Buton, Pulau Siompu, Kadatua dan Kepulauan Talaga bahkan sampai di darwin Australia.
C.    ORANG MUNA DALAM MEMBANGUN PERADABAN DI SUL-TRA
1Orang Muna Di Pulau Muna
Sebelum  Sawerigading  dan pengikutnya yang  berjumlah 40 orang tiba di Pulau Muna, Orang Muna yang dikenal sebagai O Tomuna dan Batawu telah menghuni Pulau Muna. Bukti keberadaan Orang Muna tersebut  dijelaskan dalam relief yang terdapat pada dinding Gua Liangkobori dan Gua Metanduno yang terletak sekitar Kawuna-wuna jaraknya 15 Km dari Kota Raha Ibu Kota Kabupaten Muna saat ini. Menurut Kosasi relief di dinding Gua Liangkobori dan Gua Metanduno berumur sekitar 25.000 tahun.
Relief yang terdapat didinding kedua gua tersebut menggambarkan bahwa Orang Muna saat itu telah memeiliki peradaban dan kebudayaan yang cukup maju. Jadi Sawerigading dan pengkutnya bukan orang pertama yang menjadi penghuni Pulau Muna, tetapi ketika mereka mendarat, mereka langsung berbaur dengan kelompok masyarakat ( Orang Muna ) lainnya dan membangun peradaban baru yang lebih maju.
Penghuni Pulau Muna sebelum kedatangan Sawerigading dan Pengikutnya masih mendiami gua-gua yang memang banyak terdapat di Pulau Muna sebagai tempat tinggal mereka. Kehidupan mereka masih sangat tergantung dengan alam. Mereka hidup dari berburu hewan dan memetik langsung makanan dari alam. Penduduk asli Pulau Muna belum mengenal bercocok tanam.
Peradaban dan kebudayaan Suku asli Pulau Muna semakin berkembang setelah berbaur dengan  empat puluh orang pengikut Sawerigading.  Pola hidup mereka yang sebelumnya mengandalkan meramu dan berburu dalam mencukupi kebutuhan pangannya, kemudian  berupa dengan polah bercocok tanam dan berternak. Selain itu mereka juga  juga mulai membentuk koloni-koloni dan mulai membangun perkampungan di luar gua.
Seiring dengan pertambahan penduduk, koloni-koloni tersebut berubah menjadi kampong dan permasalahan mereka menjadi kompleks. Untuk mengatur kehidupan social mereka, kemudian mereka mengangkat seorang pemimpin diantara mereka yang di gelar dengan kamokula ( Yang di tuakan ).
2. Orang Muna dalam membangun peradaban di pulau Buton
Jauh sebelum Rombongan Mia Pata Miana ( orang yang empat) yakni Sipanjonga,Sitamanajo, Simalui dan Sibatara mendarat di Pulau Buton, Orang Muna telah menjadi penghuni Pulau tersebut.
Dalam hikayat  Mia Patamiana,  dikisahkan bahwa pada saat Armada  Simalui yang berjumlah 40 orang  mendarat di sebelah Timur Laut Negeri Buton ( diperkirakan disekitar Kamaru ) pada tahun 1236 M, mereka bertemu dan berbaur dengan masyarakat local kemudian  membentuk sebuah pemukiman. Selain itu mereka juga membuat benteng sebagai pertahanan dari serangan dari luar.
Demikian juga dengan armada Mia Pata Miana yang lain ( Sipanjonga, Sijawangkati dan Sitamanjo), pada saat mendarat di suatu wilayah mereka langsung berbaur dengan masyaarakat Lokal yang menggunakan bahasa Pancana ( Muna ) sebagai bahasa tutur diantara mereka.  Kisah seperti yang diceritakan dalam hikayat Mia Pata Miana ini  diperkuat dengan  fakta dimana sampai saat ini masya rakat yang mendiami wilayah tempat pendratan mereka masih menggunakan  bahasa Muna ( Pancana ) sebagai bahasa tutur.
Dari fakta ini dapat di asumsikan bahwa jauh sebelum Mia Patamiana mendarat di negeri Buton, Suku asli Muna telah menjadi penghuni Pulau Buton.
Setelah Mia Patamiana dan pengikutnya datang di Pulau Buton kemudian berbaur dengan Orang Muna yang terlebi dahulu menempati Pulau Buton mereka membangun peradaban yang lebih maju lagi sampai menjadikan Wolio/Buton sebagai sebuah kerajaan. Kerajaan Wolio dibangun atasa kesepakatan para pendatang dari melayu, cina, Jawa ( Majapahit) dan Orang Muna yang   yang telah berbaur sebelumnya dan membentuk empat komunitas besar ( Pata Limbona).
Tidak sampai disitu saja, ketika Kerajaan Buton dipimpin oleh raja Buton V yang bernama La Mulae terjadi kekacauan yang luar biasa di kerajaan Buton akbiat terror yang dilakukan oleh La Bolontio seorang bajak laut dari Tobelo.
Teror tersebut nyaris meruntuhkan kerajaan Buton. Dalam Kondisi yang kacau balau itulah, Putera raja Muna VI Sugi Manuru yang bernama La Kilaponto datang menyelamatkan Negeri Buton dari kehancuran. Dengan kesaktiannya dalam waktu singkat penyebar terror tersebut dapat ditumpas ( Baca; La Kilaponton Omputo Mepokonduaghono Ghoera ).
Setelah Raja Buton V meninggal, tidak ada satupun yang berani menggantikannya untuk menjadi raja. Olehnya itu para tetua dinegeri Buton bersepakat  untuk melantik La Kilaponto menjadi Raja buton menggantikan La Mulae. Padahal waktu itu La kilaponto baru saja dilantik menjadi Raja Muna VII menggantikan ayahandanya Sugi Manuru yang telah tua.
Karena merasa bertanggung jawab untuk menyelamatkan negeri Buton yang telah dibangun lelluhurnya serta petuah ayahandanya, La Kilaponto menerimah amanah tersebut dengan konsekuensi harus mengemban jabatan raja pada dua kerajaan sekaligus dalam waktu yang bersamaan
.dikisahkan pula selain pada Kerajaan Muna dan Kerajaan Buton, pada waktu yang bersamaan pula La Kilaponton juga menjadi raja pada kerajaan Konawe, kerajaan Kabaena dan Kerajaan kaledupa
Terhitung sejak masa pemerintahan La Kilaponto  sampai masa pemerintahan Sultan Buton IV La Elangi gelar Dayanu Ikhsanuddin orang Muna menjadi penguasa dan berperan melakukan penataan terhadap system pemerintahan, hukum dan mebangun tatanan social kemasyarakat di negeri Buton adalah selama hampir dari dua ratus tahun.
Mengapa La Kilaponto dan penerusnya sampai La Elangi di katakana sebagai Orang Muna ? Sebab berdasarkan hasil penelusuran sejarah dan analisis terhadap sislsilah Raja-raja/Sultan Buton yang dilakukan penulis terungkap  bahwa Sultan Buton I ( La Kilaponton ) sampai Sultan Buton IV ( La Elangi ) tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan Raja-Raja Buton terdahulu ( Baca; La Kilaponto Omputo Mepokonduaghono ghoera).
Itu artinya bahwa peranan Orang Muna dalam membangun peradaban di negeri Buton, sampai menjadikan  Negeri itu menjadi sebuah Kesultanan yang di kenal dalam pergaulan dunia sangat besar dan tidak bisa dipandang  sebelah mata.
Perananan Orang Muna di Kesultanan Buton mulai didistorsi setelah Kolonial Belanda dapat mempengaruhi para petingi di Kesultanan Buton. Bukti bahwa Kolonial Belanda telah mempengaruhu petinggi di Kesultanan Buton khususnya golongan ‘sara’ adalah ketika ‘sara’ berhasil mendepak Sultan Buton II La Tumpamasi dari jabatannya sebagai Sultan. Golongan ‘sara’ mengamgap bahwa Sultan La Tumpamasi dalam menjalankan pemerintahanya terlalu keras melawan Kolonial Belanda.
Pendistorsian peranan Orang Muna tersebut berkaitan dengan keinginan Kolonial Belanda untuk dapat mengasai kesultanan Buton. Orang Muna yang saat itu sedang berkuasa di Kesultanan Buton diangap sebagai penghalang bagi Kolonial Belanda untuk memwujudkan ambisinya tersebut karena sejak awal Orang Muna yang dipelopori oleh La Kilaponto telah menganggap Bangsa Eropa dalam hal ini termasuk Belanda adalah musuh yang harus diperangi.
Keinginan Belanda untuk menguasai Kesultanan Buton yang saat itu sedang dikuasai oleh orang muna berkaitan dengan letak Kesultana Buton yang strategis yaitu sebagai pintu gerbang yang menghubungkan antara wilayah timur dan Barat Nusantara. Apa lagi waktu itu Kolonial Belanda sedang berkonfrontasi dengan Kerajan Gowa di satu pihak dan melawan pengaruh dua kekuatan Kolonial yang telah menuasai wilayah Timur Nusantara yaitu Portugis dan Spanyol..
Kolonial Bealnda melihat  bahwa  letaknya sangat strategis  sehingga sangat cocok untuk dijadikan sebagai basis pertahanan dari
3. Orang Muna dalam membanmgun peradaban di konawe/Mekongga.
Tidak saja di Kerajaan Muna dan Kerajaan Buton Orang Muna berperan aktif dalam membangun peradaban, tetapi di juga di Kerajaan lainnya di Sulawesi Tenggara yaitu Konaw/Mekongga.  Bahkan dalam beberapa literatur mengungkapkan bahwa  Orang Muna yang dipelopori oleh La Kilaponto berperan aktif membangun peradaban di Kerajaan Konawe/Mekongga sejak La Kilaponto belum menjadi Raja di Kerajaan Muna maupun di Kerajaan Buton.
Berbeda dengan Kedatangan Orang Muna di Buton yang dilakukan sejak jaman purba, kedatangan Orang Muna ( La Kilaponto) di Konawe/Mekongga, dikarenakan adanya hubungan kekerabatan antara Raja-Raja Muna dengan Raja-Raja Konawe sebagai mana kutipan berikut
“ Setelah beberapa lamanya maka terdengar chabar oleh La Kilaponto ( Murhum) bahwa mama dari Wa Sitao anak dari Mokole Konawe telah meninggal dunia dengan meninggalkan harta benda yang menjadi pusaka Wa Sitao dan Wa Randea nenek Murhum tersebut. Mendengar itu, maka La Kilaponto ( Murhum) sampailah di Konawe dan disebut  namaanya La tolaki. Beberapa lamanya beliau menjadi Mokole Konawe, maka terjadilah perang antara Mekongga dan Konawe, dalam peperangan itu dimana Konawe mendapaat kemenangan” ( La Ode Abdul Kudus, 1962;2).
Namun Said D berpendapat lain, menurutnya kedatangan Orang Muna ( La Kilaponto ) di Kerajaan Konawe/Mekongga akibat adanya keinginan La Kilaponto untuk melakukan perlawatan pada  Kerajaan-kerajaan yang pernah di hancurkan oleh La Bolontio, tokoh bajak laut bermata satu yang telah dikalahkannya pada suatu pertempuran di Boneatiro.  Dalam perjalanan menuju Konawe, kebetulan kerajaan itu sedang bertikai dengan Kerajaan Mekonga. Hanya dalam waktu delapan hari La Kilaponto dapat menyelesaikan pertikaian itu. Atas jasanya tersebut, La Kilaponto kemudian diangkat menjadi Mokole Konawe dan dianugerahi gelar Haluoleo ( Said D, 2007 ; 148 ).
Tidak ada catatan sejarah yang megungkap sejak tahun berapa  La Kilaponto di lantik menjadi Mokole Konawe, tapi yang pasti hingga dia di lantik mejadi Raja Muna pada tahun 1538,  La Kilaponto masih menjabat sebagai Mokole Konawe, bahkan sampai Kerajaan Buton  berubah menjadi Kesultanan dan La Kiaponto menobatkan diri sebagai Sultan Pertamanya pada tahn1541 La Kiaponto masih menjadi Mokole Konawe.
Jadi dalam kurun waktu tiga tahun Orang Muna ( La kiaponto ) menjadi raja di tiga  Kerajaan dalam waktu yang bersamaan. Dalam lteratur lain mengungkakan sesunguya selain tiga kerajaan besar tersebut, turut pula dua kerajaan lainnya yaitu Kobaena dan Mekongga  ikut menyertakan diri dibawah kekuasaan Orang Muna ( La kilaponto ) sebagaimana kutipan berikut
‘ Adapun tatkala Murhum menjadi raja dalam negeri Buton ini, tatkala dikaruniai Murhum, maka menjadilah sekalian negeri karena ia Raja La Kilaponto membawahi negeri  yang besar yaitu Buton dan Wuna, jadi ikut sekalian negeri ini seperti Kaledupa dialihkannya, Mekongga dialihkannya dan Kobaena dialihkannya. Maka sekalian negeripun dialihkannya oleh Murhum’ ( Koleksi belanda, hal 1)’




BAB III
RAJA - RAJA MUNA
DAN PERJUANGANNYA.
Dari 39 Raja-Raja Muna yang telah memerintah dikerajaan muna tidak semua memiliki catatan sejarah yang dapat diungkap .  Untuk itu dalam tulisan ini penulis hanya mengungkap beberapa orang saja dengan perjuangannya masing-masing serta masa pemerintahan dan sistem pemerintahannya..
Pengungkapan ini bertujuan untuk menjadi pembelajaran  pada geberasi agar mereka mengenal sejarah kejayaan nenek moyang mereka serta bagaimana perjuangan mereka dalam membesarkan Kerajaan Muna dan kegigihan mereka dalam mengusir penjajah belanda dari Kerajaan Muna.Pengungkapan sejarah ini juga bertujuan untuk menumbuhkan rasa bangga sebagai generasi Muna karena ternyata  raja-raja Muna masa lalu telah menggoreskan tinta emas dalam catatan sejarah, baik sejarah ditingkat Lokal Sulawesi tenggara maupun ditingkat nasional.Raja-Raja Muna dan segenap masyarakatnya masa lalu juga tidak pernah tunduk dengan imperialisme dan liberalisme.
1.   Raja Muna I – La Eli alieas Baidhuldhamani Gelar Bheteno Ne Tombula, ( 1417 –     1467 )
Bheteno ne Tombula alias La Eli alias Baidhul Jamani adalah Raja Muna I. Bheteno ne Tombula  dipercaya sebagai orang pertama yang memulai beradabaan baru  dalam sistem sosial kemasyarakatan di Muna. Hal ini dikarenakan pada masa pemerintahan Bheteno Ne Tombula Muna menjadi sebuah kerajaan dengan struktur  pemerintahan dan struktur sosial yang lebih moderen. Sebagai seorang raja Sugi manuru juga melakukan penataan dalam sistem administrasi pemerintahan, walapun pada waktu itu masyarakat Muna termasuk raja belum mengenal tuulisan. 
Bheteno Ne tombula bukanlah orang Muna, beliau ditemukan dalam rumpun bambu oleh sekelompok orang yang ditugaskan utnuk mencari bambu pada saat diadakan pesta besar di Wamelai.
A.    Bheteno Ne Tombula Versi Tradisi Lisan Masyarakat Muna
Dikisahkan dalam tradisi lisan masyarakat Muna bahwa pada suatu hari, Mieno ( Pemimpin Wilayah ) Wamelai  akan mengadakan  pesta raya, seluruh masyarakat  Muna di delapan wilayah dikumpulkan untuk turut membantu mempersiapkan pelaksanaan pesta tersebut.
Sekelompok orang yang ditugaskan untuk mencari bamboo dihutan, menemukan seorang lelaki yang gagah perkasa di dalam rumpun bamboo yang akan ditebang, ada juga yang mengisahkan bahwa manusia  tersebut ditemukan dalam ruas bamboo.
Karena penemuan tersebut dianggap aneh, lelaki itu kemudian  dibawah menghadap pada mieno Wamelai . Dihadapan mieno Wamelai  dan pemimpin wilayah lainnya lelaki itu mengaku bernama  LA ELI  alias BAILDHUL  JAMAANI  Putra Raja Luwu di Sulawesi selatan. Dituturkan dalam tradisi lisan, kedatangan LA ELI  alias BAILDHUL  JAMAANI  di Muna untuk menunggu  istrinya yang saat ini sedang hamil dan akan datang menemui dirinya. Tempat pertemuan yang mereka sepakati untuk pertemuan itu adalah Pulau Muna ( Wuna).  
Selang beberapa hari setelah penemuan manusia dalam rumpun bamboo tersebut, tersiar  kabar bahwa di Lohia pesisir Timur Pulau Muna, tepatnya di Laguna Napabale ditemukan seorang wanita cantik. Wanita tersebut mengaku bernama WA TANDI ABE .  berasal dari kerajaan Banggai di Sulawesi Tengah, dia datang di Muna dengan menumpang sebuah talang dan terdampar ditempat itu. Tujuan kedatangannya adalah  untuk bertemu dengan suaminya yang telah menungguhnya disuatu tempat dimana talang yang ditumpanginya terdampar.
Kabar tentang terdamparnya seorang wanita di Lohia tersebut  tersebar luas begitu cepat dikalaangan masyarakaat. Pada suatu hari kabar itu  sampai juga ditelinga MIENO WAMELAI di Tongkuno, sehingga beliau memerintahkan agar wanita tersebut di dibawa menghadap dirinya guna dipertemukan dengan LA ELI alias BAIDHULJAMANI  untuk di konfrontir.
Ternyata  setalah dipertemukan keduanya mengaku sebagai suami istri dan mereka yang saling mencari  . Dalam pertemuan tersebut Wa Tandi Abe juga mengaku dalam keadaan hamil, dan janin dalam rahimnya tersebut adalah darah daging dari LA ELI alias BAIDHUL JAMANI suaminya yang ada dihadapannya saat ini.
Karena peristiwa itu dianggap luar biasa dan tidak lazim, maka rapat dewan adat menyepakati untuk ‘memingit’  keduanya dalam sebuah kelambu selama tujuh hari tujuh malam. Tujuan pemingitan adalah untuk  mencegah hal-hal negative yang timbul akibat penemuan dua orang yang aneh tersebut dan mengaku sebagai Suami istri. 
Setelah tujuh hari dalam  ‘pingitan’, ternyat tidak ada  kejadian  yang luar biasa sehingga  keduanya di keluarkan dari pingitan kemudian di nikahkaan kembali menurut adat yang berlaku dikalangan masyarakat Muna.
Peristiwa pemingitan tersebut akhirnya menjadi tradisi dan menjadi syarat yang harus dilalui seseorang yang akan menjadi Raja Muna.  Peristiwa ini juga menjadi tradisi  yang harus dilalui seorang wanita  yang telah memasuki usia baliqh sebagai tanda kalau wanita tersebut sudah siap untuk dinikahkan. Tradisi ini diberi nama ‘ Kaghombo’ dan masih terpelihara dengan baik sampai saat ini.
Perkawinan antara LA ELI alias BAIDHUL JAMANI dengan WA TANDIABE  melahirkan tiga anak yaitu KAGHUA BANGKANO FOTU. RUNTU WULAE dan KILAMBIBITO. KAGHUA BHANGKANO FOTU  kemudian menjadi Raja Muna II dengan gelar SUGI PATOLA. Sugi berarti ’Yang Dipertuan’.   RUNTU WULAE kembali ke Luwu untuk menjadi Raja di sana  sedangkan  KILAMBIBITO  kawin dengan LA SINGKABU (kamokulano Tongkuno) Putera dari MINO WAMELAI ( La Kimi. Sejarah Muna, Jaya Press ).       
LAKILAPONTO  Raja Muna VII dan Raja Buton VI/ Sultan Buton I  manusia yang fenomenal karena pernah memimpin lima kerajaan dalam waktu yang bersamaan  berasal dari garis keturunan sugi tersebut. 
Dalam sebuah rapat dewan adat dan semua pemimpin wilayah, disepakati bahwa La Eli atau Badhuljamani adalah manusia sakti dan pantas untuk dinobatkan menjadi pemimpin tertinggi di Muna. Setelah dinobatkan menjadi pemimpin tertinggi, La Eli/ Baidhuljamani mendeklarasikan Muna sebagai sebuah Kerajaan dan dirinya adalah Raja Pertama dengan Gelar Bheteno Ne Tombula ( yang Muncul di Bambu ) sedangkan istrinya ( permaisuri ) bergelar Sangke palangga ( yang menumpang pada talam). Sejak saat itulah Muna menjadi sebuah kerajaan.
B.     Menata Sistem  Pemerintahan
Tugas pertama Bheteno ne Tombula Setelah di nobatkan menjadi Raja Muna I adalah  melakukan penataan struktur pemerintahan dan struktur masyarakat di Kerajaan Muna. Sistem  pemerintahan yang dibangun  pada awal masa pemerilnahan Bheteno Netombula tersebut merupakan penyempurnaan dari sistem pemerintahan terdahulu ( yang masih bersifat kelompok-kelompok komunitas  dan berdiri sendiri-sendiri. Lembaga-lembaga pemerintahan yang merupakan prasyarat sebuah negara pun dibentuk dan  kelompok – kolompok komunitas yang tadinya berdiri sendiri diikat dalam sebuah lembaga besar yang bernama kerajaan Muna.  
Strukur pemerintahan yang dibentuk oleh Bheteno Ne Tombula sebagai penanda berdirinya sebuah kerajan adalah:
v  Raja, sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan dengan gelar Kino Wuna. Raja memiliki kewenangan dan kekuasaan yang sangat luas dan besar yang melingkupi seluruh wilayah kerajaan. Titah raja merupakan hukum yang harus dipatuhi oleh seluruh rakyat.
v  Kepala Pemerintahan Wilayah   dengan gelar Mieno (pemimpin )  dan Komokula ( Yang dituakan ) Kepala pemerintaha wilayah berkuasa dan memiliki kewenangan dalam wilayah kekuasaannya dan tunduk pada Raja sebagai pemimpin tertinggi. Wilayah administrsi pemerintahan wilayah berdasarkan pembagan wilayah terdahulu sebelum terbentuknya kerajaan Muna. Pemerintahan wilayah tersebut berjumlah 8 wilayah masing-masing 4 wilayah dipimpi oleh “ Mieno “  dan 4 wilayah dipimpin oleh “ Kamokula “. Kedelapan wilayah tersebut adalah :
Pemerintahan wilayah tersebut kemudian dikenal dengan “ Wawono Liwu “ ( Negeri terdahulu ) adalah :
Empat yang dimpin Mieno
1. Mieno Kaura
2. Mieno Kansitala
3. Mieno Lembo
4. Mieno Ndoke. Dan

Empat yang dipimpin Kamokula :

1. Kamokulano Tongkuno
2. Kamokulano Barangaka
3. Kamokulano Lindo
4. Kamokulano Wapepi

Kedelapan kepala pemerinahan admiistrasi pemerintahan wilayah tersebut an keturunanannya kemudian oleh Sugi Manuru Raja Muna VI ketika melakukan penetapan strakta sosial dalam masyarakat Muna dikenal sebagai “ Wawono Liwu “
v  Papara (Rakyat)   atau kelompok yang diatur dengan gelar Ana ( yang dianggap anak ).


C.     Pembagian Golongan
Bheteno Ne Tombula  juga melakukan pembagian strata/ penampisan golongan membagi masyaraakat  Muna menjadi tiga Golongan yaitu :
Ø  Golongan Beteno Ne Tombula, Golongan ini  yang berhak menjadi raja.
Ø  Golongan Mieno Wamelai, Golongan ini  berhak untuk menjadi kepalah    pemerintahan wilayah.
Ø  Golongan Rakyat adalah  orang yang diatur.


2.   Raja Sugi Manuru ( 1527-1538 )
SUGI MANURU adalah Raja Muna VI terkenal bijaksana dan memiliki wawasan luas dan sangat ahli dalam ilmu ketata negaraan.  Dikalangan masyarakat Muna   SUGI MANURU  diberi gelar sebagai ‘ omputo mepasokino Adhati’  artinya Raja yang menetapkan Hukum , adat, nilai-nilai dan falsafa dasar berbangsa dan bernegara. Gelar tersebut diberikan sebab pada masa pemerintahan SUGI MANURU lah  dirumuskan dan ditetapkan tatanan,  nilai-nilai dasr dan sendi-sendi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di kerajaan Muna.
Tatanan kehidupan bermasyarakat yang dirumuskan dan ditetapkan pada masa pemerintahan Sugi Manuru. Nilai-nilai dan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara tersebut dikaitkan dengan   relevansi wilayah dalam hubungannya dengan manusia, alam dan Tuhan.
Penetapan hubungan wilayah dengan manusia tersebut dipengaruhi oleh ajaran dan nilai-nilai islam. Itu artinya walaupun Sugi manuru belum memeluk islam, namun nilai-nilai islam telah berpengaruh di kalangan istana kerajaan Muna.
Masuknya pegaruh islam di Kerajaan Muna dalam sistem ketatanegaraan dikrajaan Muna pada masa pemerintahan Sugi manuru setelah masuknya penyebar islam I di Muna yaitu Syekh Abdul Wahid. Menurut beberapa catatan, Syekh Abdul Wahid adalah seorang misionaris islam yang berasal dari Arab. Namun ada juga yang mengatakan bahwa beliau adalah pedagang dari Gujarad.
Islam mulai diajarkan  secara luas oleh Syekh Abdul Wahid di Kerajaan Muna pada masa-masa akhir pemerintahan Sugi manuru. Salah satu murid pertama Syekh Abdul Wahid adalah La Kilaponto, Putera Raja Sugi Manuru yang kemudian menjadi Raja Muna VII dan akhirnya menjadi Raja Buton VI.
Setelah Menjadi Raja Buton, La Kilaponto kemudian memboyong gurunya tersebut di kerajaan Buton. Hal inilah yang menyebabkan proses islamisasi di kerajaan muna menjadi terhenti
.Hal yang berbeda terjadi di Kerajaan Buton. Seiring dengan peningkatan intensitas pengajaran islam di kalangan masyarakat buton, maka proses islamisasi di Kerajaan tersebut  berjalan sangat pesat. Bahkan dalam waktu tiga tahun agama Islam resmi menjadi agama kerajaan.
Bukti diterimanya agama islam sebagai agama kerajaan adalah berubahnya bentuk Kerajaan menjadi kesultanan dan Sultan pertamanya adalah La Kilaponto. Setelah resmi menjadi Sultan, Lakilaponto Kemudian Bergelar Sultan Qaimuddin Khalifatul Khamis.
Sebagai mana halnya dengan pemerintahan tradisonal lainnya, di kerajaan Muna juga menganggap  seorang raja sebagai poros kekuaasaan dan sumber keteladanan. Jadi apapun yang dilakukan, diyakini atapun yang dititahkan  raja  maka semua warga kerajaan  wajib mengikuti tanpa terlebih dahulu menannyakan apalagi menilai baik-buruknya. Jadi karena Islamisasi fase pertama ini belum mampu mengislamkan raja serta masih kuatnya keyakinan Orang Muna dengan kepercayan leluhurnya yaitu animisme dan dinamisme maka misi Misionaris Islam pertam yakni Syeh Abdul Wahid di Muna dapat dikatakan mengalami kegagalan, walau tidak sepenuhnya sebab Raja Munasaat itu Sugi Manuru telah banyak memiliki pehaman terhadap nilai-nilai islam.
Sebagai mana yang dijelaskan terdahulu, Walaupun pada masa Pemerintaha SUGI MANURU Islam baru diperkenalkan oleh Syekh Abdul Wahid  di Kerajaan Muna serta  SUGI MANURU sendiri belum memeluk islam, namun sepertinya SUGI MANURU telah memiliki pemahaman yang kuat terhadap nilai-nilai Islam.
Pemahaman Sugi manuru terhadap nilai-nilai islam  dapat dilihat saat membagi  Kerajaan dalam empat wilayah besar yang disebut dengan Ghoera yaitu Ghoerano Tongkuno, Ghoerano Lawa, Ghoerano Katobu. Dan Ghoerano Kabawo
Pembagian wilayah Kerajaan Muna menjadi empat Ghoera tersebut oleh Sugi manuru di ibaratkan sebagai ;
1. Ghoerano Tongkuno di ibaratkan asal api hurufnya alif.
2. Ghoerano Lawa di ibaratkan asal angin hurufnya ha.
3. Ghoerano Kabawo di ibaratakan asal air huruf nya mim.
4. Ghoerano Katobu di ibaratkan asal tanah huruf nya dal.
Pengibaratan tersebut bertitik tolak pada  hakikat penciptaan manusia yang memiliki  sifat– sifat  api, angin,air dan tanah.Keempat sifat tersebut kemudian diuraikan sebagai berikut ; 
1.  Sifat api; adalah menggambarkan  manusia yang memiliki  emosi. Sebagaimana Api, emosi ini kalau dikelola dengan baik akan memberi manfaat bagi banyak orang, tapi kalau tidak terkontrol maka akan menyebabkan kehancuran yang besar.
2.   Sifat angin adalah menggambarkan manusia yang memiliki  ambisi. Ambisi yang dimiliki setiap manusia itu bagaikan senjata. Kalau ambisi berada pada orang yang baik maka ambisi itu akan  diarahkan pada hal-hal yang positif dan menjadi motifasi untuk mencapai kesuksesan dengan cara-cara yang benar.  Tapi kalau berada pada orang yang tidak baik maka akan diarahkan pada ha-hal yang negative bahkan kadang  menghalalkan segala cara untuk mencapai apa yang di cita-citakaan.
3.   Sifat air menggambarkan  sifat manusia yang tenang selalu memberikan kesegaran dan kesejukan serta  menghilangkan dahaga. Namun demikian kalau pengelolaan dan penggunaanya dilakukan dengan cara yang tidak baik dan tidak benar, maka akan menjadi petaka. Air juga memiliki sifat selalu mengalir ditempat yang lebih rendah, maksudnya manusia harus memiliki sifat rendah hati, tidak sombong walau memiliki kekuatan yang besar.
Hal yang paling pokok adalah sifat air yang selalu mengikuti bentuk wadahnya, ini artinya manusia harus dapat beradaptasi dengan situasi dan kondisi dimana dia berada.
4.   Sifat Tanah diibaratkan sebagai sifat manusia yang sabar dan tidak menuntut imbalan atas segalah sesuatu yang dilakukan untuk kepentingan orang lain. Hal ini dapat dilihat dari sifat tanah yang selalu sabar walalupun telah menumbuhkan tanaman sebagai sumber kehidupan manusia, walaupun telah menyediakan tempat untuk berpijak manusia tapi dia tidak pernah menuntut imbalan. Bahkan ketika diinjak dan diberaki tanah tidak pernah marah.
Selain itu empat huruf yang digunakan sebagai pengandaian empat wilayah dalam Kerajaan Muna tersebut kalau dirangkai suatu kalimat ” Ahmad” Ahmad ini dalam sejarah islam dan dalam Al-Qur’an disebut sebagai nama lain dari Muhammad SWA, nabi dan rasul junjungan umat islam.
Begitu bijaksananya , sehingga dalam melakukan pembagian wilayah pun SUGI MANURU melakukan pengandaian dengan hakikat penciptaan manusia sebagaimana yang dikandung oleh nilai-nilai islam.
 Disebutkan pula bahwa SUGI MANURU  yang menetapkan pembagian golongan di Kerajaan Muna. Adapun golongan itu adalah Kaoumu, Walaka, Olindo Fitu Bangkaono,dan Wawono Liwu. Yang secara hakikat dapat pula dikatakan bahwa susunan golongan-golongan itu di ibaratkan sebagaai struktur raga manusia yaitu :

Ø  O kaomu,  di ibaratkan kepala manusia huruf nya mim awal.
Ø  walaka di ibaratkan badan manusia huruf nya Ha.
Ø  O lindo Fitu bengkauno di ibaratkan perut hurufnya mim akhir.
Ø  Owawono Liwu di ibaratkan kaki hurupnya Dal.
Inilah yang dikatakan pengendali dan yang dikendali. Kaomu dan Walaka adalah mitra kerja yang mengendali, Olindo Fitu Bangkauno serta Wawono Liwu adalah sumber daya manusia dan sumber daya alam, bakalan yang akan di atur.
Nilai-nilai yang diajarkan SUGI MANURU Inilah yang dikatakan sebagai rahasia wawasan negeri dalam pengertian  SOWITE ( untuk tanah air ). SOWITE ini kemudian diuraikan  agar mudah dalam implementasinya sebagai landasan idiologi  yang dikenal dengan falsafah hidup masyarakat Muna, yaitu “ Koemo Bhada Sumanomo Liwu, Koemo Liwu Sumanomo Sara, Koemo Sara Semanomo Oadhati, Koemo Oadhati Sumanomo Agama”, artinya ; Rela mengorbankan Jiwa dan raga demi bangsa dan negara, Tegakkan Hukum walaupun bumi runtuh, kalaupun hukum tidak berjalan, adat istiadat tetap harus dipertahankan, Kalaupun adat istidat sudah tidak memberi arah,  nilai-nilai,  agama yang akan dijadikan pegangan.
Penetapan empat landasan idiologi sebagai falsafah hidup Masyarakat Muna tersebut sangat jelas dipengaruhi oleh ajaran Islam. Hal ini ditandai dengan penghargaan agama sebagai ajaran yang harus dipegang dan menjadi petunjuk apabila ajaran-ajaran lainnya tidak berjalan dengan baik.
J. Couvreur (1935;5) mengatakan bahwa Sugimanuru mempunyai empat belas orang putra terdiri atas sebelas orang laki-laki dan tiga orang perempuan. Keempat belas  orang dimaksud adalah (1) Kakodo, (2) Manguntara, (3) La Kakolo, (4) La Pana, (5) Tendridatu, (6) Kalipatolo, (7) Wa Sidakari, (8) La Kilaponto, (9) La Posasu, (10) Rampeisomba, (11) Kiraimaguna, (12) Patolakamba, (13) Wa Golu, (14) Wa Ode ogo.
Oleh karena itu dalam Penentuan tingkatan golongan masyarakat pada masa pemerintahan SUGI MANURU di klasifikasikan berdasarkan keturunannya. Pengklasifikasian berdasarkan keturunan  ini dimaksudkan agar kelak tidak terjadi konflik perebutan kekuasaan diantara keturunannnya.  Struktur tingkatan golongan masyarakat  itu adalah :
1. Golongan Kaomu.
Golongan ini bersumber dari anak laki-laki Sugi Manuru yang memiliki kemampuan dan keahlian dibidang pemerintahan. Kaomu adalah goloangan teratas yang berhak menduduki jabatan Raja Muna dan Jabatan-Jabatan eksekutif lainnya yang sesui dengan hukum adat ( Kuasa eksekutif ).
2. Golongan Walaka.
Golongan ini bersumber dari anak Perempuan Sugi Manuru yaitu Wa ode pago yang kawin dengan La Pokainse anak Mieno Wamelai. Walaka adalah golongan yang berhak dan memiliki kuasa dalam mengangkat Raja Muna, memegang kekuasaan menetapkan  hukum hukum adaat dan mengawasi pelaksanaannya ( kuasa legislatif dan Yudikatif ).
3. Goloangan Wawono Liwu.
Goloangan ini terbagi atas tiga tingkatan yaitu :
a.      Golongan Wawono Liwu Ghoera atau Fitu Bengkauno, Golongan  ini bermula dari 7 orang anak laki-laki Sugi Manuru dari istri selir. Golongan ini berhak untuk menjadi kepalah pemerintahan Ghoera (kuasa Pemerintah daerah) yaitu;
1.      Ghoerano Tongkuno
2.      Ghoerano Kabawo
3.      Ghoerano Lawa
4.      Ghoerano Katobu
b.      Golongan Wawono Ghaoera Papara
Golongan ini berarasal dariturunan dari ke 4 Kamokulano dahulu yaitu; 
1. Kamokulano Tongkuno.
2. Kamokulano Barangka,
3. Kamokulano Lindo,
4. Kamokulano Wapepi.
c.   Golongan Poino Kontu Lakono Sau.
Golongan ini adalah golongan Wawono Liwu yang terendah, ibarat sebuah batu dan sepotong kayu didalam masyarakat Kerajaan Muna. Mereka ini turunan dari ke empat Mieno yaitu;
1. Mieno Kaura,
2. Mieno Kasintala,
3. Meino Lembo,dan
4. Meino Ndoke.

Sugi Manuru juga menetapkan mekanisme pengangkatan pemimpin, mulai dari tingkat Raja sampai pada tingkat pemerintahan terendah yaitu Mieno. Menurut ajaran Sugi manuru Penentuan siapa yang akan  menjadi pemimpin dimasing-masing tingkatan dan golongan ditentukan oleh Sara berdasarkan kapasitas masing-massing indifidu. Pengangkatannya berdasarkan hasil rapat dewan adat yang anggotanya berasal dari golongan Walaka.
Selain Menyusun tingkatan golongan masyarakat, SUGI MANURU juga menetapkan  struktur pemerintahan kerajaan. Struktur pemerintahan kerajaan pada jaman SUGI MANURU adalah ;
1.      Raja (Eksekutif), dari Golongan Kaomu
2.      Bonto ( Legislatif ), dari golongan walaka
3.      Mintarano Bhitara ( Yudikatif ), dari golongan Walaka    ( No 1- 3 adalah pemerintah pusat )
4.      Mowano Ghoera  ———— pemerintahan setingkat dibawah pemerintah pusat
5. Kamokula & Mieno ————- setingkat dibawah Ghoera
Semua perangkat kerajaan termasuk raja disebut sebagai Sarano Wuna. Mereka itu harus dapat merepresentasikan muna secara keseluruhan.Dewan Sara dipimpin oleh Bonto dari golongan Kaomu. Sidang – sidang dewan Sara bertugas mengangkat dan memberhentikan Raja   serta menetapkan arah haluan kebijakan Kerajaan.
3.   Raja Muna VII – La Kilaponto gelar mepokonduaghono Ghoera ( 1538-1541). 
La kilaponto Raja Muna VII ( 1538- 1541 M ) adalah putera Raja Muna VI Sugi Manuru, dari isterinya Wa Tubapala anak dari Wa Randea puteri Mokole Konawe ( Mahmud Hamundu- Makala pada Simosium Pernaskahan Nusantara X, 2003 ). La Kilaponto memiliki 13 orang saudara ( J.Courveur 1935;5), namun dari satu ibu  dia hanya memiliki dua saudara yaitu La Posasu/ Kobangkuduno dan Wa Karamaguna/ Wa Ode Pogo ( silsilah Raja-Raja Muna & Buton, Dok. KTVL ).
La Kilaponto memilki nama kecil La Kila, kemudian oleh masyarakat Muna di tambahkan dengan Ponto ( Sejenis bambu yang keras ) sehingga menjadi dikenal namanya La Kilaponto.  Pemberian nama itu karena sesuai dengan sikap dan pembawaanya sebagi pemuda yang cerdas, tampan, kuat dan  keras sikapnya ( Said D, 2007 ; 143 ). La Ode Rifai Pedansa, seorang tokoh masyarakat Muna berpendapat lain mengenai penambahan ‘ponto’pada nama La Kilaponto. Menurutnya penambahan kata ‘ponto’ karena sebeum menjadi Raja Muna, La Kilaponto ditugaskan memimpin wilayah yang bernama ‘Ponto” yaitu wilayah yang saat ini dikenal dengan Gu, La kudo dan Mawasangka sebagai Raja Muda (Wawancara; Mei 2011).
Ada beberapa versi yang mengisahkan tentang tahun La kilaponto menjadi Raja di Kerajaan Muna. La Kimi Batoa dalam Bukunya Sejarah Kerajaan Daerah Muna, mengatakan bahwa La Kilaponto menjadi Raja Muna selama 3 tahun yaitu antara tahun 1538-1541 (La Kimi Batoa, 1995). Masa ini bersamaan dengan  saat  dia menjadi raja di Kerajaan Buton sebelum kerajan itu menjadi Kesultanan ( 1541 ) dan La Kilaponto dinobatkan sebagai Sultan Pertama dengan gelar Sultan Qaimuddin Khalifatul Khamis.
Sedangkan Said D mengatakan bahwa La kiaponto menjadi raja di Kearajaan Muna pada tahun 1530 – 1538 ( Said D, 2007;144 ).  Perkiraan tahun berkuasanya La Kilaponto sebagai mana yang di katakan oleh Said D tersebut, boleh jadi merupakan masa ketika dia menjadi Raja Muda di wilayah ‘Ponto’ sebgai mana dikatakan La Ode rifai Pendansa. Asumsi ini diperkuat dengan hasil penelitian  H.E. Tamburaka yang dumuat dalam buku ‘ Sejarah Daerah Sulawesi Tenggara’ bahwa La Kilaponto atau Haluoleo menjadi Raja Muna Sementara pada tahun 1530 – 1538.
A.    Manusia Fenomenal Yang Kharismatik
La Kilaponto  adalah manusia yang fenomenal yang kharismatik, ahlian   dalam strategi perang,  piawai dalam berdiplomasi serta  pakar dalam ilmu ketata negaraan..  Hal itu dapat dilihat dimana dia pernah memimpin lima kerajaan besar dalam waktu bersamaan, sebagai mana  dijelaskan dalam dokumen koleksi Belanda “ Adapun tatkala Murhum menjadi raja di Negeri Buton ini, tatkala dikaruniai Murhum, maka menjadilah  sekalian Negeri,  karena ia raja La Kilaponto membawahi negeri yang besar yaitu Buton dan Wuna, jadi ikut sekalian negeri seperti kaledupa dialihkan, Mekonggo dialihkan, dan kabaena di Alihkan. Maka sekalian negeri pun dialihkan oleh Murhum” ( Koleksi Belanda, hal 1 ). Karena itulah LA KILAPONTO dikalangan masyarakat muna di beri gelar ‘ mepokonduaghono Ghoera’  artinya orang yang menggabungkan Negeri/Kampung
LA KILAPONTO menjadi Raja pada kerajaan – kerajaan  itu bukan karena invasi, tetapi karena kharisma  beliau atau penghargaan karena berhasil melakukan sesuatu yang besar dinegeri tersebut. Hal ini  dapat dilihat setelah  beliau  menjadi Penguasa di negeri itu  dia tidak berusaha untuk menjadikan negeri itu sebagai koloni atau bagian  dari Kerajaan Muna, tetapi membiarkan tetap  merdeka dan Berdaulat. Padahal bila mau LA KILAPONTO dapat saja menggabung kerajaan-kerajaan tersebut dibawah kerajaan Muna karena sebagai raja dia punya kekuasaan yang besar sehingga dapat saja melakukan hal itu.
Dari semua kerajaan yang pernah dipimpinnya, hanyalah  di kerjaan Buton LA KILAPONTO memerintah cukup lama yaitu 46 tahun ( 1538 – 1584 M ). Di kerajaan Muna LA KILAPONTO menjadi raja kurang lebih 3 tahun ( 1538 – 1541 M ), setelah itu dilanjutkan oleh adiknya LA POSASU sebagai Raja Muna VIII.  Sedangkan di kerajaan-kerajaan lainnya tidak ada catatan sejarah yang mengungkapkan berapa lama LA KILAPONTO  menjadi Raja di kerajaan tersebut serta bagaiman proses penyerahan kekuasaan pasca LA KILAPONTO.
B.     Pakar Tata Negara
Sejak Kecil Raja Sugi Manuru telah melihat potensi yang dimiliki oleh  LA KILAPONTO. Olehnya  dia diberi pendidikan khusus termasuk mempelajari islam yang dibawah  oleh Syek Abdul Wahid pada awal pemerintahan Sugi Manuru (1527). Namun menurut J. Courveur La Kolaponto telah menerima islam sejak tahun 1519 M atau 940 H…
Kepakaran di bidang ketatanegaraan. Hal ini dapat dilihat ketika menjadi Raja/Sultan Buton, La Kilaponto meletakan sendi-sendi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara di kerajaan/kesultanan tersebut. Sendi-sendi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang ditanamkan La Kilaponto di Kerajaan/Kesultanan Buton merupakan nilai-nilai dasar yang diajarkan oleh ayahandanya Sugi manuru Raja Muna VI.. MANURU yaitu ;
·          Pobini-biniti kuli, ( saling tengang rasa )
·          Poangka-angka tau, ( Saling harga-menghargai )
·          Poma-masigho, ( Saling sayang- menyayangi )
·          Poadha-adhati. (Saling menghormati )

LA KILAPONTO juga menyebar luaskan konstitusi Negara kerajaan Muna pada kerjaan-kerajaan yang dipimpinnya Yaitu :
¨ Hansuru –hansuru  badha Sumano kono hansuru  liwu   ( Biarlah badan binasa asal Negara tetap berdiri ).
¨ Hansuru-hansuru Liwu Sumano kono hansuru Ahdati   ( kalaupun Negara harus bubar adat tetap harus dipertahankan ).
¨ Hansuru-hansuru Adhati sumano Tangka Agama ( Kalupun adat tidak bisa lagi dipertahankan, agama harus tetap ditegakkan ).
Falsafah dasar dan Konstitusi kerajaan Muna yang telah di ajarkan oleh Ayahandanya Raja Muna VI Sugi Manuru kemudian disebar luaskan  pada kerajaan-kerajaan yang pernah dipimpin oleh LA KILAPONTO. Tentu saja falsafa dasar dan konstitusi tersebut diadaptasi dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyrakat setempat dalam hal ini termasuk nilai-nilai Islam sebelum dijadikan sebagai Konstitusi Kerajaan.
 Sikap toleransi terhadap masuknya nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat local dan nilai- nilai agama yang positif  merupakan strategi untuk menghindari konflik dan penolakan masyarakat terhadap ajaran itu. Karena jasanya tersebut, La Kilaponto dianugrahi gelar Timba-timbanga oleh rakyat Buton
Konsitusi pada Kerajaan / kesultanan Buton yang ditanmkan oleh La Kilaponto  mulai ditulis pada masa Sultan Buton IV DAYANU IKSANUDDIN (1597- 1631 M). Sebagai penganut islam yang taat Dayanu Ikhsanuddin juga  memasukan nilai-nilai Islam dalam konstitusi tersebut. Konstitusi Kesultanan Buton yang ditulis oleh Dayanu Iksanuddin tersebut dikenal dengan Martabat Tujuh.
Karena Martabat Tujuh memuat tetntang tatan dasar kenegaraan Kesultanan Buton, oleh para pakar martabat tujuh kemudian menganggapnya sebagai Konstitusi Kesultanan Buton. Konstotusi yang bernama martabat tujuh tersebut diproklamirkan pada masa Kesultanan Buton masih di bawah pimpinan SULTAN DAYANU IKHSANUDDIN. DAYANU IKHSANUDDIN adalah  cucu  LA KILAPONTO dari putrinya PARAMASUNI  yang bersuamikan LA SIRIDATU  putera Raja Batauga. 
Menurut A.E. saidi  dalam makalahnya pada  Simposium Internasionel Pernaskahan Nusantara IX di  Baruga Keraton Buton 5 – 8 Agustus 2005,    Martabat Tujuh di proklamirkan  oleh Sapati LA SINGGA pada tahun 1610 M di depan Masjid Agung Keraton. Inti dari Konstitusi Martabat Tujuh  yaitu ; 1) Pomae-maeyaka; 2) Popiara-piara’ 3) Po maa-maasiaka. 4) Poangka-angkataka. Keempat nilai dasar dari Konstitusi martabat Tujuh memiliki makna yang sama dengan apa yang   diajarkan oleh Raja Muna VI SUGI MANURU  pada tahun 1438 M. Demikian pula tatanan pemerintahan yang dianut kesultanan Buton seperti yang termuat dalam Martabat Tujuh juga merupakan sisten dan tatanan pemerintahan yang diterapkan oleh Kerajaan Muna sejak jaman SUGI MANURU Raja Muna VI ( Baca; Sugi Manuru ) .
C.    Diplomat Ulung
Selain ahli di bidang Tata Negara, LAKILAPONTO juga piawai dalam bidang  diplomasi  . Kemampuan diplomasi  LA KILAPONTO dibuktikan dengan dapat mendamaikan konflik dua  kerajaan besar di jazirah Pulau Sulawesi bagian Tenggara yaitu  kerajaan Konawe dan Mekongga. Konflik kedua kerajaan tersebut telah berlangsung lama dan telah banyak menelan korban nyawa dan harta.
Oleh LA KILAPONTO konflik tersebut diselesaikan hanya dalam waktu delapan hari, sehingga di kedua kerajaan tersebut LA KILAPONTO di beri gelar “HALUOLEO”  yang artinya delapan hari. Karena sukses mendamaikan konflik tersebut, LA KILAPONTO dinikahkan dengan Putri Raja Konawe yang bernama ANAWAY  ANGGUHAIRAH serta dinobatkan menjadi Mokole Konawe.
Kemampuan diplomatik  LA KILAPONTO  juga ditunjukan saat ditugaskan oleh ayahandanya Raja Sugi Manuru untuk menjalin kerja sama dengan kerajaan-kerajaan tetangga seperti Todore, Ternate, Banggai dan Luwu. ( Lakimi; Sejarah Muna, Jaya Press Raha).
 Misi diplomatik yang dilakukan LA KILAPONTO itu sangat sukses, sebab beliau dapat meyakinkan kerajaan-kerajaan yang dikunjunginya untuk menjalin kerja sama dengan kerajaan Muna. Bahkan Kerajaan Ternate berhasi diyakinkan untuk bersekutu melawan pengaruh Kolonial Belanda. Bukti lain keberhasilan misi diplomatik La Kilaponto tersebut adalah sejak saat itu sudah tidak ada lagi gangguan keamanan dan kedaulatan Kerajaan Muna yang datang dari kerajaan-kerajaan tersebut.
Sebagai mana kerajaan-kerajaan kuno lainnya, LA KILAPONTO menjalankan strategi diplomasinya melalui perkawinan. Dalam beberapa sejarah ditulis selama hidupnya La Kilaponto melakukan perkawinan sebanyak 5 kali, berturut-turut putri yang dikawininya adalah :
1.      WA TAMOIDONGI ( Putri Raja Buton V  LA MULAE)
2.      WA ANAWAY  ANGGUHAIRAH ( Putri Mokole Konawe )
3.      Putri raja Jampea
4.      Putri Raja selayar OPU MANJAWARI
5.      WA SAMEKA ( Putri Sangia YI TETE )
Dari masing-masing perkawinannya tersebut, LA KILAPONTO/SULTAN KAIMUDDIN KHALIFATUL KHAMIS/SULTAN MURHUM memperoleh putra dan putri yaitu :
1.      Perkawinan dengan WA TAMPOIDONGI tidak memperoleh anak
2.      perkawinan dengan ANAWAI  ANGGUHAIRAH memperoleh 3 orang puteri yaitu WA ODE POASIA, WA ODE LEPO-LEPO dan WA ODE KONAWE.
3.      perkawinan dengan putri raja Jampae memperoleh 1 orang putera yang bernama LA TUMPAMASI (Sangia Boleko). La Tumparasi kemudin menjadi Sultan Buton II menggantikan ayahandanya dengan gelar Sultan Qaimuddin II.
4.      Perkawinan dengan putri raja Selayar memperoleh 1 orang putera yang bernama LA SANGAJI (Sangia Makengkuna). La Sagaji kemudian menjadi Sultan III mengantikan kakaknya lain ibu La Tumpamasi dengan gelar Sultan Qaimuddin III
5.      5.Perkawinannya dengan Wa Sameka memperoleh 4 orang puteri yaitu Paramasuni (istri LA SIRIDATU putra Raja Batauga), Wa sugirampu (istri LA GALUNGA cucu Raja Buton V La Mulae), WABUNGANILA (istri LA KABAURA putra raja Batauga) dan WABETA (istri LA SONGO raja Kambe-kambero). Sultan Buton IV Dayanu Iksanuddin adalah cucu La Kilaponto dari putrinya  Paramasuni buah  perkawinannya dengan La Siridatu Putra Raja Batauga.
D.     AHLI STRATEGI PERANG
Kemampuan dalam strategi perang La kilaponto  dibuktikan saat menumpas pemberontak LA BOLONTIO yang berasal dari Tobelo. LABOLONTIO yang terkenal sakti dan sangat kejam dalam melakukan aksinya sehingga  Kerajaan Buton tidak mampu lagi menghadapinya. Raja Buton saat itu LA MULAE dan segenap rakyatnya telah putus asa  sehingga memaksa dia membuat sayembara. Isi dari sayembara tersebut adalah “ barang siapa yang dapat menumpas pemberontakan Labolontio akan dikawinkan dengan salah satu putri Raja “  yang bernama WA TAMPOIDONGIWA TAMPOIDONGI terkenal sangat cantik dan menjadi rebutan petinggi-petinggi Kerajaan Buton dan kerajaan-kerajaan tetangga.
 Sayembara yang dibuat oleh Raja Buton LA MULAE tersebut  mengundang minat satria-satria  di kerajaan tetangga untuk ambil bagian. Mereka sangat tertarik untuk mempersunting putri Raja yang kecantikannya  sudah terkenal di mana-mana. Raja-raja pada kerajaan tetangga yang mengikuti sayembara tersebut adalah  Raja Selayar Ompu Manjawari dan Raja Jampea dan Raja Batauga La Maindo.
Sudah sekitar satu tahun sayembara dibuka, para peserta sayembara telah mengeluarkan segala kemampuannya,   namun tidak ada satupun dari satria-satria yang  ikut dalam kompetisi tersebut yang dapat menumpas Labolontio. Bahkan Labolontio dan pasukannya semakin merajalela dan telah menguasai beberapa wilayah Kerajaan Buton seperti Palabusa dan Barangka .
 Bukan saja itu bahkan Labolontio sudah mengancam kerajaan-kerajaan tetangga Buton  termasuk Kerajaan Muina. Terdengar kabar bahwa La Bolontio dalam waktu dekat akan menyerang mawasangka, salah satu wilayah yang dikenal dengaan ‘ Ponto ’ . ‘Ponto’ adalah wilayah  kekuasaan dan tanggung jawab La Kilaponto sebagai Raja Muda, sebelum menjadi Raja Muna.
Kabar semakin mengganasnya Labolontio dan pasukannya ikut meresahkan LA KILAPONTO yang baru saja dilantik menjadi Raja Muna VII. Olehnya itu LA KILAPONTO meminta saran dari Ayahandanya SUGI MANURU dalam menyikapi ancaman tersebut.
 Setelah mendengar masukan-masukan dari LA KILAPONTO dan beberapa petinggi kerajaan lainnya, SUGI MANURU Raja Muna VI yang juga ayaahannda dari LA KILAPONTO menyarankan pada   LA KILAPONTO untuk segera pergi ke Buton, menumpas LABOLONTIO sekaligus menyelamatkan Negeri Buton dari kehancuran. Jadi keikutsertaan LAKILAPONTO dalam menumpas LABOLONTIO bukan untuk mengikuti sayembara yang dibuka oleh Raja LA MULAE tetapi melakukan misi Kerajaan Muna untuk menyelamatkan Negeri Muna dari ancaman LABOLONTIO sekaligus menyelamatkan Negeri Buton.
Sesampainya di Buton dengan tanpa terlebih dahulu menghadap pada Raja  LA MULAE, LA KILAPONTO  langsung menyusuri pantai, mencari LABOLONTIO,   orang yang telah membuat Raja Buton dan segenap rakyatnya kalang kabut dan tidak berdaya.
Dalam pertarungan  di pasisir  Kerajaan Buton,  LABOLONTIO di buat  bertekuk lutut bahkan mati ditangan LA KILAPONTO.
Sebagai bukti telah membunuh LABOLONTIO, LA KILAPONTO membawa kepala LA BOLONTIO di hadapan Raja Buton  LAMULAE.  Maksud LAKILAPONTO menghadap Raja LA MULAE adalah untuk menyampaikan  bahwa Kerajaan Buton saat ini telah aman sebab pengacau keamanan telah berhasil di bunuhnya sekaligus  berpamitan untuk pulang ke Muna meneruskan tugasnya sebagai Raja Muna.  LA KILAPONTO tidak menuntut apapun dengan apa yang telah di lakukannya. LA KILAPONTO berpikir misinya menumpas LABOLONTIO selain membantu kerajaan Buton yang berada dalam ambang kehancuran, juga menjaga keamanan dan kedaulatan Kerajaan Muna dari gangguan pihak luar.
Lain dengan  Raja Buton LA MULAE dan segenap rakyatnya,  LA KILAPONTO  oleh mereka dianggap telah berjasa menyelamatkan Kerajaan Buton dari gangguan keamanan. Untuk itu  LABOLONTIO  berhak mendapatkan hadia seperti  isi dari sayembara  yang telah dibuat Raja LA MULAE. Sebagai Raja, LAMULAE  harus tetap konsisten menjalankan  apa yang telah diucapkan.  Untuk itu pernikahan antara LA KILAPONTO dan Putri Raja WA TAMPOIDONGI tetap harus dilaksanakan.
 Dengan rasa berat dan penghargaan terhadap Raja Buton LAMULAE, akhirnya LAKILAPONTO menerimah untuk dinikahkan dengan putri raja seperti isi sayembara yang di buat Raja LAMULAE. Namun demikian LA KILAPONTO tetap mengajukan syaraat bahwa setelah pernikahan dilaksanakan dia tetap kembali ke Kerajaan Muna untuk menjalankan tugasnya sebagai Raja Muna. Persyaratan itu diterimah dan pernikahan keduanya pun dilaksanakan. Setelah prosesi pernikahan dilaksanakan LA KILAPONTO langsung berpamitan untuk Kembali Ke Kerajaan Muna sedangkan isrinya tetap tinggal di Kerajaan Buton bersama kedua orang tuanya.
Belum cukup satu tahun menjalankan pemerintahanya sebagai Raja Muna setelah menumpas LABOLONTIO, Raja Buton V LA MULAE meninggal dunia. Karena raja LA MULAE tidak memiliki anak Laki-laki, maka petinggi-petinggi Kerajaan Buton bersepakat untuk mengangkat LA KILAPONTO sebagai Raja Buton VI menggantikan LA MULAE.
 Kesepakatan para petinggi Kerajaan Buton tersebut kemudian  di  sampaikan pada LA KILAPONTO dengan cara mengutus beberapa utusan untuk datang ke kerajaan Muna. Awalnya LA KILAPONTO merasa sangat berat  menerima kesepakatan yang telah dibuat oleh para petinggi Kerajaan Buton untuk menjadi Raja di kerajaan Buton, karena saat itu LA KILAPONTO sedang menjadi raja di kerajaan Muna dan Kerajaan Konawe serta baru saja memulai melakukan penataan system pemerintahan di kedua Kerajaan tersebut .
Namun atas saran Ayahandanya dan melalui pertimbangan yang matang, akhinya LA KILAPONTO mau menerima untuk menjadi Raja di Kerajaan Buton. Dengan diterimahnya menjadi Raja Buton,  maka secara otomatis pada saat itu LA KILAPONTO menjadi Raja di tiga kerajaan besar di Sulawesi Tenggara yaitu Kerajaan Buton, Kerajaan Muna dan Kerajaan Konawe, karena itulah oleh masyarakat Muna LA KILAPONTO mendapat gelar Omputo Mepokonduaghoono Ghoera ’ artinya orang yang  mengawinkan/menggabungkan Negeri/Kampung. 
Pada sebuah hikayat disebutkan, saat   LA KILAPONTO menjadi Raja di Kerajaan Muna, Buton dan Konawe,  kerajaan-kerajaan lainya  yaitu   Kerajaan kaledupa, Kerajaan Kabaena dan Mekongga ikut menggabungkan diri dibawa kekuasaan LA KOLAPONTO, sebagai mana kutipan  berikut ‘Adapun tatkala Murhum menjadi raja di Negeri Buton ini, tatkala dikaruniai Murhum, maka menjadilah  sekalian Negeri,  karena ia raja La Kilaponto membawahi negeri yang besar yaitu Buton dan Wuna, jadi ikut sekalian negeri seperti kaledupa dialihkan, Mekongga  dialihkan, dan kabaena di Alihkan. Maka sekalian negeri pun dialihkan oleh Murhum” ( Koleksi Belanda, hal 1 ).
Tiga Tahun LAKILAPOTO menjadi raja Buton dan empat  kerajaan lainya di Sulawesi Tenggara, ajaran islam berkembang pesat di Kerajaan Buton. Pesatnya perkembangan agama islam  di kerajaan tersebut karena pada saat dilantik menjadi raja Buton, guru agama beliau seorang   Ulama dari Arab yang bernama SYEKH ABDUL WAHID turut di boyong ke Kerajaan Buton untuk menyebarkan agama islam di sana.

Setelah nilai-nilai islam telah tertanam dalam perilaku masyarakat botun,  maka pada tahun 1541 La Kilaponto memproklamirkan Kerajaan menjadi Kesultanan dan mengangkat dirinya sebagai Sultan I dengan gelar Sultan Qaimuddin Khalifatul Khamis.

Menyusul berubahnya Buton menjadi Kesultanan  (948 H/ 1541 M ), LAKILAPONTO kemudian menyerahkan jabatannya  pada kerajaan-kerajaan lainnya. Misalnya di Kerajaan Muna. Pada  Kerajaan Muna, LAKILAAPONTO menyerahkan jabatannya  kepada adiknya LA POSASU untuk menjadi Raja Muna VIII. sedangkan dikerajaan-kerajaan lainnya tidak ada data yang pasti bagai mana proses penyerahannya.
Namun  yang pasti  pada saat itu  juga Kerajaan Konawe dan kerajaan-kerajaan lainya  yang pernah di pimpin LAKILAPONTO telah memiliki raja sendiri-sendiri. Walaupun LAKILAPONTO pernah memimpin kerajaan-kerajaan tersebut, namun setelah  dia melepaskan jabatannya, LAKILAPONTO tetap mengakui kerajaan-kerajaan tersebut  sebagai Negara merdeka dan berdaulat.
Setelah LAKILAPONTO Menjadi SULTAN di Kesultanan Buton dan adiknya LA POSASU menjadi Raja Muna VIII,  kedua bela pihak mengadakan perjanjian. Isi dari perjanjian tersebut adalah wilayah kerajaan Muna bagian Selatan yang terdiri dari  Mawasangka dan GU diserahkan ke Buton. Sebagai gantinya, Wialayah pesisir  Barat Buton bagian Utara  yaitu Wakorumba dan Kulisusu diserahkan pada Muna. Termasuk dalam perjanjian itu  kesepakatan untuk saling membantu dan bekerja sama bila kedua kerajaan menghadapi situasi pelik, termasuk ancaman dan intervensi dari luar ( La kimi- Sejarah Muna, Jaya pres Raha).
Hubungan persaudaraan di antara kerajaan- kerjajaan yang pernah dipimpin oleh LA KILAPONTO khususnya Kerajaan Muna dan Kerajaan Buton terjalin hangat selama kurang lebih 3,5 abad. Namun Setelah Kesultanan Buton mulai bekerja sama  dengan Kolonial Belanda pada akhir masa pemerintahan Sultan Buton Dayanu Ikhsanuddin dan dalam kerangka politik pecah belah,  pemerintah kolonial Belanda,
Perseteruan antara maka hubungan antara Kerajaan Muna dan Buton mengalami keratakan. bersama Sultan Buton LAODE MUH. ASIKIN, secara sepihak membuat perjanjian yang disebut Korte Verklaring pada 2 Agustus 1918  (Jules Couvreur , Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna- Artha Wacana Press, Kupang, Nusa Tenggara Timur, 2001).
 Perjanjian sepihak tersebut tidak pernah diakui oleh Raja Muna. perlawanan terhadap perjanjian Korte Verklaring  ditunjukan oleh raja Muna  LA ODE DIKA gelar OMPUTO KOMASIGINO yang tidak mematuhi perjanjian tersebut termasuk  membayar pajak kepada Sultan Buton seperti yang diatur dalam perjanjian Korte Verklaring  . Raja Muna LA ODE DIKA juga tidak mau tunduk saat bertemu dengan Sultan Buton. Bahkan LA ODE DIKA mengangkat telunjuknya seakan mengancam saat bertemu dengan Sultan Buton di  Istana Sultan Buton. Sikap Raja LA ODE DIKA tersebut oleh Sultan Buton di adukan kepada penguasa colonial Belanda di Makassar. Akibatnya LA ODE DIKA di pecat kemudian penguasa colonial Belanda di makkasar menyatakan kerajaan Muna sepenuhhya dalam penawasan Belanda sampai pemerintah Kolonial Belanda menunjuk LA ODE PANDU sebagai Raja Muna pada tahun 1947.
LA KILAPONTO / SULTAN MURHUM / SULTAN KAIMUDDIN KHALIFATUL KHAMIS Putra Raja Muna SUGIMANURU Yang Agung mengakhiri masa pemerintahannya di  Kesultanan Buton karena wafat tahun 1584 setelah memerintah lebih kurang 46 tahun ( sebagai raja Buton VI selama 3 tahun dan sebagai Sultan I selama 43 tahun ),  dan menjadi Raja Muna selama tiga tahun ( (1538- 1541 M ),. Setelah LA KILAPONTO / SULTAN MURHUMIN / SULTAN KAIMUDDIN KHALIFATUL KHAMIS meninggal dunia, Sara Kesultanan Buton memilih LA TUMPAMASI (Sangi Boleka) Putra La Kilaponto dari perkawinannya dengan Putri Raja JAMPEA ( Suku Bajo ? ) sebagai sultan Buton II dan dilantik pada tahun itu juga.
4.   Raja Muna X -  Titakono ( 1600- 1625 )
La Titakono adalah Raja Muna X sekaligus sebagai raja terakhir yang belum memeluk agama islam. Kendati demikian pada masa pemerintahan La Titakono penyebar Islam kedua yakni Firus Muammad masuk dimuna. Pada fase kedua masuknya penyebar agama islam di muna juga belum berjalan secara efisien. Agama islam pada masa itu berkembang sangat lamban. Hal ini berkaitan dengan Raja Muna belum memeluk agama islam. Sebagai seorang pemimpin yang menjadi panutan seluruh warga,  maka masuknya seorang raja pada suatu aliran atau agama tertentu sangat berperan terhadap penyebarluasan kepercarayaan atau agama tersebut.Hal ini juga terjadi di Kerajaan Muna.
Walaupun Raja Muna La Titakono belum memeluk islam. namun beliau sangaat toleran terhadap pemeluk islam yang saat itu masih sangat minoritas serta menghargai nilai-nilai islam.
Sebagai bukti penghormatan beliau pada islams yaitu pada  masa pemerintahannya masjid pertama dibangun di Muna ( 1614 ). Pembangunan masjid itu diikuti oleh pembagunan pusat pendidikan islam. Seiring dengan  itu ajaran islam sedikit demi sedikit mulai dipelajari masyarakat Muna. Seluruh proses pembangunan masjid dan islamic center tersebut difasilitasi oleh Raja La Titakono.
Bukti lain sikap toleransi raja La Titakono terhadap islam adalahdiberikan kebebasan pada  salah seorang putranya yaitu La Ode Sa’aduddin menjadi murid Firus Muhammad Penyebar islam kedua di Muna. Bahkan La Ode Sa’aduddin menjadi Raja Mua  pertama yang memeluk agama Islam.
Agama Islam mengalami kemajuan yang sangat pesat setelah Putra La Titakono yakni La Ode Sa’aduddin di nobatkan menjadi Raja Muna XI setelah La Titakono Mangkat.
Selain membangun masjid, Raja Titakono membentuk lembaga baru dalam sturktur pemerintahan kerajaan muna yaitu Bonto Bhalano.
Bonto Bhalano adalah sebuah lembaga sejenis Majelis Permusyawaratan Rakyat yang bertugas memilih dan mengangkat Raja Muna Pada masa Pemerintahan Raja Muna IX TITAKONO struktur golongan masyarakat Muna juga ditambah dengan golongan wesimbali.
Golongan Wesimbali adalah goloangan yang  timbul karena perkawinan antara dua golongan yang sebenar nya dilarang dalam hukum adat.
Pada zaman dahulu wanita Kaomu dan Walaka pantang menikah dengan goloangan Lakono sau poino kontu. Golongan Wesimbali ini  terbagi lagi menjadi dua yaitu ;
·         Golongan Kaomu Wesimbali, yaitu turunan dari wanita kaumu dengan laki-laki wawono liwu. Derajat dari Kaomu Wasembali dijadikan setara dengan Golongan Walaka, tetapi tidak boleh menduduki jabatan seperti golongan Walaka.
·         Golongan Walaka Wesimbali, yaitu keturunan dari wanita golongan walaka dengan laki-laki dari golongan Wawono Liwu. Walaka Wasembali di sejajarkan dengan derajatnya Anangkolaki (fitu bengkauno) tetapi jug tidak dapat mendudukuki jabatan seperi golongan Angkolaki.
Raja Muna Titakono juga mengadakan  perubahan pada  struktur pemerintahan. Dalam Rapat Agung Kerajaan di hadiri oleh Raja, 4 Mino, 4 kamokula diangkat Pejabat Bantobalono. Banto Balano yang pertama adalah La Marati, anak dari Wa Ode Pogo hasil perkawinanya dengan La Pokainse. Sebgai Bonto Balano.

5.      Raja  La Ode Sa’adudin ( 1625-1626 )
La Ode Sa’aduddin  adalah Raja Muna XI dan merupakan pertama yang memeluk islam sekaligus raja Muna pertama yang memakai penambahan La Ode pada awal namannya.
Penambahan La Ode ( bagi laki-laki ) dan Wa ode ( bagi perempuan)  pada awal nama seorang yang berdarah Kaomu (strata  sosial yang berhak menduduki jabatan Raja ) ditetapkan oleh La Titakono  Raja Muna X bersama La Marati ( cucu Sugi Manuru dari anaknya Wa Ode Pogo  buah pernikahannya dengan La Pokainse}.
Pemerintahan La Ode Saa’diddin sangat singkat yaitu hanya satu tahun. Walaupun demikian selama satu tahun masa pemerintahan, La Ode Saa’duddin berhasil melakukan hal besar taitu melakukan penataan dalam strktur pemerintahan dan menyebarluaskan ajaran islam dalam kalangan masyarakat Kerajaan Muna.
Setelah La Ode SaaduSddin naik tahta dia melakukan reformasi pemerintahan di kerajaan muna.  untuk mendukung pmerintahannya la Ode Sa’aaduddin membentuk dua jabatan baru dalam sistem pemerintahan Kerajaan Muna yaitu kapitalao dan Kapita. Kapitalao diberi tugas menjaga keamanan pantai Kerajaan muna dari serangan musuh termasuk bajak laut yang kembali marak disekitar perairan kerajaan muna. Karena Kerajaan muna dikeliligi oleh lautan dengan wilayah yang begitu luas maka diangkat dua orang Kapita Lao yaitu Kapitalao Matagholeo Timur )  dan Kapita Lao Kansoopa ( Barat ).
Untuk mengisi jabatan kapatalao dipilih dari kino. Namun demikian tidak semua Kino berhak untuk menjadi Kapitalao dan Kapita. Diantara 26 kino yang ada di kerajaan Muna hanya Kino Babato yang dapat menjadi Kapita atau Kapitalao, mereka itu adalah :
A.    Babato Aluno yaitu :
·         Kino Tobea
·         Kino Labora
·         Kino Lakologau
·         Kino Mantobua
·         Kino Lagadi
·         Kino Watumela
·         Kino Lasehao
·         Kino Kasaka.
B.     Kino Barata yaitu Kino-Kino yang bertugas menajaga pantai kerajaan, yang   terdiri dari;
ü  Kino Wasolangka Þ
ü  Kino Lohia Þ
ü  Kino Lahontohe Þ
ü  Kino  Marobea.Þ
Dengan demikian maka Dewan Kerajaan terdiri dari;
1.      Raja                                              7. Fatolindono 4 orang
2.      Bonto Balano
3.      Mintarano Bhitara
4.      Kapita Lau 2 orang
5.      Kapita 1 orang
6.      Koghoerano 4 orang
Walaupun Muna bukanlah kerajaan Islam, namun sejak masa pemerintahan La Ode Saadudin hukum islam berlaku dikerajaan Muna misalnya hukuman gantung bagi yang melanggar  norma adat dan hukuman cambuk bagi yang melanggar  norma susilah. Pelaksanaan hukuman islam terebut berlaku pada seluruh warga kerajaan dalam hal ini termasuk Raja. Sebagai bukti penerapan hukum islam tersebut dapat dilihat ketika mitarano bhitara ( kuasa yudikatif menjatuhkan hukuman gantung pada La Ode Umara Raja Muna Ke 20 karena dianggap telah melakukan pelanggaran terhadap norma adat.
Hukuman cambuk sampai mati seperti yang diajarkan dalam hukum Islam juga pernah dijatuhkan pada La Ode Sumaili Raja Muna ke 23 Yang dianggap telah melakukan pelanggaran norma susilah ketika menentang perkawinan Wa Ode Kadingke Dengan seorang saudagar dari bugis yang bernama Daeng Marewa. Penentangan terhadap perkawinan tersebut mendapat perlawanan dari    Wa Ode Kadingke sehingga terjadi perang saudara.
Setelah Wa Ode Kadingke memenangkan pertempuran kemudian mengangkat Puteranya La Ode Saete menjadi Raja. Sedangkan La Ode Sumaili dijatuhi hukuman ambuk Sampai mati.
Pada masa pemerintahanLa Ode Saa’duddin pula Belanda mulai mencoba menacapkan kekuasaan di Kerajaan Muna. Gelagat tidak baik belanda tersebut telah dibaca oleh Raja La Ode Saa’duddin, sehingga begitu Belanda mencoba menginervesi pemerintahaan, Raja La Ode Saa’duddin tidak menerimanya dan menyatakan perang terhadap Pemerintah Kolonial Belanda yang telah lama menjalin kerja sama dengan Kesultanan Buton.
6.   Raja  La Ode Ngkadiri gelar Sangia Kaindea ( 1626-1667)
Raja Muna XII adalah La Ode Ngkadiri. Beliau adalah anak dari La Ode Saa’duddin raja Muna XI. La Ode Ngkadiri memeritah dikerajan  selama 21 tahun, dibagi dalam dua periode dan disela dengan pemerintaha permaisurinya Wa Ode Wakelu selama tiga tahun.
Periode pemerintahan La Ode Ngkadiri ditandai dengan inseden penangkapan dirinya oleh Kolonial Belanda  dalam sebuah buah kapal yang bernama MV. De flamig pada tahun 1652 dan diasinkan keternate selama tiga tahun. Kapal itu cukup mega sebab diatasnya dilengapi dengan taman yang cukup luas. Karena penngkapan diatas kapal tersebut sehingga setelah beliau mangkat sarano wuna menganugrahkan  gelar Sangia Kaindea pada beliau.
Peristiwa penangkapan diatas kapal MV. De Flaming tersebut terjadi karena Pemeritah Imperialis Belanda telah kewalahan mengahadapi Raja La de Ngkadiri dan pasukan yang terus mengobarkan semangat perang terhadap Belanda. Beberapa kali Belanda mengirimkan ekspedisi militer ke Kerajaan Muna namun selalu mengalami Kegagalan padahal dalam ekspedisi itu pasukan Belanda di bantu oleh Tentara Kesultaan Buton yang menjadi sekutu abadinya.
Sikap perlawanan Raja La Ode Ngkjadiri terhadap Kolonial Belanda ditunjukan sejak awal kedatangan Belanda pertama kali yang dipimpin oleh Piether Both di Kesultanan Buton pada tahun 1631. Ketika Rombongan Pieter Both tersebut akan masuk ke Kerajaan Muna mereka mendapat penolakan dari Raja La Ode Ngkadiri.
Penolakan Raja La Ode Ngkadiri terhadap Piether Both tersebut membuat pemerintah Kolonial Belanda berang, namun untuk  melawan sendiri pasukan Kerajaan Muna, Belanda mengalami kesulitan. Olehnya itu dijalankanlah Politik kotor Belanda untuk memecah bela antara dua kerajaan ( Kerajaan Muna dan Buton ) yang telah lama menjalin hunbungan yang sangat erat yang dikenal dengan politik Devide Et Impera.
Maka dicari-carilah benih-benih perpecahan antara dua kerajaan bersaudara tersebut. Kebetulan sebelum menjadi Raja Muna La Ode Ngkadiri pernah    gagal menikahi Wa Ode Sopo Puteri Sapati Baaluwu yang dipelihara oleh Spelma, padahal keduanya telah dijodohkan. La Ode Ngkadiri lebih memilih Wa Ode Wakelu puteri Sapati Kapolangku   untuk dijadikan  isteri   ( Drs. La Oba, 2005;43 ).
Kegagalan pernikahan antara Raja La Ode Ngkadiri dengan Wa Ode Sopo anak angkat Spelman dijadika alasan bagi Belanda untuk mengadu domba Kesultanan Buton agar mau memerangi Keraajaan Muna yang telah menjalin persaudaraan sejak ribuan tahun yang lalu.
Upaya adu domba Belanda tersebut berhasil, sebab Buton mau bersekutu dengan Belanda untuk menyerang Kerajaan Muna. sehingga terjadi perang yang cukup lama ( 1631 – 1652 ) antara Kerajaan Muna dengan Belanda yang dibantu oleh Kesultanan Buton.
Kendatipun Pasukan Belanda telah dibantu oleh Pasukan Kesultanan Buton namun mereka belum juga mampu mengalahkan Pasukan Kerajaan Muna yang dipimpin oleh Raja La Ode Ngkadiri. Olehnya itu Belanda menggunakan strategi lain yaitu dengan mengajak untuk melakukan perundingan. Padahal maksud dari perundingan tersebut adalah guna menangkap Raja La Ode Ngkadiri
Untuk memuluskan rencananya itu Belanda mengajak Sultan Ternate ( Sultan Mandayasa )  kerabat dekat lainnya Kerajaan Muna ikut dalam perundingan tersebut. Setelah semuanya telah diatur dengan rapi, maka disepakati tempat perundingan diatas sebuah kapal MV. De Flaming dan lokasi yang dipilih adalah ditengah lautan di selat Buton tepatnya di depan Lohia. 
 Pada saat perundingan tersebutlah kemudian La Ode Ngkadiri dinyatakan ditangkap Oleh Belanda dan diasingka ke Ternate selama tiga tahun. Bersamaan dengan penangkapan itu Belanda kemudian mengangkat La Ode Muh. Idrus sebagai Wali Raja di Kerajaan Muna dan dilantik diatas kapal itu juga.
Selain terjadi pergolakan   melwan Kolonial Belanda, pada masa pemerintahan La Ode Ngkadiri juga masuk misionaris Islam gelombang Ketiga yaitu Syarif Muhammad ( 1643 ). Syarif Muhammad melanjutkan misi penyebar islam terdahulu yaitu mengajarkan ajaran islam pada masyarakat Muna.
7.      Raja Muna XIV La Ode Muh. Idris Gelar Sorano Kaindea. (1668-1671).
La Ode Muh. Idris adalah raja yang dikirim oleh Belanda dari Kesultanan Buton setelah berhasil menjatuhkan La Ode Ngkadiri Raja Muna  XIV. La Ode Muh. Idrus dilantik menjadi raja Muna oleh Pemerintah Kolonial Belanda diatas kapal yang sama dimana Raja Muna XIII La Ode Ngkadiri di gulingkan. Olehnya itu oleh masyarakat Muna dia digelar dengan Sorano kaindea yang kira-kira diartikan sebagai orang yang berkoalisi dengan Kolonial.
Walaupun La Ode Muh. Idris telah dilantik oleh Pemerintah Kolonial Belanda sebagai Raja Muna, namun masyarakat Muna dan Sarano Wuna tidak mengakuinnya. Olehnya itu,Wa Ode Wakelu memproklamirkan dirinya sebagai raja Muna menggantikan Suaminya la Ode Ngkadiri. Sikap Wa Ode Wakelu dalam mengambil alih kekuasaan tersebut mendapat dukungan dari Sarano Wuna dan segenap Masyarakat Muna.
Kuatnya dukungan terhadap Wa Ode Wakelu tersebut membuat Pemerintah Konolonil Belanda dan Kesultanaan Buton tidak dapat membendungnnya sehingga selama tiga tahun masa pemerintahan La Ode Muh. Idris di Kerajaan Muna terjadi dualisme kepemimpinan yaitu La Ode Muh. Idris sebagai Utusan kolonial belanda dan Kesultanan Buton SERTA  Wa Ode Wakelu yang mendapat legitimasi dari Sarano Wuna dan Rakyat Muna. Bahkan pada tahun 1671 Sarano Wuna berhasil mengembalikan La Ode Ngkadiri sebagai raja Muna.
8.      Raja Wa Ode Wakelu ( Permaisuri raja -La Ode Ngkadiri  ( 1667-1668).
Wa Ode Wakelu adalah permaisuri Raja muna XII La Ode Ngkadiri. Wa Ode Wakelu dilantik menjadi Raja Muna oleh Sarano Wuna karena terjadi kekosongan kekuasaan sebagai akibat dari diasingkannya suaminya yang saat itu sedang menjadi raja Muna La Ode Ngkadiri. Pelantikan Wa Ode Wa Kelu sebagai raja Muna selain mengisi kekosongan kekuasaan juga sebagai wujud perlawanan terhadap penguasa kolonial belanda karena bersamaan dengan di gulingkannya La Ode Ngkadiri diatas sebuah kapal, turut dilantik pula La Ode Muhammad Idris sebagai Raja Muna menggantikan La Ode Ngkadiri. yang telah dengan sewenang-wenang menjatuhkan Raja Muna yang sedang berkuasa. 
Perjuangan Wa Ode Wakelu yang didukung oleh sarano wuna dan segenap masyarakat Kerajaan Muna berhasil mengembalikan tahta Kerajaan muna pada yang berhak.hal  itu terjadi setelah tiga tahun menjadi raja Muna. Pemerintah kolonial Belanda yang didukung oleh Kesultanan Buton tidak mampu melawan gelombang perlawanan semesta rakyat muna dibawah kepemimpinan Wa Ode Wa Kelu, sehingga mereka menerima keputusan Sarano wuna untuk melantik kembali La ode Ngkadiri Sebagai raja muna.
Penerimaan Tokoh dan masyarakat Muna terhadap kepemimpinan Wa Ode Wakelu sebagai raja Muna selain telah berhasil menunjukan sikap perlawanan terhadap penjajaahan belanda, juga merupakan wujud implementasi kesetaraan gender dalam sistem pemerintahan tradisional kerajaan Muna.
9.      Raja Muna XVI  – La Ode Husaini  gelar Omputo Sangia ( 1716-1767 )
Pada  masa Pemerintahan Raja La Ode Huseni ( omputo sangia ) terjadi reformasi pada struktur pemerintahan dan struktur masyarakat. Reformasi yang dilakukan oleh La ode husaini tersebut bertuajuannya agar setiap golongan mempunyai andil dan fungsi dalam roda pemerinttahan. Selain itu dimaksudkan agar  roda pemerintahan dapat berjalan secara efektif. 
Perangkat Pejabat Kerajan Muna pada masa Raja La Ode Husaini adalah :
Dari golongan Kaomu berjumlah 20 orang yaitu;
Raja Muna ( Kepla negera )Þ
Dua orang kapita lau ( Panglima Angkatan Laut )Þ
Bobata 8 orang (Þ
Barata 4 orang ( Kepala Daerah Otonom )Þ
Kino Agama 1 orang ( Kepala Urusan Agama/ menteri   Agama )Þ
Imamu 1 orang ( Imam )Þ
Hatibi 2 orang. ( Khatib )\Þ
Sedangkan Pejabat Kerajaan dari golongan Walaka berjumlah 10 orang yaitu;
Banto balano 1 orang ( Perdana Menteri )Þ
Mintarano bhitara 1 orang ( Mahkama Agung )Þ
Koghoerano 4 orang ( Kepala Pemerintahan Wilayah setingkat kecamatan )Þ
Mowano Lindo empat Orang ( Kepala Pemerintahan Kampung )Þ

Perangkat Pejabat dalam Kerajaan khusunya golongan Lindo dan Fitu Bangkauno  berjumlah 7 orang.  Perangkat kerja Raja Muna khususnya Wawono Liwu berjumlah 3 orang.  Mitra kerja raja muna yang mengatur dan di atur disebut manusia awal.
Di masa pemerintahan Raja Muna La ode Huseni, dalam tatanan adat istiadat masyarakat Muna yang menyangkut soal akad nikah di tetapkan mahar menurut golongan masing-masing sebagai berikut;
Þ Untuk maharnya goloangan Kaomu 20 boka.
Þ Mahar golongan Walaka 10 boka 10 suku.
Þ Maharnya Lindo dan Fitu Bengkauno 7 boka 2 suku;
Þ Maharnya Wawono Liwu 3 boka 2 suku
Inilah hubungan antara golongan yang sukar dipisakan dan dihilangkan karena mempunyai hikmah yang mengadung makna menjurus pada poadha-adhati, poangka-angkatao, popia-piara dan pomoolo-moologho, yang menjadi landasan idiologi SOWITE.
Karena jasanya dalam menyempurnakan struktur Kerajaan, masyarakat dan adat tersebut, dikalangan masyarakat Muna La Ode Husaini di kenal sebagai “ Nembali  Kolakino Wuna Nofotoka Bhesarano. Poentauno Alamu Popano, Malaikati Popano,Bhe Badhano Manusia, Bhewite”. Yang artinya kira-kita La Ode Huseni dinobatkan menjadi Raja Muna lengkap dengan skturtur pemerintahan serta perangkat-perangkat jabatan yang semua bernuansa religius atau ke agamaan. Yakni agama Islam.
Pada tahun 1910 pemerintah Kolonial Belanda berhasil menguasai Kerajaan Muna. Akibatnya tatanan kehidupan social ekonomi kemasyarakatan Muna mengalami kesenjangan.  Namun demikian Semangat  “ Koemo Bhada Sumamo Liwu, Koemo Liwu Sumamo Sara, Koemo Sara Semanumo Adhati, Koemo Adhati Sumanomo Agama” terus berkobar dalam jiwa setiap  masyarakat Muna.  Hal ini dapat dilihat dari terus dikobarkannya semangat perlawanan   oleh seluruh masyarakat sampai Indonesia merdeka.
Bukti lain dari  besarnya api semangat yang dimiliki masyarakat Muna adalah dimana hingga saat ini tatanan adat istiadat menurut golongan masing-masing masih tetap terpelihara di Masyarakat Muna walaupun sebahagian masyarakatnya tergolong modern dan berpendidikan tinggi. Bahkan walaupun mereka menjadi pejabat tinggi di pemerintahan tetapi semangat memelihara tatanan adat istiadat dalam jiwa mereka tidak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan.

10.  Raja Muna XX – La Ode Umara I gelar Omputo ne Gege ( 1767 – 1780 )

La Ode Umara I , Raja Muna XX adalah raja yang dihukum gantung oleh sarano Wuna karena telah melakukan sebuah kesalahan yang besar. Keputusan untuk menjatuhkan hukuman gantung tersebut merupakan vonis  peradilan yang dinamakan mintarano bhitara ( yang memangku kekuasaan peradilan- MA? ).
Tidak diceritakan apa yang menjadi kesalahan Raja sehingga mendapatkan vonis tersebut. Hal ini berkaitan dengan adab masyarakat Muna yang tabuh untuk menceritakan aib saudaranya apa lagi itu seorang raja. Sidang majelis yang menyidangkan Raja La Ode Umara berlangsung tertutup dan semua orang yang terlibat dalam persidangan tersebut disumpah untuk tidak menyebarkan apa yang dilihat dan didengar dalam persidangan. Diperkirakan kesalahan yang dilakukan raja La Ode Umara yang menyebabkan dia mendapat hukuman gantung tersebut adalah menyangkut kesusilaan.  
11.  Raja Muna XXIII -  La Ode Sumaili Gelar Omputo ne Sombo ( 1800 – 1816 )
Pada masa pemerintahan La Ode Sumaili terjadi pemberotakan yang dilakukan oleh Wa Ode Kadingke Cucu dari Sangia La Tugho. Pemberotakan itu dipicu oleh perlawanan terhadap sistem adat dalam hal kawin-mawin.
Wa Ode Kadingke menolak denda adat yang begitu besar yang dibebankan pada suaminya Daeng Marewa dari Suku Bugis. Menurut adat saat itu, apabila ada perempuan keturunan yang berdara Kaomu ( Keturunan Raja ) akan menikah dengan orang yang bukan suku Wuna maka laki-laki tersebut akan dikenakan denda adat berupa membayar mahar sebesar 400 Boka.
Menurut pandangan Wa Ode Kadingke yang berkeyakinan keislamannya cukup tinggi denda tersebut bertentangan dengan hukum islam sebab menurut hukum islam mengenai besaran mahar itu ditentukan oleh wanita yang akan menikah dan tidak membebani pihak laki-laki.
Pemberontakan itu semakin meluas, karena Waode Kadingke sangat mahir dalam strategi perang.  La Ode Sumaili tidak mampu meredam pemberontakan tersebut,bahkan akibat  pemberontakan itu Wa Ode Kadingke bersama suaminya Daeng Marewa mendirikan  Kesultanan Tiworo  di bagian barat Pulau Muna.
 Ketidak mampuan La Ode  Sumaili menumpas pemberotakan tersebut oleh sarano wuna dianggap sebagai suatu kesalahan besar yang dilakukan oleh Raja La Ode Sumaili, olehnya itu La Ode Sumaili harus mendapat hukuman yang setimpal. Dalam sebuah Rapat dewan sara diputuskan La Ode Sumaili untuk dihukum rajam samapi mati. Itulah sebabnya La Ode Sumaili digelar Omputo nesombo artinya Raja yang dihukum gantung.
12.  Raja Muna XXIV -  LA Ode Saete gelar Sorano Masigi  ( 1816-1830 )
La Ode Saete adalah Putera dari  Wa Ode Kadingke dengan Daeng Marewa panglima perang yang memimpin pemberontakan pada masa pemerintahan La Ode Sumaili. Setelah Waode Kadingke berhasil mengalahkan La Ode Sumaili, maka Sarano Wuna mengangkat  La Ode Sumaili Puteranya sebagai Raja Muna XXIV menggantikan La Ode Sumaili yang telah dikalahkannya.
Pada waktu yang bersamaan, Kolonial belanda menunjuk la Ode Wita dari Kesultanan Buton Sebagai Raja Muna sehingga pada waktu itu terjadi dualisme kekuasaan di Muna. Alasan  Penunjukan La Ode Wita sebagai Raja Muna oleh Koalisi Buton – Belanda tersebut karena Wa Ode Kadingke dianggap telah melanggar kesepakatan yang telah dibuat antara  pihak Wa Ode Kadinge dengan Koalisi Buton – Belanda pada saat Wa Ode Kadingke meminta bantuan Belanda dan Buton   untuk melawan Raja La Ode Sumaili.
Namun  Sarano Wuna berpendapat lain, menurut Sarano Wuna kesepakatan yang telah dibuat oleh para pihak tersebut tidak dapat dikatakan sebagai kesepakatan antara Pemerintahan karena selain waktu itu Wa Ode Kadingke bukan seorang raja juga kesepakatan tersebut tidak mendapat persetujuan Sarano Wuna. Untuk itu Sarano Wuna berkesimpulan sendiri yaitu dapat saja mengesampingkan kesepakatan itu dan berhak mengangkat Raja berdaarkan hasil permusyawaratan Sarano Wuna.
Kendati Sarano Wuna tidak mengakui penunjukan La Ode Wita sebagai Raja Muna, Namun Kesultanan Buton tetap memaksakan keinginannya itu. Dibawah pengawalan tentara Kolonial Belanda dan Kesultanan Buton, La Ode Wita diantar ke Wuna untuk menjalankan kekuasaannya sebagai Wali Raja.
Intervensi. Kesultanan Buton tersebut tentu saja mendapat penolakan dari Rakyat Kerajaan Muna dan Sarano Wuna Akibatnya terjadi beberapa kali perang bersenjata antara kedua Kerajaan.Selama masa pemerintahan LA Ode Saete tercatat lebih dari lima kali terjadi perang terbuka antara Kerajaan Muna dengan Kolaisi Buton-Belanda.
Karenanya sejak awal pemerintahan La Ode Saete,  Belanda dan sekutunya Buton memerangi Kerajaan Muna sebagai akibat dari penolakan Sarano Wuna dan Rakyat Muna terhadap pengangkatan La Ode Wita sebagai Raja Muna yang di tunjuk oleh Belada, maka selama masa pemerintahannya tidak ada perubahan sigifikan yang dilakukannya.
Menghadapi dua kekuatan besar tersebut,  La Ode Saete tidak gentar. Dia terus menggalang kekuatan serta menyusun strategi dalam menghadapi perang tersebut dengan  menyeruhkan perang semesta.
Strategi yang pertama dipilih oleh La Ode Saete untuk menghadapi perang tersebut adalah  meindahkan pusat pemerintahan dekat dengan masjid Muna di Kota Lama Muna. Setelah itu Raja La Ode Saete juga menyususn strategi perang dalam  melakukan konfrontasi dengan pasukan Koalisi Buton – Belanda. Strategi yang dilakukan oleh La Ode Saete tersebut ternyata sangat jitu, sehingga Belanda tidak dapat menguasai Kerajaan Muna.
 Karena La Ode Saete memindahkan Pusat Pemerintahan Kerajaan Muna dekat dengan Masjid, maka setelah mangkat La Ode Saete dianugrahi gelar  ‘ Omputo Sorano Masigi’ oleh Sarano Wuna yang artinya  raja yang mendekati masjid.
Dalam perang antara kerajaan Muna yang dipimpin oleh Raja La Ode Saete dengan pasukan Koalisi Buton – Belanda, beberapa kali Pasukan Koalisi dapat dihancurkan oleh pasukan kerajaan Muna.
Tak mampu menundukan Kerajaan Muna, akhirnya La Ode Wita Raja yang dilantik oleh Belanda akhirnya ditarik kembali Ke Kesultanan Buton.   Sampai akhir masa pemerintahan La Ode Saete( 1830 ) perang antara Kerajaan Muna dengan pasukan koalisi Buton-Belanda terus berlanjut. La Ode Saete mengakhiri masa pemerintahan karena mangkat.
13.  Raja Muna XXV -  La Ode Bulae gelar Sangia Laghada (1830-1864 )
La Ode Bulae adalah Putera Raja Muna XXV La Ode Saete. Pada saat diangkat menjadi Raja Muna, La Ode Bulae baru berusia 12 tahun. Pengangkatan la ode Bulae sebagai Raja Muna berkenaan dengan mangkatnya ayahanda beliau La Ode Saete. Karena pada saat mangkat Raja Muna XXV La Ode saete hanya memiliki satu anak laki-laki yang baru berusia 12 tahun yaitu laode bulae, maka Saraano Wuna bersepakat mengangkatnya sebagai Raja Muna XXVI penggantikan ayahandanya.
Pengangkatan La Ode Bulae yang baru berusia 12 tahu tesrebut menjadi dilema karena pada saat  penobatannya sebagai Raja La Ode Bulae  masih terlalu muda dan  dianggap belum cakap mengendalikan pemerintahan. Namun pada saat yang bersamaan Kerajaan Muna membutuhkan seorang Pemimpin karena pada saat itu Muna sedang berkonfrontasi dengan Belanda serta sekutunya Buton. Sedangkan untuk melakukan prosedur pengangkatan raja seperti yang telah diatur yaitu melalui pemilihan yang dilakukan oleh sarano sangat tidak mungkin karena pasukan koalisi Buton –Benlanda terus mengganggu.
Dalam situasi yang  pelik tersebutlah, maka SaranoWuna mengambil keputusan cepat dengan mengangkat La Ode Bulae Putera Raja La Ode Saete sebagai Raja Muna XXV.  Namu karena Raja La Ode Bulae masih sangat belia dan diangap belm cakap menjalankan pemerintahan, maka Sarano Wuna nmenunjuk La Aka ( Bonto balano ) untuk menjalankan pemerintahan, sedangkan La Ode Bulae tetap sebagai kepala negara.
Lain dengan Belanda, moment mangkanya Raja La Ode Saete dan raja penggantinya yang masih sangat muda dimafaatkan untuk menguasai pemerintahan kerajaan Muna dengan memaklamatkan secara sepihak bahwa segala urusan pemerintahan Kerajaan Muna berada dalam kendali Pemerintahan Kolonial Belanda.
Raja La Ode Bulae yang masih begitu muda tidak mampu melawan maklumat tersebut, sehingga untuk beberapa saat segala urusan administrasi pemerintahan dijalankan oleh Wali Raja dari Kesultanan Buton yang ditunjuk oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Setelah Dewasa, La Ode Bulae mejalankan pemerintahan melajutkan kebijakan  Ayahandanya.  La Ode Saete menyeruhkan untuk melakukan konfrontasi dengan Kolonial Belanda dan Sekutunya Buton. La Ode Bulae menyeruhkan perang semesta terhadap Kolonial Belanda dan Buton sehingga terjadi berang besar antara Kerajaan Muna dengan Belanda dan sekutunya Buton.
Dalam sebuah perang, Belanda dan sekutunya Buton berhasil menangkap La ode Bulae dan  membawahnya kepersidangan pengadilan di Makassar. Dalam periudangan pengadilan tersebut, La Ode bulae dinyatakan bersalah dan dibuang di Pulau Nusa Kambangan, kemudian diasingkan ke Bengkulu.
14.  Raja Muna XXX -  La Ode Ngkaili ( 1870-1907)
La Ode Ngkalili adalah raja Muna Pada masa Pemerintahan La Ode Ngkaili Pusat pemerintahan Kerajaan Muna di pindahkan dari Kota Muna ke Raha oleh penguasa Kolonial Belanda.  Pemindahan pusat pemerintahan tersebut dibawah tekanan  militer Kolonial Belanda setelah pasukan Kerajaan Muna mengalami kekalahan dalam sebuah pertempuran melawan pasukan koalisi Belanda- Buton. Bersamaan dengan pemindahan ibu kota kerajaan, pemerintah Kolonial Belanda mengutus seorang raja dari Kesultanan Buton yaitu la Ode Maktubu untuk menggulingkan  Raja La Ode Ngkaili yang sedang berkuasa dan diangkat oleh Sarano Wuna.
15.  Raja Muna XXXI -  La Ode Ahmad Maktubu/ periode pertama (1907 –- 1914)
Setelah pasukan koalisi Belanda –Buton memenangkan pertempuran pada tahun 1906 dan berhasil menggulingkan Raja Muna XXX  La Ode Ngkaili, penguasa Kolonial Belanda di Makassar mengutus seorang dari Kesultanan Buton yakni La Ode Maktubu untuk menjadi Raja di Kerajaan Wuna sebagai Raja Muna XXXI. La Ode Maktubu adalah Putera Sultan Buton La Ode Salihi buah  perkawinannya dengan putri raja Muna La Ode Bulae yang bernama Wa Ode Ogo.
Walaupun La Ode Ahmad Maktubu masih memiliki hubungan darah dengan Raja-Raja Muna, namun intervensi Pemerintahan Belanda dan Pengkoptasian Kesultanan Buton terhadap Kerajaan Muna tidak diterima oleh segenap masyarakat Kerajaan Muna sehingga terjadi penolakan terhadap pengangkatan La OdeAhmad  Maktubu tersebut.
Para Petinggi kerajaan Muna yang didukung oleh seluruh masyarakat Muna melakukan perlawanan dan menyeruhkan perang terbuka terhadap intervensi pemerintahan Kolonial tersebut. Salah satu dari wujud perlawanan itu adalah Sarano Wuna segera menggelar  rapat dan bersepakat untuk mengakat La Ode Umara sebagai Raja Muna XXXI menggantikan Raja La Ode Ngkaili yang telah digulingkan oleh koalisi Belanda- Buton, serta tidak mengakui La Ode Maktubu Sebagai Raja Muna.
Besarnya dukungan rakyat terhadap keputusan Sarano Wuna yang  tidak mengakui La Ode Ahmad Maktubu sebagai raja Muna,  memaksa La Ode Ahmad Maktubu    meninggalkan  Muna dan kembali ke Buton. Sekembalinya di Buton, Laode Ahmad Maktubu mengadukan perinstiwa tersebut pada sekutunya  Belanda.
Pengaduan Kesultanan Buton atas sikap Pemerintahan Kerajaan Muna mengusir utusan Kesultanan Buton, ditanggapi serius oleh pemerintah Kolonial Belanda sehingga dikirim pasukan militer untuk memerangi kerajaan Muna.
Pada sebuah pertempuran di sekitar Lohia ( Selat Buton ) tahun  1907, pasukan sekutu Belanda – Buton  berhasil mengalahkan prajurit kerajaan Muna dan menggulingkan pemerintahan La Ode Umara yang diangkat oleh sarano Wuna. Setelah berhasil menggulingkan Pemerintahan  La Ode Umara, Belanda kembali menobatkan La Ode Ahmad Maktubu sebagai raja Muna sampai tahun 1914.
16.  Raja Muna XXXIV – La Ode Pulu (1914-1918)
Pada masa pemerintahan La Ode Pulu, intervensi politik Kolonial Belanda di Kerajaan Muna semakin kuat. Di akhir masa pemerintahan La Ode Pulu ( 1918 ) Pemerintah Kolonial Belanda dan Kesultanan Buton secara sepihak melakukan perjanjian yang dikenal dengan Korte Verklaring pada 2 Agustus 1918. Belanda dalam perjanjian itu  diwakili oleh Residen Bougman sedangkan Kesultanan Buton di Wakili oleh Sultan Buton La Ode Muhammad Asyikin.  Isi perjanjian tersebut adalah  Belanda hanya mengakui ada dua pemerintahan setingkat swapraja di Sulawesi tenggara yaitu Swapraja  Laiwoi dan Swapraja  Buton.  Dengan demikian menurut perjanjian tersebut secara otomatis Muna menjadi bagian dari Kesultanan Buton/ Underafdeling.
Sebagai Raja yang berdaulat dan diangkat oleh Sarano Wuna, La Ode Pulu tidak mengakui perjanjian Korte Varklering tersebut sehingga beliau memimpin rakyat Muna untuk melakukan perlawanan  terhadap Belanda dan Buton.
Karena kalah dalam persenjataan dan jumlah personil pasukan maka La Ode Pulu dan pasukannya dapat dikalahkan oleh Pasukan Koalisi Belanda-Buton. akhirnya La Ode Pulu dapat ditangkap dan di asingkan di Nusa Kambangan. Selama dua Tahun pasca pemerinyahan La Ode Pulu, Kerjaan Muna berada dalam Kekuasaan Kolonial Belanda sampai  dewan Adat ( Sarano Wuna mengadakan rapat dan mengangkat La Ode Afiuddin sebagai Raja.
17.  Raja Muna XXXVI  – La Ode Dika gelar Omputo Komasigino ( 1930- 1938 )
Pada tahun 1930, Sarano Wuna kembali mengadakan Rapat untuk mengangkat Raja Muna. Pada rapat yang digelar selama 7 hari tersebut, Sarano Wuna menyepakati untuk mengangkat seorang pejabat kampung yaitu Kino Labasa yang bernana La Ode Dika sebagai Raja Muna menggantikan La Ode Rere yang digulingkan oleh Kolonial Belanda.
Pada masa pemerintahan La Ode dika dilakukan pemugaran masjid agung di Kota Muna menjadi semi permanen. Sebagian dari  material  pembuatan masjid tersebut dibantu oleh kontrolir Belanda , Jules Couvreur  yang bertugas di Muna saat itu.
Karena selama menjadi Raja Muna ( 8 Tahun ) La Ode Dika sangat fokus terhadap pembangunan masjid, maka beliau  digear Komasigino artinya yang memiliki masjid.Selama bertugas di Muna  Juleus Couvreur juga giat menelusuri sejarah dan mempelajari adat istiadat masyarakat Muna. Penelusurannya terhadap sejarah dan adat istiadat tersebut dituangkan dalam sebuah buku “Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna “ yang diterbitkan Artha Wacana Press, Kupang, Nusa Tenggara Timur, tahun 2001.  
 Sebagai mana raja muna yang lain, La Ode Dika juga tidak mau tunduk dengan Kolonial Belanda dan sekutunya Buton. La Ode Dika juga tidak mengakui isi perjanjian Korte Verklaring sebab perjanjian itu dianggap ilegal. Sikap perlawanan La Ode Dika tersebut di tunjukan saat berkunjung di istana kesultanan Buton. Di hadapan Sultan Buton, La Ode Dika tidak mau memberi hormat pada Sultan, tapi malah justeru mengancungkan telunjuk seakan memberi ancaman pada Sultan Buton.
 Apa yang yang dilakukan La Ode Dika tersebut oleh Sultan Buton dilaporkan pada Penguasa Kolonial Belanda di Makassar. Akibatnya La Ode Dika dipecat dari jabatannya sebagai Raja Muna.
Menurut La Ode Ali Hanafi salah seorang Putera La Ode Dika dalam Buku bigrafi “La Ode Dika Omputo Komasigino” yang ditulisnya mengatakan bahwa penobatan La Ode Dika sebagai raja Muna tidak melewati proses sebagai mana lazimnya penentuan kandidat raja . La Ode Dika sebagai mana tertuang dalam Biografi tersebut adalah satu-satunya raja yang dinobatkan menjadi Raja Muna yang tidak terlebih dahulu menjabat Kino Ghoera tetapi hanya menjabat sebagai  kepala Kampung. Jabatan terakhir La Ode Dika sebelum menjadi Raja Muna adalah Kepala Kampung Labasa.
18.  Raja Muna XXXVII  – La Ode Pandu ( 1947-1956)
Setelah terjadi kekosongan kekuasaan di kerajaan Muna selama Sembilan  tahun ( 1938– 1947 ), pemerintah Belanda di Makassar mengangkat  La Ode Pandu sebagai pejabat Raja Muna pada tahun 1947 dan dilantik pada tahun itu juga di depan Masjid Muna di Kota lama Muna. Pelantikan Laode Pandu dihadiri oleh utusan pemerintah belanda. La Ode Pandu mengahiri masa pemerintahannya setelah meninggal akibat ditembak gerombolan DI/TII di Posunsuno Kecamatan Parigi saat melakukan kunjungan di Wasolangka.
Peristiwa penembakan tersebut terjadi saat Raja La Ode Pandu akan melakukan kunjungan ke Wasolangka. Kunjungan itu berkaitan terjadinya paceklik di wilayah tersebut akibat gagal panen. Dalam perjalanan menuju Wasolangka tersebutlah kendaraan yang ditumpangi Raja Muna La Ode Pandu dihadang para pemberontak DII/TII. Ikut menjadi korban dalam peristiwa itu adalaah sopir beliau dan pengawalnya.
Sepeninggal La Ode Pandu tidak ada lagi proses pengangkatan Raja. Demikian pula dengan dewan sara bubar dengan sendiri. Olehnya itu Kerajaan Muna juga ikut bubar.
Para pejuang Muna memfokuskan diri dalam perjuangan pembentukan Propinsi Sulawesi Tenggara dan Kabupaten Muna.Gerakaan perjuagan ini berkaitan dengan kooptasi Kesultanan Buton terhadap Kerajaan Muna, sehingga begitu ada wacana pemisahan Kabupaten Sulawesi Tenggara dari Propinsi Sulawesi Selatan tenggara dan akan membentuk propinsi sendiri, Muna tidak masuk dalam salah satu Kabupaten yang akan menjadi Propinsi Sulawesi tenggara.
Melihat fakta tersebut Tokoh-tokoh Muna, baik yang ada di Muna ataupun d Makassar, yang tua ataupun yang muda bersatu secara sinergis memperjuangkan pembentukan Propinsi Sulawesi tenggara sekaligus pembentukan kabupaten Muna.















BAB  IV
SEJARAH PEMBENTUKAN
KABUPATEN MUNA

Perjuangan Pembentukan Kabupaten Muna seiring dengan perjuangan pembentukan propinsi Sulawesi tengara. Dalam perjuangan ini dilakukan secara sinergis antara tokoh muda dan tokoh tua baik yang ada di muna ataupun yang ada diperantauan, baik perorangan maupun organisasi.
Tokoh Muda seperti Idrus Efendi, Halim Tobulu, La Ode Enda  dan La Ode Taeda Ahmad dikenal sangat gigih memperjuangkan pembentukan Kabupaten Muna. dan Propinsi Sulawesi Tenggara.
Dengan oraganisasi para militer yang dibentuknya seperti  Batalyon SADAR ( Sarekat Djasa Rahasia) dan Barisan 20 mereka terus menggalang dukungan guna perwujudan pembentukan kabupaten Muna dan Propinsi Sulawesi Tenggara.
Bataliyon SADAR dan Barisan 20 pada awalnya dibentuk untuk melakukan perlawanan terhadap pasukan sekutu ( NICA ) yang diboncengi Belanda yang mencoba kembali untuk melakukan penjajaahan terhadap Indonesia yang telah memproklamirkan kemerdekaannya pada Tanggal 17 Agustus 1945. Dengan Jiwa patriotism yang tinggi Tokoh-Tokoh Muna tersebut melakukan perlawanan melalui gerakan bawah tanah dan perang terbuka. Tujuannya adalah mengusir  colonial tersebut dari bumi Indonesia dalam hal ini termasuk di Muna.
A.    Fase I (Pertama), Pemerintahan Swapraja
Pemerintahan Muna pada fase ini berstatus Swapraja dengan raja yang terakhir Laode Pandu yang dilantik oleh pemangku adat menjadi Raja Muna tanggal 24 Februari 1947 di Kota Wuna. Pada fase ini tidak dapat dilepaskan dengan perjuangan mempertahankan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.  Para pejuang Muna dengan dipelopori tokoh-tokoh Muna melakukannya dengan  cara-cara yang lebih cerdik.  Para tokoh dan rakyat pejuang daerah Muna baik perorangan maupun organisasi perjuangan antara lain Batalyon Sadar (Serikat Djasa Rahasia), Barisan 20 dan lain-lain. Mereka dipimpin oleh para tokoh dianataranya, Laode Muh Idrus Efendy dengan nama samaran Sitti Goladria, Laode Enda Anwar dengan nama samaran Soneangka, Laode Taeda Ahmad dan Halim Toboeloe. S
B.     Fase II (Kedua), Pemerintahan Kewedanan
Pada fase ini ditandai dengan dibubarkan Daerah Afdeling Buton dan Laiwoi berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Tenggara Nomor 18 Tahun 1951 tanggal 20 Oktober 1951. Ini didasrakan Peraturan Pemerintah (Permen) Nomor 34 Tahun 1952 tentang pembentukan 7 (tujuh) Daerah Administratif Sulawesi Tenggara, pemerintahan Muna beralih status menjadi Kewedanan bersama-sama dengan Kewedanan Buton, Kendari, dan Kolaka. Masing-masing Kewedanan dipimpin oleh seorang KPN (Kepala Pemerintahan Negeri). Dan dalam sejarahnya Kewedanan Muna dipimpin, oleh :
1.  Abdul Razak,
2.  Ngitung,
3.  Andi Pawilloi,
4.  H Lethe,
5.  H Suphu Yusuf,
6.  Andi Jamuddin, dan,
7.  F Latana. 
C.  Fase III (Ketiga), Perjuangan Pembentukan Kabupaten Muna
Bupati Sulawesi Tenggara yang kelima adalah Drs Laode Manarfa, tanggal 26 Juni S/D 31 Juli 1954 mengadakan sidang DPRD-SGR Sulawesi Tenggara di Raha, dengan menghasilkan ketetapan-ketetapan antara lain, Kabupaten Sulawesi Tenggara meliputi Kewedanan Kendari, Kolaka, dan Boea Pinang. Hasil keputusan tersebut harus mendapat persetujuan Pemerintah Pusat, sehingga untuk kepentingan perjuangan tersebut, anggota DPRD-SGR Sulawesi Tenggara berangkat ke Jakarta. Delegasi Muna diwakili oleh Laode Ado dan Supphu Yusuf.
Hasil perjuangan tersebut disetujui oleh Menteri Dalam Negeri tanggal 3 Januari 1955. Berdasarkan ketetapan Menteri Dalam Negeri tentang pembentukan dan pemekaran kabupaten Sulawesi Tenggara menjadi dua Kewedanan, maka terjadilah polemik dan protes dari para tokoh masyarakat dan pemuda baik di Muna maupun di Makassar. Karena tujuan akhir terbentuknya Kewedanan Muna belum terwujud. Protes dan unjuk rasa dilakukan oleh para pemuda Muna baik yang ada di Muna maupun yang ada di Makassar. Unjuk rasa tesebut selalu ditujukan kepada Laode Ado sebagai delegasi Muna yang menghadap kepada Menteri Dalam Negeri.
Berdasarkan kenyataan tersebut, Raja Muna, Laode Pandu mengadakan rapat pada hari Senin, tanggal 12 September 1955 di Raha yang dihadiri tiga Kepala Distrik, yaitu Kepala Distrik Katobu, Kepala Distrik Kabawo, Kepala Distrik Tongkuno, dan Kepala Distrik Lawa tidak hadir. Selain itu turut pula hadir para Kepala Kampung, Ketua-ketua Partai/Organisasi, Pemuka Masyarakat, dan Pihak Kepolisian. Agenda rapat yakni mendengarkan delegasi DPRD-SGR SULTRA pada bulan Januari 1955, membicarakan tentang status daerah-daerah otonom dan status swapraja. Dan keputusannya antara lain, Muna diperjuangkan untuk menjadi daerah Swatantra dengan otonomi penuh. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka hasil rapat memutuskan memberikan mandat kepada Laode Rasjid dan Laode Ado untuk melaksanakan tugas menyusun program dan menetapkan langkah perjuangan untuk terbentuknya daerah Swatantra Muna, dan membentuk daerah persiapan pembentukan Kabupaten Muna.
Pemberi mandat untuk melaksanakan tugas-tugas dimaksud ditanda tangani oleh sebanyak 102 orang. Selanjutnya, pada tanggal 5 Agustus 1956, para tokoh masyarakat Muna di Makassar yang tergabung dalam PRIM (Persatuan Rakyat Indonesia Muna), membentuk panitia pembentukan kabupaten Muna yang ditanda tangani oleh Laode Walanda sebagai Ketua dan Laode Hatali sebagai sekretaris yang ditujukan kepada MENDAGRI di Jakarta dan Gubernur Sulawesi Selatan di Makassar dan 13 alamat lainnya
Tanggal 2 September 1956 dibentuk Panitia Dewan Penuntut Kabupaten Muna di Raha dengan Ketua dan Sektretarisnya masing-masing Laode Hibi dan Laode Tuga dan  disetujui oleh Raja Muna. Gelombang penuntutan pembentukan daerah setingkat  Kabupaten juga muncul dari generasi muda Muna yang ada  di Makassar.  Pada tanggal 8 Februari 1958 terbentuk panitiaa penuntutan percepatan pembentukan Kabupaten Muna Muna dengan Ketua La Ode Walanda dan sekretaris  Ando Arifin. Panitia ini kemudian mengutus delegasinya untuk mengahadap MENDAGRI di Jakarta. Delegasi ini dipimpin oleh La Ode Muh. Idrus Efendi.
Tanggal 20 Maret 1958 Pemerintah Swapraja Buton mengeluarkan Surat Pernyataan yang ditanda tangani Sultan Buton Laode Falihi, yang intinya menyetujui terbentuknya Kabupaten Muna. Mengenai batas-batas akan ditetapkan pada perundingan-perundingan yang akan datang.
Sebagai realisasi pernyataan Sultan Buton tersebut maka diadakan rapat bertempat di Pendopo Sri Sultan Buton, yang hadir pada rapat tersebut ialah, Drs Laode Manarfa, Kepala Daerah Sulawesi Tenggara, Laode Falihi, Sultan Buton, Laode Pandu, Raja Muna, Laode A Salam dan Laode Hude masing-masing Kepala Distrik yang diperbantukan pada Kantor Swapraja Buton, sebagai yang mewakili Buton. Hadir juga Laode Muh Shalihin, Kepala Distrik Katobu dan Laode Rianse sebagai Distrik Lawa, mewakili Muna.
Wujud dari pertemuan diatas yang disertai pernyataan-pernyatan Panitia dari tiap tingkat pejabat pemerintah, maka pada tanggal 6 Desember 1958 diutuslah empat orang Delegasi Muna untuk menghadap pemerintah pusat yakni Laode Muh Idrus Efendi, La Sipala, Laode Muh Badia Rere dan Laode Ado. Adapun penyandang dana keberangkatan Delegasi adalah Ham Ahing, Darwis Tungguno dan Wahid Kuntarati
Hasil perjuangan tersebut oleh Mendagri menetapkan, Pulau Sulawesi dibagi 4 (empat) propinsi yaitu Sulawesi utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Pemerintah Pusat mengajukan para delegasi agar dipenuhi syarat-syarat berdirinya propinsi Sulawesi Selatan Tenggara, antara lain Sulawesi Selatan dibagi 4 (empat) Kabupaten, yaitu KPN Kolaka, KPN Kendari, KPN Buton, dan KPN Muna.
Pada tanggal 20 hingga 22 Juli 1959 diadakan rapat raksasa yang dihadiri utusan Buton, Muna, Kendari, Kolaka masing-masing 15 orang, lima orang dari staf Kepala Daerah, empat KPN, dan empat Swapraja. Musyawarah itu dipimpin langsung Laode Manarfa dan dihadiri pula oleh unsur TNI, Abdul Kahar (Kuasa Perang), H Abdul Halik (Buton), Abdul Rahim Daeng Muntu (Muna), H L Lethe (Kendari), Abdul Wahab (Kolaka).
D.  Fase IV (Empat), Terbentuknya Kabupaten Muna
Setelah melalui perjuangan yang panjang oleh para tokoh pejuang Muna, dan dilakukan tanpa pamrih dalam menghadapi berbagai tantangan, maka berdasarkan berbagai pertimbangan yang logis dan pertimbangan strategis, oleh pemerintah pusat menindaklanjuti yang ditandai dengan lahirnya Undang-undang Nomor 29 tahun 1959 tentang pembentukan daerah-daerah tingkat II di Sulawesi, termasuk didalamnya Kabupaten Muna dengan ibukotanya Raha.
Pada awal pengusulan Kabupaten Muna terdiri dari empat Ghoerah (distrik, red) yaitu distrik Katobu, Distrik Lawa, Distrik Kabawo, dan Distrik Tongkuno. Dari empat distrik itu belum memenuhi kriteria untuk membentuk suatu kabupaten, maka diadakan pendekatan dengan beberapa tokoh pada saat itu yaitu tokoh Masyarakat Kulisusu, tokoh Masyarakat Wakorumba, dan tokoh Masyarakat Tiworo Kepulauan, yang pada saat itu ketiga distrik tersebut adalah distrik Kulisusu diwakili oleh Laode Ganiru dan Laode Ago, Distrik Wakorumba diwakili oleh Laode Hami dan Laode Haju, Distrik Tiworo diwakili oleh La Baranti.
Berdasarkan kesepakatan yang utuh dan bulat dari tokoh – tokoh tersebut untuk bergabung dalam pemerintahan Kabupaten Muna, maka doktrin untuk terbentuknya Kabupaten Muna sudah tidak ada masalah lagi.

Dengan terbentuknya Kabupaten Muna, secara administratif dan yuridis pada tanggal 2 Maret 1960, maka para Bupati yang menjabat sebagai Bupati Muna, adalah,:
1.   LAODE ABDUL KUDUS    02  Maret  1960  S/D  03 – Maret  1961,
2.   LETTU INF. M THOLIB 21 Juni 1961  S/D  13  Juli  1965,
3.   LAODE RASYID   11 November 1965  S/D  03  Desember 1970,
4.   RS LA UTE   13  Desember 1970  S/D  22  April 1974,
5.   DRS LAODE KAIMOEDDIN 22  April 1974  S/D  10 Maret 1981,
6.   DRS LAODE SAAFI AMANE 10  Maret 1981 S/D 10  Maret 1986
7.   DRS MAOLA DAUD   1986   S/D   1997,
8.   KOL ART H M SALEH LASATA 3  Oktober  1997 S/D  1999
9.   KOL INF H M DJAMALUDDIN BEDDU  1998  S/D  2000
10. RIDWAN BAE DAN Drs SYARIF ARIFIN S (Bupati dan wakil bupati) periode    2000-2005,
11. RIDWAN BAE DAN Drs H LA BUNGA BAKA PERIODE TAHUN  2005 –            2010
12. Dr. LM.  BAHARUDDIN, M.KES DAN DRS. MALIK DITU, M.Si  2010      2015

 Jabatan Ketua DPRD Kabupaten Muna adalah,

1. PELTU BABASA,                              6. Hj WA ODE ZAENAB HIBI. 
2. KAPTEN MAHMUD A,                    7. H. UKING DJASA, SH
3. KOL CHB M YASIN USMAN,
4. KOL. CHK  M A RACHMAN SH,
5. Drs LAODE MARADALA,
Di samping para pejabat Bupati Definitif sebagaimana tersebut diatas, maka untuk mengisi kekosongan dalam proses pemilihan Bupati, maka Gubernur Sulawesi Tenggara menunjuk beberapa pelaksana Bupati agar tidak terjadi kefakuman dalam bidang pemerintahan, pembangunan, dan pembinaan masyarakat. Adapun pelaksana Bupati adalah,

1.  La Tana,
2.  Laode Saafi Amane,
3.  Ahmad Djamaluddin SH,
4.  Laode Moh Saleh SH,
5.  Drs H Badrun Raona.

Pejabat SEKWILDA sejak terbentuknya Kabupaten Muna adalah,:

1.    Drs Laode Arifin,
2.    Drs Laode Saifudin Misbah,
3.    Drs Muh Kasim Andi,
4.    Drs LM Shalihin Sabora,
5.    Drs Laode Majid Olo,
6.    Drs Laode Nsaha,
7.    Drs Muh Yusuf,
8.    Drs H Badrun Raona,
9.    Drs P Haridin,
10.  Drs H Laode Kilo.
11.  Zakaruddin, SE
12.  DRS. H La Ode Alibasa
13.  Dra La Ora, M.Pd


















Daftar Pustaka
A.E. Moh. Saidi,- Naskah Sebagai Sumber Kekayaan Dunia, Sebuah deskripsi dari Aspek Historis ; Makalah pada Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara di Baruga Keraton Buton 5-8 Agustus 2005
La Kimi batoa, - Sejarah Muna– Jaya Press raha 1995
Mahmud hamundu, Prof, Sultan Murhum Tokoh Pemersatu Kerajaan Tradisional Di Sulawesi Tenggara ; Makalah pada Simposium Internasional IX Pernaskahan Nusantara di baruga Keraton Buton. 2005
Abd. Mulku Zahari, -Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni, jilid I,II dan II I Jakarta; balai Piustaka. 1980.
La Ode Ida,1996. -“Perjumpaan Islam dengan Budaya Buton” Dalam Ruh Islam Dalam Budaya Bangsa; Yayasan Festifal Istiqlal.
Andi Zainal Abidin, 1968. Mitos Asal Mula Kerajaan Buton ; Stensilan, baubau
La Ode Abd. Munafi, dan Andi Tendri,  tardisi Perantauan  Orang Buton ( Suatu Kajian Strukturalalisme). Laporan Penelitian  Fakultas SOSPOL Unidayan baubau. 2002.
La Niampe, Undang-undang Kerajaan buton “Analisa isi naskah”; Makalah Pada Simposium Internasional II Manassa di Depok 26 Oktober 1998.
La Niampe,  Mengungkap Sejarah Masa lampau Hubungan Buton– Belanda “ Studi berdasarkan Naskah Buton” ; Makalah pada Simposium Internasional III Manassa Jakarta 20-23 ) Oktober 2000
Abd. Rasyid, Cerita Rakyat Buton dan Muna Di Sulawesi Tenggara ; Depertemen pendidikan Dan kebudayaan RI, Jakarta. 1998.
Muhammad Abdullah, Naskah keagamaan dan Relevansinya Dengan Proses islamisasi Buton Abad XIV Sampai Abad XIX; makalah pada Simposium Internasional Pernaskahan. Nusantara, di baruga Keraton Buton. 2005.
La Ode madu,. Sejarah masuknya Islam di Buton dan Perkembangannya; Depdikb.ud, Baubaua. 1980
Jules Couvreur,  Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna Diterjemahkan Oleh DR. Rene Van De Berg ;  Artha Wacana Press, Kupang, Nusa Tenggara Timur, ,2001. 
——————   Sejarah Pembentukan kabupaten Muna; Wikipedia 30 mei 2009.
 Said D,  La Kilaponto-Murhum – Haluoleo Gelar Qaimuddin Khalifatul Khamis, Profil Tokoh Pejuang Kemanusiaan. 2007.
Abd. Rasyid, Cerita Rakyat Buton dan Muna Di Sulawesi Tenggara ; Depertemen pendidikan Dan kebudayaan RI, Jakarta. 1998.
Muhammad Abdullah, Naskah keagamaan dan Relevansinya Dengan Proses islamisasi Buton Abad XIV Sampai Abad XIX; makalah pad Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara, di baruga Keraton Buton. 2005.
SAID.D ,- Transformasi Nilai-Nilai Pemerintaham Kesultanan Buton, Suatu Telaah Sejarah. Makalah pada Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara- Baruga Keraton Buton, 5-6 Agustus 2005
La Oba,DRS- Muna Dalam Lintsan Sejarah – Prasejara- Era Reformasi, Sinyo MP Bandung  2005
————-Toronto University ( Web).- Dictionery Of Muna Kings
Soerjono Soekanto,  Sosiologi Suatu Pengantar – Edisi Keempat – Mitra Niaga Rajawali Pers Jakarta, 1990
Schoorl,Pim, Masyaraka, Sejarah dan Budaya Buton ;  Djembatan Jakarta, 2003